18 September 2018
Pukul 05.03
PRIA itu mengenakan kaus singlet putih dan celana kolor pendek. Usia senja telah merenggut kesuburan kulit kepalanya. Namun, sisa-sisa lekuk atletis di beberapa bagian tubuhnya cukup menggambarkan bagaimana berbahayanya beliau di masa mudanya. Lengannya masih dihinggapi sejumlah otot bisep yang kekar. Kedua bahunya masih tampak bidang dan kokoh. Dari ciri-ciri fisiknya yang tidak asing itu, siapapun yang menghuni rumah susun ini tidak akan sulit mengenalinya. Pak Petrus, sang pemilik rumah susun, pagi ini kembali menampakkan diri dengan wujud dan auranya yang mengerikan.
Adalah hal yang wajar jika pria seusia Pak Petrus banyak menghabiskan waktu paginya dengan menjemur diri di bawah sinar matahari. Di usianya yang kuduga menginjak kepala enam, ia membutuhkan pasokan vitamin D yang intensif demi menjaga kekuatan tulang dan sendinya. Meskipun deskripsiku barusan mencerminkan kekokohan tubuhnya di usia renta, hal itu tetap tidak mampu menyamarkan kondisi fisiknya yang mulai melemah. Siapapun pasti akan memikirkan hal yang sama ketika mencermati cara berjalannya yang agak lambat.
Sepintas, memang tak ada yang ganjil dengan pemandangan yang saat ini tengah berlangsung itu. Secara pribadi, aku pun tidak mempermasalahkan kebiasaan berjemur Pak Petrus, terkecuali untuk satu hal yang sangat mengganggu, yaitu cara matanya memandangku. Tatapan mata itu tak pernah berubah, selalu berhasil mengintimidasi mental. Tidak tersirat sedikit pun keramahan di kerut wajahnya yang gersang. Kilau matanya menyilaukan seperti pancaran ultraviolet yang sanggup melumpuhkan fungsi retina. Aku tak sedang bicara berlebihan. Jika kau sedang bersamaku pagi ini, kau pasti akan percaya padaku. (Kali ini kau benar, Rama.)
Karena merasa tidak nyaman, aku pun mencoba mengalihkan perhatian ke arah pemandangan lain di sekitar tangga utama ini. Khususnya, aku berusaha memulihkan pandangan ke depan untuk melanjutkan langkah menuruni anak tangga. Namun, rupanya itu tak cukup membantu. Sekali saja kau beradu pandangan dengan Pak Petrus, hatimu tidak akan tenang hingga kau benar-benar keluar dari rumah susun ini, itu berangkat dari pengalamanku sejak bertahun-tahun tinggal seatap dengannya. Tidak peduli seberapa besar niatku untuk mengabaikannya, mataku tergoda untuk kembali menoleh ke atas. Dan, itu ternyata keputusan yang salah besar. Di lantai paling atas, sorot mata sang pemilik rumah susun justru semakin mencecar tajam! (Tidak mengapa, Rama. Ayo, lawan terus. Jangan sampai kau kalah darinya.)
Sudahlah, aku mengaku kalah. Aku mencoba kembali menghindari tatapannya. Namun, lagi-lagi itu tak banyak membantu. Justru sekarang muncul perasaan tidak nyaman yang membaluri otot-otot syaraf di sekujur tubuhku. Aku sudah terlanjur terpapar virus yang ditebar lewat kedua matanya. Mendadak langkahku serba canggung. Situasi yang tidak karuan itu akhirnya mendorongku untuk nekat menantang sorot matanya. Persetan! Aku sudah kepalang basah!
"Rama!" Aku terkejut setengah mati. Kali ini gara-gara suara yang berbeda. Suara itu muncul tiba-tiba dari arah belakang. Spontan, aku menoleh dan lagi-lagi aku terkejut dengan suara lanjutan yang datang menyusul. "Lagi ngapain? Jalan kok nggak lihat ke depan?" Topan, tetanggaku yang tinggal di kamar sebelah, tiba-tiba menampakkan diri di belakangku. Samber gelap kau, Pan, batinku, bisa-bisanya mengagetkanku sampai dua kali berturut-turut.
"Ah, enggak," Aku merespons pertanyaan Topan sembari melirik kembali ke arah lantai atas. Di ujung sana, kedua bola mata Pak Petrus masih setia memerhatikan gerak-gerikku laksana sorot lampu mercusuar. Mau tak mau, Topan pun terpancing juga untuk menoleh ke atas.
"Oooohh... Pak Petrus?" Sembari mengerdikkan kedua alisku, aku kembali melangkah menuruni anak tangga. Topan pun mengikuti sambil tersenyum ringan. "Kayak baru tahu aja."
"Kamu mau ke mana, Pan?" tanyaku, basa-basi.
"Biasa. Mau berangkat kerja. Memangnya mau ke mana lagi?" Agaknya Topan membaca niat basa-basiku. "Kamu tahu sendiri, buruh pabrik mesti berangkat pagi-pagi. Aku nggak mau ambil risiko. Terlambat lima menit saja, gajiku bisa kena sunat," jawabnya, masih dengan senyum yang sama. "Kamu sendiri mau ke mana?"
"Ya sama lah. Jam segini aku mesti ngantor dulu sebelum turun ke lapangan.” Tanpa disadari, aku pun juga membaca pertanyaan Topan yang tidak lebih dari basa-basi belaka. “Mau bareng?" (Oh, tidak. Kali ini basa-basimu sudah berlebihan.)
"Ah, enggak. Aku naik bus saja. Lagian rute perjalanan kita kan nggak searah. Kalau aku mengiyakan, bisa repot kamu bolak-balik." Topan tersenyum simpul, sementara aku diam-diam bersyukur atas penolakan Topan.
Harus kuakui, Topan memang bukan tipe orang yang cocok untuk kuajak mengobrol meskipun kami berdua cukup sering terlibat dalam obrolan yang tidak disengaja, baik saat berpapasan maupun saat kebetulan bertemu di balkon lantai tiga untuk merokok. Namun, bagaimanapun itu, apabila menyinggung sikap acuh tak acuh para penghuni rumah susun ini, Topan merupakan salah satu pengecualian. Menurutku, dia satu dari sedikit tetanggaku yang selalu peduli dengan lingkungan sekitar.
Profesi Topan yang seorang buruh pabrik produsen mie instan itu memang tak sementereng profesiku, namun itu tak membuatnya merasa sungkan untuk bertukar pandangan denganku. Dari semua topik yang ia perbincangkan, ia memang paling antusias saat berbicara seputar politik. Meski ia hanya lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, selama ini aku justru mengenal Topan sebagai sosok yang memiliki wawasan luas di bidang politik. Hal itu pula yang membuatku agak kurang nyambung untuk mengobrol dengannya karena aku tidak terlalu suka dengan politik.
Meski demikian, kendati kami sudah cukup sering berbicara, aku tetap tak berani mencampuri urusan pribadinya. Utamanya soal hubungannya dengan Rana, teman sekamarnya yang juga seorang laki-laki. Sedikit banyak aku cukup memahami kedekatan mereka yang memang terlihat spesial. Telingaku masih cukup peka mendengar suara-suara aneh yang berasal dari dalam kamar mereka.
"Oh, ya. Aku ingin tanya pendapatmu soal pilgub tahun depan. Kamu dukung siapa?" Di tengah perjalanan kami menuruni tangga, Topan mulai menyinggung bahan obrolan politik. Mendadak, langkahku menjadi berat. Padahal, perjalanan menuruni tangga utama sudah selesai dan sekarang kami tinggal berjalan menuju pintu utama rumah susun. Kumohon, Pan. Jangan sekarang.
"Belum tahu sih, Pan. Lagipula, tahun depan aku belum tentu masih tinggal di ibukota."
"Maksudmu?" Aku sadar pertanyaan Topan itu cuma ditujukannya untuk memancing kepastian informasi secara langsung dari mulutku. Kepada Topan, beberapa kali aku mengutarakan rencanaku untuk hijrah dari ibukota.
"Aku pikir ini sudah waktunya bagiku untuk mempersiapkan rencana kepindahanku secara lebih serius."
"Oh, rencana itu," Topan terdiam sejenak sambil menekuri langkahnya yang kini telah menjejaki halaman depan rumah susun. "Sudah menemukan tempat yang cocok?"
"Sudah. Aku ingin pindah ke Pulau Karam. Mungkin setahun lagi," sahutku, mantap. "Aku punya teman lama yang tinggal di sana. Dia janji bakal bantu mencarikanku pekerjaan dan tempat tinggal baru. Aku pikir ini kesempatan bagus."
"Pulau Karam?"
"Ya. Kamu pasti pernah dengar, kan? Lokasinya di daerah Barat Laut, dekat dengan perbatasan negara Singalaya. Yang kudengar baru-baru ini, kondisi perekonomian di sana sedang berkembang pesat. Lapangan kerja banyak tersedia di sana."
"Aku pernah dengar. Konon ada informasi intelijen yang menyebutkan bahwa pemerintah negara Singalaya berencana mengajukan hak milik teritorial terhadap pulau itu. Alasannya sederhana. Pulau itu terletak di wilayah yang strategis untuk zona perdagangan. Menurutku, keputusan untuk tinggal dan menetap di sana sangat berisiko, Ram."
"Memangnya kenapa, Pan?" Air mukaku berubah seketika.
"Maaf, Ram. Bukannya aku mau nakut-nakutin kamu, tapi tempat itu masuk kategori wilayah sengketa. Tentu saja, pemerintah negeri ini tidak akan tinggal diam melihat salah satu pulau kita dicaplok negara lain. Ada potensi konflik di sana, Ram."
Mendengar alasan Topan yang cukup masuk akal itu, langkahku mendadak benar-benar terasa berat. Meski agak kecewa mendengar penjelasannya, aku harus mengakui keunggulan wawasan Topan. Faktanya, sejumlah prediksi Topan tentang perkembangan situasi politik terkini memang sering tepat akurat. Lagipula, ini bukan pertama kalinya aku mendengar informasi yang barusan dipaparkannya soal pulau Karam. Sebagai awak media, aku juga tahu soal itu.
Nampaknya Topan membaca perubahan sikapku. "Itu baru kemungkinan, Ram." Sambil kembali melanjutkan perjalanan, pria itu berusaha menepis kekecewaanku. "Tapi kalau boleh kusarankan, ada baiknya kamu mempertimbangkan lagi keputusanmu. Kalau rencana kepindahanmu itu masih setahun lagi, berarti kamu masih punya banyak waktu untuk memikirkan rencana cadangan."
Lagi-lagi, sekadar untuk keperluan basa-basi, aku pun mengangguk untuk sekadar menanggapi sarannya. Percakapan kami akhirnya terhenti di areal parkir rumah susun.
"Yakin, nih? Kamu nggak mau bareng?" (Bodoh! Kenapa kalimat basa-basi itu lagi yang keluar dari mulutmu?)
"Enggak, Ram. Makasih. Lain kali saja."
(Syukurlah, Pan. Ternyata kau kawan yang pengertian.)
"Takut ada yang cemburu?" Kali ini, dilatarbelakangi niat untuk sekadar iseng, aku mencoba menggodanya untuk bicara singkat seputar rekan satu kamarnya, Rana.
Namun, Topan sepertinya enggan merespons berlebihan. Si buruh politikus itu hanya membalas selorohku dengan senyum simpul. Setelah mengangguk ringan ke arahku sebagai isyarat berpamitan, ia melanjutkan perjalanannya menuju halte bus yang hanya berjarak beberapa meter di seberang jalan. Dalam hitungan menit, sosoknya yang kurus itu menghilang diterpa angin pagi.
(Rama, sadarlah. Rama!)
Mataku mengerjap. Ah! Lagi-lagi aku melamun. Beberapa detik waktuku terbuang sia-sia. Padahal, aku sadar batas waktu kehadiran yang menjadi ketentuan kantor Metropolis tidak akan mau menungguku. Sambil melirik jam tangan, aku menghampiri motorku yang tidak jauh dari tempatku melamun barusan.
Pukul berapa sekarang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ayano
Wah.... padahal pen liat dia nyesel karena dah ngomong basa basi wak 😅😅😅
2023-06-29
0
Ayano
Hahahah.... kalo ampe iya jawabannya pasti dia ngatain diri sendiri lebih parah dah
2023-06-29
0
Ayano
Untung gak jantungan lu dipanggil gitu
2023-06-29
0