20 Oktober 2018
Pukul 20.10
"MIMPIMU kelewat tinggi akhir-akhir ini, Bud. Bangunlah. Banyak hal yang mesti kau selesaikan lebih dulu."
Aku manggut-manggut menyimak petuah dari Bang Edi. Besar kemungkinan, ia sudah terlampau jenuh memberikanku petuah-petuah yang sama. Kendati demikian, tidak sedikitpun terpancar semburat kekesalan di wajahnya. Bagiku, ia sudah seperti kakak kandungku sendiri. Manakala sedang dihinggapi masalah, aku tak akan ragu mengunjunginya untuk meminta saran dan solusi.
Segudang pengalaman di bidang kemiliteran yang dihimpunnya selama lebih dari tiga dasawarsa, telah mengantarkannya pada puncak karir. Sebelas tahun yang lalu, ia sukses meraih jabatan tertinggi di badan intelijen negeri ini. Bang Edi memang tak hanya piawai di ranah militer. Di kalangan perwira militer, ia juga dikenal lihai dan cakap dalam berpolitik. Tak terhitung berapa banyak ilmu-ilmu politik yang sudah kupelajari darinya, yang kemudian kuterapkan untuk menjalankan roda perusahaan.
Kini, meski Bang Edi tak lagi menggenggam jabatan yang sama, ia tetap menjadi figur yang disegani, baik di lingkup badan intelijen maupun di kalangan perwira militer. Kapasitasnya sebagai pendekar intelijen yang mumpuni sudah cukup membuat para praktisi pemerintahan negeri ini terkesima dan memutuskan untuk tetap melibatkannya di tubuh badan rahasia milik negara itu. Saat ini, meski hanya berperan sebagai Dewan Penasihat, pemikiran-pemikiran Bang Edi masih tetap menjadi napas utama yang menggerakkan tubuh badan intelijen. Itulah sebabnya ia masih saja sulit ditemui meski tak lagi menyandang jabatan penting.
Setelah tertunda selama berminggu-minggu lamanya, malam ini akhirnya ia berkenan juga menghibahkan waktu untuk mengadakan janji temu denganku. Aku mafhum benar bahwa peran vitalnya di Badan Komando Intelijen Negara memang sangat menyita waktu dan pikiran. Sampai-sampai, aku cukup kesulitan untuk sekedar bersilaturahmi ke tempat kediamannya. Seandainya aku tak jujur mengutarakan situasi darurat yang tengah kualami saat ini, mungkin ia tak akan bersedia meluangkan waktu.
"Itu sudah konsekuensi pekerjaan. Jangankan menemuimu, bertemu anak istriku saja cuma bisa seminggu sekali," kilahnya dalam beberapa kesempatan.
Sebagai seorang sahabat yang pengertian, sudah seharusnya aku maklum dengan kepadatan jadwal kerja Bang Edi. Tak ada alasan bagiku untuk menyalahkan atau, sekedar mempersoalkan kealpaannya selama ini. Toh, malam ini ia sudah mau menyempatkan diri untuk menemuiku. Dan, sebagai seorang sahabat yang baik, rasanya tak ada salahnya untuk memberikan sedikit kejutan kecil-kecilan pada kesempatan kali ini.
Malam ini aku sengaja memintanya datang ke salah satu tempat karaoke elit di belahan utara ibukota. Sudah lama kami tak menyempatkan waktu untuk sekedar hangout bersama-sama. Karena itu, aku sudah memesan seorang perempuan panggilan untuk menemaninya malam ini. Aku selalu memahami apa yang diinginkan sahabatku ini. Sebagai seorang pegiat intelijen yang kesehariannya banyak dihabiskan dengan data-data analisa dan investigasi rahasia, kehangatan seorang wanita pasti menjadi salah satu hal yang paling dirindukannya. Namun, lebih daripada itu semua, sebenarnya aku juga bermaksud meminta bantuannya terkait kasus hukum yang tengah membelitku saat ini.
"Mulai sekarang kau harus melupakan mimpi-mimpimu itu sejenak. Fokus pada apa yang ada di depanmu." Diam-diam aku merasa bangga bisa mendengar langsung nasihat salah seorang figur penting negeri ini. "Sekarang kau butuh bantuan apa?"
Untuk lebih memfokuskan diri pada pembicaraan ini, aku mengambil remot layar monitor karaoke dan mengecilkan volume lagunya yang sejak beberapa menit yang lalu mengalun tanpa suara vokal. "Aku perlu memastikan namaku aman, Bang. Dan, agar itu bisa terlaksana, aku harus menyingkirkan salah satu petinggi K.A.K yang menangani kasusku itu. Tidak ada jalan lain."
Bang Edi mencuri waktu sejenak untuk menghisap cerutunya dalam-dalam. Kemudian dikepulkannya asap cerutu yang tebal itu ke udara. "Gampang itu. Nggak usah khawatir. Selama bisnisku itu masih jalan, soal bunuh-membunuh nggak ada masalah."
"Kayaknya Bang Edi ini memang nggak pernah punya masalah, ya? Tinggal telepon sana-sini, urusan kelar," pujiku, sembari ikut mengepulkan asap cerutu.
"Tapi gini, Bud." Aku meliriknya sejenak. "Terus terang, bisnisku ini butuh dana operasional. Kalau nggak keberatan..."
"Aaaahh. Beres kalau soal itu. Mau berapa pun juga biayanya, Abang tinggal tulis aja di cek," selaku, sembari terkekeh pendek.
"Hehehe. Baguslah kalau kau mengerti." Sebagai salah seorang sahabat yang juga kerap menjadi pelanggan setianya, aku merasa diuntungkan dengan keberadaan bisnis rahasia milik Bang Edi itu. Begitu juga dengan puluhan pengusaha besar lainnya yang rutin menggunakan jasa orang-orang suruhan Bang Edi. Sebagai orang dekat Bang Edi, aku turut berbahagia menyaksikan bisnisnya itu saat ini sudah berkembang pesat. Pasalnya, aku salah satu orang yang ikut menjadi saksi jerih payah Bang Edi dalam membangun bisnis itu mulai dari nol. "Oh iya. Kamu masih mau pakai orang yang sama atau mau coba yang lainnya?"
"Memangnya selain si Herma... Yang kemarin itu siapa namanya?"
"Hermafrodit?"
"Nah itu maksudku, Bang. "
"Kamu ini bagaimana? Kamu 'kan sudah sering pakai dia, tapi masih saja lupa namanya."
"Lagian nama pembunuh bayaran saja musti kebarat-baratan begitu. Kenapa nggak pakai nama 'Si Bencong' saja. 'Kan lebih cocok sama orangnya."
"Ah, kau ini. Yang penting 'kan hasilnya. Lagipula, nama itu dia sendiri yang pilih, bukan aku," kilah Bang Edi, sembari merogoh kocek jasnya untuk mengambil sesuatu.
"Biar gampang aku sebut saja 'Si Bencong', lah. Biar 'nggak keseleo lidahku." Bang Edi mengangguk setuju. "Nah, selain 'Si Bencong' itu, siapa saja yang lainnya? Soalnya aku deg-degan juga lihat kerjanya yang serampangan. Terlalu sadis dan mencolok. Contohnya yang kemarin itu. Masak cukong rokok Djanggo sampai dibikin mirip daging cincang begitu? Sembrono. Kalau polisi-polisi itu sampai keceplosan, 'kan bisa repot urusannya, Bang."
"Nih!" Alih-alih merespon pernyataanku yang panjang lebar itu, Bang Edi justru memberikanku sebuah buku katalog berukuran saku. "Kau pilih saja siapa yang kau mau. Seperti biasanya, kau mau targetmu itu tewas tertabrak mobil, mati kecekek di rumah sakit atau mampus dimakan genderuwo?"
"Genderuwo?" Sembari tertawa lirih, aku mengernyitkan dahi menyimak seloroh Bang Edi.
"Oh, iya. Kau 'kan belum pernah pakai jasa 'dia'. Ya sudah, dengar baik-baik ceritaku." Wajah Bang Edi mendadak berubah serius. "Media-media lokal biasa menyebutnya, Sang Monster. Beberapa media lainnya menggunakan istilah Monster Hitam. Tapi aku lebih suka memanggilnya 'The Black Mail'. Beda dengan pembunuh yang lain, yang satu ini identitasnya benar-benar 'nggak ada yang tahu. Benar-benar misterius. Sampai-sampai, aku saja belum pernah sekalipun melihat wujudnya yang sebenarnya. Entah cewek atau cowok, bahkan aku pun 'nggak tahu."
Tanpa kusadari, mulutku ternganga saat mendengar kisah menarik Bang Edi seputar salah seorang pembunuh bayarannya. "Boleh juga itu, Bang."
"Mau? Tapi kalau yang satu ini biaya operasionalnya agak lumayan, sih."
"Alaah, Bang. Aku 'kan sudah bilang. Biaya itu 'nggak jadi soal."
"Deal?" ucap Bang Edi sembari mengajakku berjabat tangan.
"Deal!" Telapak tangan kami berdua lalu saling menjabat satu sama lain. Dengan penuh keakraban, aku memeluk tubuh Bang Edi yang mulai menua itu. Tubuh yang dulunya kekar berotot itu tampaknya mulai melemah digerogoti usia. Bang Edi bukannya tak sadar umur. Pria yang kini usianya telah melebihi separuh abad itu berencana pensiun tahun depan bersamaan dengan berakhirnya masa jabatannya pada periode lima tahun ini. Aku sendiri sudah tidak sabar menunggu saat-saat itu agar kami berdua dapat leluasa bertatap muka dan bercengkerama seperti sedia kala.
"Oh iya, Bang. Mumpung kita lagi sama-sama ini, aku ada kejutan kecil, nih, buat Abang."
"Kejutan? Ah, kamu ini macam ABG saja. Enggak ingat umur."
Sambil mengirim pesan singkat kepada seseorang yang berada di luar ruangan karaoke itu, aku merespon selorohan Bang Edi. "Sudahlah. Pak Tua diam saja. Sebentar lagi datang, nih, kejutannya"
Tak lama kemudian, pintu ruangan karaoke pun terbuka. Sesosok perempuan muda lalu muncul dari balik pintu. "Nah, ini dia. Ayo masuk." pintaku, pada perempuan muda yang berparas oriental itu. "Ini yang kumaksud kejutan itu, Bang."
Rupanya apa yang dibilang Edo, si mucikari lokal itu, benar adanya. Barangkali usia perempuan itu baru sekitar 20 hingga 25 tahun. Hal itu jelas tergambar dari parasnya yang anggun dan menawan. Bodinya pun tergolong sempurna. Tak terlalu gemuk, namun sintal dan padat di bagian-bagian tertentu. Aku tidak merasa rugi membayar mahal tarifnya untuk durasi semalam.
"Sini. Duduk." Aku meminta perempuan itu untuk duduk di tengah-tengah antara aku dan Bang Edi. "Siapa namamu, Manis?"
Bibir perempuan itu menyungging senyuman yang menggoda hasrat. Dengan suaranya yang lirih, ia menjawab pertanyaanku. "Letisha."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments