Edi Harsono

1 Oktober 2007

Pukul 15.02

BERNARD Williams, pakar filsafat berkebangsaan Inggris pernah berujar: 'Rencana ibarat permata yang harus dipoles dengan kerja keras'. Kata-kata mutiara itulah yang senantiasa mengilhamiku. Utamanya dalam menentukan setiap langkah krusial demi kelangsungan karir dan kehidupan pribadiku.

Sebuah perencanaan matang yang dibarengi dengan kerja keras telah mengantarkanku pada raihan terbesar dalam sejarah karir kemiliteranku. Jabatan strategis yang selama ini menjadi idaman banyak kalangan perwira militer--yakni jabatan Kepala Badan Komando Intelijen Negara (KABAKIN)--telah resmi berada dalam genggamanku. Ada perbedaan yang gamblang antara aku dan perwira-perwira di luar sana yang juga berambisi memperoleh jabatan penting itu. Ambisiku bukan semata didasari persoalan besaran penghasilan. Aku lebih tertarik membicarakan faktor lainnya yang tak kalah menggiurkan, yakni kebebasan berotorisasi.

Dengan posisi ini, aku akan memiliki keleluasaan penuh dalam menempuh tindakan. Keleluasaan yang tak sembarang perwira militer bisa menikmatinya. Badan intelijen merupakan satu-satunya institusi keamanan di lingkup pemerintahan yang tak banyak mendapat sorotan publik. Hal itu tak terlepas dari keberadaan Undang-Undang yang melindungi dan menjamin kerahasiaan sepak terjangnya.

Sebagaimana tersiar di sejumlah media, pagi ini Presiden baru saja meresmikan posisiku sebagai pemegang tampuk komando tertinggi Badan Komando Intelijen Negara (BAKIN), menggantikan mendiang Letjen. Rico Priyambodo yang wafat beberapa hari yang lalu dalam sebuah insiden kecelakaan. Sejujurnya aku merasa tersanjung atas kepercayaan yang dibebankan Presiden terhadapku, kendati pada kenyataannya faktor utama yang menentukan keberhasilanku adalah rencana yang kususun secara rapi dan terorganisir.

Sesaat setelah prosesi pelantikan, Presiden sempat menyarankanku untuk segera berkoordinasi dengan seluruh jajaran deputi intelijen. Menurutku, itu tak lebih dari sekedar instruksi normatif belaka. Untuk urusan ilmu intelijen, aku jelas lebih mengerti urusan mana yang paling mendesak untuk diprioritaskan. Pembenahan struktur keorganisasian tak lebih mendesak daripada urusan yang ingin segera kuselesaikan sekarang.

Sore ini aku mengatur pertemuan dengan seorang delegasi Kementerian Pertahanan Jerman. Pemerintah Jerman sesungguhnya telah lama memendam hasrat untuk menjalin kerjasama dengan republik ini di bidang intelijen. Kendati demikian, aku bukan perwira bodoh yang tidak mampu membaca tujuan utama mereka. Semuanya tidak jauh-jauh dari upaya perluasan otorisasi. Sepertinya pemerintah negara berjuluk negeri Bavaria itu juga bernafsu menancapkan kuku neo-kolonialisme di negara-negara Asia.

"Lapor, Ndan. Mr. Hinkel sudah menunggu di lobi Episentrum," tutur seorang ajudanku lewat sambungan telepon.

"Sampaikan pada beliau. Lima menit lagi saya tiba di lokasi."

Mr. Andreas Hinkel, seorang pejabat Bundesministerium der Verteidigung (BMVG), tampaknya sudah tidak sabar ingin menemuiku. Mungkin ia sudah mendengar kabar pelantikanku melalui siaran berita di televisi nasional. Beberapa bulan yang lalu—bahkan sebelum Letjen Rico wafat—sesungguhnya aku sudah menjalin komunikasi tertutup dengan pria Jerman itu untuk urusan kerjasama ini. Sebelumnya ia sempat mengaku gusar dengan penolakan mendiang Letjen Rico atas proposal kerjasama yang ditawarkannya. Tidak mau kehilangan akal, ia lalu menempuh cara lain dengan mendekati orang kepercayaan mantan atasanku itu. Dan di antara puluhan perwira intelijen, Mr. Hinkel menjatuhkan pilihannya padaku.

Mobil Kijang yang kukendarai akhirnya tiba di pelataran gedung Epicentrum. Letnan Sarpo dan Letnan Kamaru, dua ajudanku yang sudah menunggu di depan lobi langsung bergerak cekatan menghampiriku. Didahului dengan melencangkan salam hormat di sudut dahi, keduanya lalu menuntun langkahku memasuki lobi Episentrum, sementara kendali mobil diambil alih oleh petugas parkir vallet.

Kuayunkan langkahku dengan mantap, jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Pasca prosesi pelantikan, praktis ini kali pertama aku bisa leluasa menghelat pertemuan di tempat umum dengan delegasi asal Jerman itu. Pihak mereka pasti sudah menyusun sejumlah rencana untuk proyek kerjasama ini. Begitu juga estimasi anggaran dengan mata uang Euro yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Sebagai kompensasi dari banderol mahal itu, pihak Badan Komando Intelijen Negara (BAKIN) harus mengupayakan timbal balik yang signifikan.

Seperti yang sudah menjadi perbincangan hangat di kalangan intelijen, pemerintah Jerman dan Uni Eropa saat ini sedang berusaha melacak keberadaan jaringan rahasia berbasis Neo-Nazi yang tengah merebak di kawasan benua biru. Menilik reputasi Badan Komando Intelijen Negara (BAKIN) dalam memberantas praktik terorisme, mereka menganggap badan keamanan yang saat ini sudah resmi kupimpin itu sebagai salah satu yang terbaik di kancah Asia. Lebih jauh, mereka berkeinginan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki negara ini, khususnya dalam hal penerapan sains di bidang intelijen. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan backup kekuatan guna menghadapi bahaya laten Neo-Nazi.

Mr. Hinkel sendiri menurutku adalah sosok negosiator handal. Gaya bicaranya yang lugas dan diplomatis itu secara tidak langsung telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam hal persuasif. Hanya dalam beberapa kali tatap muka saja, pria berambut pirang itu sudah mampu meyakinkanku untuk menerima pinangannya. Sejujurnya aku tidak sepenuhnya memahami bahasa-bahasa ilmiah yang kerap digunakannya, namun aku tetap menaruh hormat setinggi-tingginya. Aku percaya bahwa orang sekaliber dirinya akan menghormati komitmen yang sudah disepakati sejauh ini.

"Mr. Hinkel," sapaku sesampainya di lobi. Sama seperti diriku, pria bule itu tampak membawa serta dua orang kepercayaannya dalam pertemuan ini. Aku mengenali salah satunya yang tak lain adalah penerjemah pribadinya. Melihat kehadiranku di tempat pertemuan, ketiga pria Jerman itu pun bangkit dari kursi sofa. Mr. Hinkel menyambutku dengan jabat tangan hangat dan bersemangat.

"Congratulations for your inauguration, Mr. Harsono!"

"Dànké schön." Aku mencoba mengucapkan sepatah kosakata Jerman untuk mengesankan keakraban. Sayangnya, bukan Mr. Hinkel yang menanggapi, melainkan penerjemahnya. Kalau aku tak salah ingat, namanya Sandler. Mr. Sandler.

"Mr. Hinkel sudah tidak sabar untuk menemui Anda setelah mendengar kabar pelantikan Anda, Mr. Harsono." Meski agak terbata, Mr. Sandler mengucapkan kalimatnya dengan sangat rapi dan terstruktur secara gramatikal.

"Ist das wahr?" Lagi-lagi, aku berusaha menarik perhatian Mr. Hinkel dengan kosakata Jerman-ku yang sepotong-sepotong.

"Wir haben auf diesen moment so lange gewartet, Mr. Harsono. Ich bin froh, dass wir öffentlich jetzt treffen können." Aku tertegun sejenak sebelum melirik Mr. Sandler yang langsung mencerna isyarat ketidakpahamanku.

"Mr. Hinkel sangat senang akhirnya bisa menemui Anda di tempat terbuka."

Aku mengangguk mendengar terjemahan itu. "I'm flattered to accept the representatives of the German government. Mr. President sends his regards to you," tuturku dengan logat bahasa Inggris ala pribumi. "Presiden juga berharap kerjasama ini segera terlaksana." Aku coba mencampurnya dengan bahasa ibuku demi memudahkan komunikasi.

Tak lama berselang, Mr. Sandler tampak berbisik-bisik dengan Mr. Hinkel. Tentu saja dengan bahasa Jerman. Kira-kira sepeminuman kopi setelahnya, sang penerjemah melanjutkan kembali pembicaraan kami.

"Sebelumnya kami mohon maaf, Mr. Harsono. Mr. Hinkel baru saja memutuskan untuk mempersingkat pertemuan. Kami harus menghadiri acara lain sore ini." Penerjemah ini memang luar biasa. Dia tidak hanya cakap dalam hal alih bahasa, tetapi juga alih ekspresi. "Jadi, untuk saat ini kami akan langsung memperkenalkan kepada Anda salah seorang agen kami, seorang hipnoterapis terkemuka, Dr. Edward Schumm."

Mr. Sandler mengarahkan telapak tangannya pada satu lagi orang Jerman yang duduk di sebelahnya.

"Schön dich zu treffen," sapaku pada Dr. Edward sembari menyalami telapak tangannya yang kurus panjang. Telapak tangan itu menelan habis jari-jemariku. Itu bukan suatu hal yang mengherankan apabila melihat postur tubuhnya yang memang tinggi besar.

"Dr. Edward akan memberikan pemaparan lebih jauh mengenai science of intelligence. Soal komunikasi, Anda tidak perlu khawatir. Dr. Edward ini sudah lama tinggal di negara ini. Dia sudah menguasai bahasa lokal. Kami akan tinggalkan dia bersama Anda," terang Mr. Sandler.

"Baik, Mr. Sandler."

Aku mencoba mengamati wajah Dr. Edward lekat-lekat. Kuterka usianya tak jauh-jauh dari kisaran 30-40 tahun. Asumsiku berdasar pada segelintir lipatan di beberapa bagian wajahnya yang jumlahnya belum begitu banyak. Fisiknya pun tampak masih sangat bugar tanpa ada indikasi penyakit tertentu. Namun yang paling menyita perhatianku adalah tato bergambar burung elang yang terlukis di pergelangan tangan kirinya.

Aku memang hanya bisa melihat bagian paruhnya, karena hampir keseluruhan gambar tato itu tertutup kerah lengannya. Tapi bagiku tetap saja itu pemandangan unik. Jarang sekali ada seorang pekerja medis yang menggemari seni melukis tubuh.

"So, Mr. Harsono," sela Mr. Hinkel, tiba-tiba. "I need to get away now. I am really sorry for this inconvenience."

"Not at all, Mr. Hinkel. I do understand that."

"Very nice to meet you in a 'new suit', huh?" Pria berhidung mancung itu tergelak usai melontarkan candaan. Sementara aku hanya menanggapi seperlunya.

"Nice to meet you too, Mr. Hinkel."

Setelah menjabat tangan kananku, dua pria berambut pirang segera meninggalkan lokasi. Tak ada pembicaraan soal dana atau bantuan lainnya. Mereka cuma meninggalkan seorang dokter. Seorang tenaga medis. Untuk apa seorang pekerja medis dipekerjakan di dunia intelijen?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!