25 September 2007
Pukul 23.03
PUKUL 11 malam. Tidak pernah terlintas di kepalaku sebelumnya bahwa rapat koordinasi yang bersifat rahasia ini rupanya akan berlangsung hingga selarut ini. Padahal, agenda rapat yang baru saja rampung setengah jam yang lalu itu sesungguhnya tak rumit-rumit amat. Yakni, sebatas membahas penentuan tanggal peresmian operasi 'Persia' (Program Eksekusi Rahasia). Topik ini jelas tak sekrusial agenda rapat minggu lalu yang mendiskusikan perihal prosedur pelaksanaan operasi tersebut. Dengan bobot materi seberat itu saja, gelaran rapat minggu lalu bisa rampung tepat pukul 9 malam.
Walaupun berlangsung di bawah kawalan ketat lantaran kerahasiaannya, rapat koordinasi yang berlangsung sejak pukul sembilan pagi hari ini memang kerap dihujani interupsi besar-besaran. Tidak seperti biasanya, sejumlah anggota rapat yang hadir kali ini banyak terlibat adu argumen dan saling bantah-membantah. Perdebatan-perdebatan yang terjadi sering berujung pada deadlock dan akhirnya rapat pun harus lima kali diskors. Padahal—sekali lagi—agenda rapat hari ini sangatlah sederhana, yaitu penentuan tanggal.
Sejak rapat dibuka, sejumlah peserta yang mewakili Badan Intelijen Kepolisian (BADIK) langsung menyerbu pimpinan rapat dengan sejumlah usulan tentang penyelenggaraan acara peresmian 'Persia'. Para anggota institusi Kepolisian Negara yang mayoritas menyandang pangkat Komisaris Jendral itu mendesak acara peresmian segera digelar dalam waktu dekat. Bahkan, salah seorang di antara mereka menyarankan agar acara digelar bertepatan dengan peringatan nasional Hari Anti Komunis akhir September.
Sayangnya, sebagian peserta rapat yang lain, khususnya mereka yang mengusung panji BARA (Badan Intelijen Tentara), justru menuntut peninjauan ulang terhadap rencana penyelenggaraan acara peresmian itu. Alasannya, perhelatan semacam itu dipandang dapat menurunkan derajat Badan Komando Intelijen Negara (BAKIN) sebagai organisasi rahasia. Menurut mereka, acara yang sedianya akan digelar bak launching tim sepakbola itu berpotensi mengundang sorotan media. Berangkat dari beberapa alasan tersebut, mereka ngotot mengajukan opsi pembatalan.
Sejak saat itu pula, rapat koordinasi mulai banyak didominasi perselisihan lisan dan perang urat syaraf antar kedua belah pihak. Masing-masing keukeuh mempertahankan pendapat. Imbasnya, rapat yang dijadwalkan berakhir pukul tujuh malam itu harus molor hingga berjam-jam gara-gara terlampau sering mengalami skorsing. Akhirnya, atas nama efisiensi waktu, aku harus menengahi perdebatan panjang itu dengan memaksimalkan hak prerogatif sebagai Kepala Badan Intelijen Nasional.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk menunda pengambilan keputusan hingga kurun waktu yang tak ditentukan. Sebagai pimpinan, sudah menjadi keharusanku untuk bersikap demokratis demi mengakomodir kepentingan banyak pihak. Apalagi, aku tahu betul bagaimana panasnya hubungan antara kedua institusi yang berseteru. Apabila tak hati-hati dalam menentukan sikap, potensi kekacauan bisa meluas hingga di luar arena rapat.
Malam ini sungguh malam yang berat. Setelah seharian fisik dan mentalku digenjot habis-habisan, tubuhku pun mulai mengeluh kelelahan. Kepalaku berdenyut hebat. Sendi-sendi pergelanganku dibekap nyeri bukan kepalang. Sepertinya tak berlebihan jika aku mengharapkan waktu istirahat yang cukup selama beberapa hari ke depan, atau mengajukan cuti liburan untuk sekadar menyegarkan pikiran. Setidaknya aku bisa berkumpul bersama keluarga di akhir pekan.
Dengan langkah yang mulai kepayahan, aku melintasi lobi gedung markas besar Badan Komando Intelijen Negara. Saat hendak melintasi pintu utama, telingaku tiba-tiba mendengar derap langkah kaki yang terdengar selintas. Refleks, aku pun menoleh ke belakang. Tak ada siapapun. Langkahku terhenti sejenak. Sejak meninggalkan ruangan rapat, aku memang merasa seperti sedang diintai oleh seseorang. Entah siapa. Perlahan, batinku mulai tak tenang dikuasai firasat buruk.
"NDANN!!" Aku terkesiap. Suara seorang pria terdengar dari sudut lobi yang lain. Mataku menangkap pergerakan seorang pria berbadan tegap yang berlari kecil ke arahku. "NDAANN!!" seru pria itu lagi, dengan panggilan khas seorang prajurit pada atasannya. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengenalinya. Dia adalah Letjen. Edi Harsono, Kepala Deputi Bidang Kontra Intelijen.
Edi adalah salah satu orang kepercayaan yang seringkali mewakiliku untuk menghadapi awak media. Di kalangan intelijen, ia adalah orang yang paling bisa diandalkan untuk urusan menggali informasi rahasia. Hebatnya, dari banyak informasi yang dihimpunnya, tidak satu pun pernah meleset dari perkiraan.
Edi bergerak cekatan menghampiriku. Dari gesturnya yang tergesa-gesa, aku menduga ada permasalahan serius yang ingin ia sampaikan.
"Belum pulang, Ed?"
"Belum, Ndan. Dari tadi saya mencari Anda."
"Cari saya? Memangnya ada perlu apa?"
"Ada informasi penting yang harus saya sampaikan, Ndan."
Seketika dahiku berkerumuk. Aku langsung teringat sebuah momen yang terjadi di arena rapat beberapa jam yang lalu. Saat jeda skorsing, Edi sempat menghampiri kursiku dan berbisik tentang satu hal. Katanya, ia mencium sesuatu yang tidak wajar. Kecurigaannya itu didasari oleh agenda rapat yang molor hingga larut malam. Menurutnya, besar kemungkinan ada beberapa oknum perwira intelijen yang memang sengaja mendesain situasi tersebut.
"Info apa? Bilang saja sekarang. Toh, sudah tidak ada orang lagi di tempat ini," desakku, penasaran.
"Saya tidak bisa bicara di sini, Ndan. Justru karena situasi sudah sepi, maka kita harus segera meninggalkan tempat ini. Kita bicara di mobil saja. Gimana, Ndan?"
Aku menatap wajah Edi lekat-lekat. Raut mukanya tampak dibayangi kecemasan. "Apa ini berkaitan dengan yang tadi kamu bilang di ruangan rapat?"
Mulut perwira bawahanku itu terkatup rapat, namun anggukan kepalanya sudah cukup untuk menjawab pertanyaanku.
"Oke. Tolong panggilkan Parto di parkiran."
"Baik, Ndan."
Edi langsung bergerak sigap menerobos pintu utama menuju selasar gedung markas besar. Tangannya melambai ke arah mobil Land Rovers bercorak hitam metalik yang berada di areal parkir. Tak sampai semenit usai ia melambaikan tangan, mobil yang dikemudikan Parto, supir pribadiku itu, melaju dari areal parkir dan berhenti tepat di muka selasar bangunan.
"Mari, Ndan. Mobilnya sudah siap." Edi mempersilahkanku masuk ke mobil terlebih dahulu. Kemudian, ia menyusulku dan duduk menemaniku di kursi belakang. "Jalan, Pak."
Mendengar suara berat Edi, Parto segera menginjak pedal gas Land Rovers dan memacunya menuju ke kediamanku di rumah dinas Asrama Perwira.
"Lanjutkan, Ed. Apa yang kamu temukan?" tanyaku, dengan semburat penasaran di wajahku.
Letjen Edi, yang kini duduk di samping kananku, melempar pandangan sejenak ke arah kaca depan mobil. Matanya dingin menerawang pekatnya kegelapan malam. "Vito berkhianat, Ndan."
Mendadak, tenggorokanku tersedak oleh ludahku sendiri. "Alvito Karimata? Deputi bidang Kominfo?"
Edi Harsono mengangguk. "Tadi pagi staf saya memergoki Vito sedang mengumpulkan sejumlah perwira militer di ruangannya. Bahkan, beberapa orang staf deputi intelijen yang lain juga terlihat di pertemuan itu, Ndan," kisah Edi, dengan raut yang semakin tegang. "Kecurigaan saya memuncak ketika rapat berjalan. Semua kejanggalan yang terjadi di ruangan rapat tadi pasti sudah direncanakan, Ndan."
Pria yang saat ini menjabat sebagai Kepala Deputi Bidang Kontra Intelijen itu lantas menghening beberapa detik. Aroma kegelisahan mulai tercium dari sosoknya yang kekar dan berotot. "Anda dalam bahaya, Ndan. Lebih baik, Anda segera melarikan anak-istri Anda untuk mengungsi ke tempat yang aman."
Ucapan Edi membuatku tertegun sesaat. Kali ini giliran sepasang mataku yang menerawang kegelapan. Sementara isi kepalaku mulai berkecamuk tak tentu arah. Aku tak lagi mengkhawatirkan kelanjutan nasib rapat koordinasi yang ternyata hanya kedok belaka itu. Yang ada di pikiranku saat ini sudah tentu adalah keselamatan keluargaku.
Sepanjang karirnya di bidang intelijen, Edi bukan sembarang pejabat teras yang cuma gila jabatan. Peran dan dedikasinya dalam membongkar serangkaian rencana aksi terorisme beberapa tahun belakangan ini adalah bukti sahih bahwa kemampuan intelektualnya tak bisa dipandang sebelah mata. Oleh karena itu, semua informasi yang bersumber langsung dari mulutnya layak mendapatkan perhatian ekstra.
Dan, Letkol Vito? Rupanya dugaanku selama ini tak sepenuhnya salah. Akhir-akhir ini, gerak-gerik mantan ajudanku di Angkatan Darat itu memang menunjukkan gelagat yang tak biasa. Edi benar. Belakangan ini dia memang sering menghilang manakala aku membutuhkannya. Acapkali aku kesulitan untuk sekedar bertemu dan bercakap dengannya di asrama militer. Bahkan, aku pernah mendengar informasi yang menyebutkan bahwa baru-baru ini ia sering menampakkan keakraban dengan sejumlah staf Kementerian Pertahanan, yang notabene adalah orang-orang yang menginginkanku mundur dari jabatan kepala badan intelijen.
Mungkin skenarionya kurang lebih demikian: Vito menjalin kesepakatan dengan cecunguk-cecunguk kementerian itu untuk menyingkirkanku. Dia sengaja mengulur waktu rapat hingga tengah malam agar sepulangnya dari rapat dia bisa leluasa menghabisiku. Beruntung, Edi berhasil mencium serangkaian rencana busuk yang telah mereka susun. Skenario mereka rupanya tak cukup matang untuk mengakali kepiawaian Edi dalam hal ilmu intelijen.
"Lalu apa rencana Anda, Ndan?" Aku melirik ke arah perwira muda yang duduk di samping kananku.
"Aku tidak akan lari. Akan kukirim pasukan untuk berjaga-jaga di rumah dinas dan mengamankan anak-istriku, tapi aku tidak akan tinggal diam."
Dahi Edi mengerucut. Tampaknya ia cukup terkejut mendengar jawabanku. "Jadi, maksud Anda?"
"Kalau memang Vito ingin bertempur melawanku, maka aku akan dengan senang hati mempersiapkan medan pertempurannya."
Sembari tersenyum perlahan, Edi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia cukup mafhum dengan perangaiku yang tak mudah menyerah. Sementara matanya kembali menerawang ke depan, aku merogoh ponselku untuk menghubungi seseorang.
"Siapkan tiga peleton pasukan! Bawa peralatan lengkap! Kita bertemu di rumah dinas!" perintahku pada salah seorang anak buahku di seberang telepon.
Aku langsung menutup sambungan telepon dan memasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana. Sementara suara mesin mobil menderum lirih, tiga orang laki-laki yang berada di dalamnya justru menghening. Land Rovers hitam pun terus melaju hingga memasuki wilayah sekitar stasiun Kramat Senja.
Tak seperti stasiun lain yang dipadati ratusan calon penumpang, gedung stasiun Kramat Senja tampak sangat lengang. Bangunan ini memang sudah lama tak difungsikan oleh pihak PT. KANAL (Kereta Api Nasional), BUMN yang mengelola sistem perkeretaapian negara. Alasannya, pemerintah daerah periode sebelumnya hendak mencanangkan proyek pembangunan monorail di wilayah ini. Sayangnya, pasca pergantian gubernur, kucuran dana proyek tiba-tiba macet. Walhasil, proyek urung dilanjutkan dan bangunan stasiun pun menjadi terbengkalai. Beruntung, rel-rel kereta api di sekitarnya masih berfungsi dengan baik dan masih sering dilalui kereta api jurusan lokal.
"Pak Parto, sebelum persimpangan rel nanti lampunya tolong dimatikan, ya. Setelah itu, jalan pelan-pelan saja, Pak?" Tiba-tiba, Edi memerintah Parto yang berada di kursi kemudi.
"Baik, Pak," jawab Parto, menyanggupi. Seketika itu, langsung muncul teka-teki di dalam kepalaku.
"Jalan pelan-pelan? Apa maksudmu, Ed? Memangnya ada apa?" sergahku beringsut-ingsut.
"Tenang, Ndan. Kita perlu waspada saat melewati tempat-tempat seperti ini. Anda tahu mengapa pada malam hari begini sering terjadi kecelakaan lalu lintas di persimpangan rel seperti ini?" Aku menggeleng. "Karena sebenarnya itu bukan murni kecelakaan, Ndan. Data yang saya temukan menyebutkan bahwa di balik sejumlah peristiwa lakalantas yang terjadi di tempat seperti ini, ada upaya manipulasi terhadap kasus pembunuhan. Mayat korban ditaruh di dalam mobil yang diberhentikan tepat di atas rel kereta api. Lalu, saat kereta api melintas...."
Edi tak melanjutkan penjelasannya, namun aku langsung manggut-manggut. Bagi para perwira intelijen, hal-hal semacam itu memang bukan lagi hal yang mengherankan. Pekerjaan kami tak hanya berkaitan dengan informasi-informasi rahasia di level mancanegara, tetapi juga melingkupi ranah lokal. Kami juga mengetahui, mengelola dan menjaga kerahasiaan pelbagai macam info-info rahasia dalam negeri, seperti salah satunya adalah rencana penyerangan *******. Edi adalah orang yang sangat bisa diandalkan untuk urusan mengelola informasi dalam negeri. Malam ini sekali lagi ia membuktikan kepiawaiannya.
Sementara itu, Land Rovers hitam yang berada di bawah kendali Parto pun mulai melambatkan laju mendekati perlintasan rel kereta api. Dengan penuh kewaspadaan, dua pasang mata milikku dan milik Edi menjelajah ke segala penjuru, mencoba menerobos pekat malam yang menghalangi jarak pandang. Perlahan, ketegangan mulai menguasai udara di dalam mobil. Mesin pendingin yang menghembuskan angin penyejuk seolah tak mampu menjalankan fungsinya. Sementara, di dalam rongga dadaku, ada bunyi debar yang menggedor berkali-kali.
DORR!
Tiba-tiba, suara letusan pistol muncul dan nyaris memecahkan gendang telinga kananku. Letusan itu menghasilkan gaya dorong yang membuat kepalaku terpental ke sudut kiri dan terbentur kaca mobil. Telingaku berdengung selama beberapa saat. Meski dengan mata berkunang-kunang, aku berusaha keras mengembalikan fokus pandanganku. Namun, situasi yang kudapati saat ini justru sukar untuk dipercayai.
Jantungku tercekat mendapati Parto sudah tertunduk di atas lingkaran setir Lubang besar menganga di bagian belakang kepalanya. Seketika, aku refleks menoleh ke samping kanan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Edi, satu-satunya figur andalanku di badan intelijen. Tetapi, saat mendapati sosoknya baik-baik saja, aku justru terkesiap.
Edi memang tak terluka sedikit pun. Badannya segar bugar, duduknya masih tegap seperti biasanya. Tapi, anehnya posisi badannya agak condong ke depan. Yang paling mengejutkan, tangan kanannya tahu-tahu sudah menggenggam FN kaliber 9 mm yang mengarah pada kursi kemudi. Mengarah pada kepala Parto!
Mulut pistol itu berasap akibat muntahan proyektil. Aku belum sempat menduga-duga apa gerangan yang sedang terjadi, tetapi naluriku sebagai seorang mantan prajurit seolah-olah memberikan sinyal darurat. Aku langsung menyadari bahwa nyawaku saat ini benar-benar berada dalam bahaya. Sementara bunyi degup jantungku makin tak terkendali, keringat dingin meleleh di pelipisku.
Belum sirna keterkejutanku, Edi bergerak tiba-tiba. Serta-merta, orang kepercayaanku itu menggeser arah pistolnya, kali ini menuju batok kepalaku.
"Apa-apaan ini, Ed?"
DOOORRRR!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments