09 Oktober 2018
Pukul 19.02
KALAU ditanya soal makanan favorit, aku tak akan ragu menjawab: Nasi Goreng! Ada beberapa hal yang membuatku memilih menu makanan itu sebagai pemuncak daftar menu favoritku. Pertama, aku jatuh hati pada aromanya yang menggugah selera, apalagi kalau disajikan dalam keadaan panas. Kedua, nasi goreng adalah jenis makanan yang proses pengolahannya sangat sederhana dan tidak terlalu rumit. Penyajiannya pun dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk ukuran anak kos macam aku, alasan terakhir itulah yang paling penting.
Dalam keseharian, aku memang cenderung menghindari kerumitan. Efisiensi tenaga dan waktu seharusnya menjadi hal yang paling diutamakan. Kalau memang ada cara sederhana untuk menjalani hidup, mengapa harus memilih cara yang rumit? Kalimat itu secara tak langsung telah mensugesti pola pikirku dan menjelma menjadi prinsip hidup yang tak tergoyahkan. Hasilnya, aku tumbuh menjadi gadis dengan pola hidup yang sederhana. Aku telah bertransformasi menjadi gadis belia yang nyaman dengan potongan rambut pendek mirip laki-laki dan wajah kusam tanpa polesan make-up.
Malam ini—sekali lagi—aku ingin menjalankan prinsip hidup sederhanaku. Setelah seharian menguras stamina gara-gara sederet rutinitas, badanku terlalu letih untuk sekadar memasak nasi atau mi instan. Beruntung, di perjalanan pulang, aku berpapasan dengan Mas Mul, abang-abang nasi goreng langgananku yang kebetulan melintas di depan rumah susun. Tanpa pikir panjang, langsung kuputuskan untuk memesan satu porsi plus-plus. Plus nasi dan plus telor dadar. Persetan dengan berat badan. Aku butuh lebih banyak asupan gizi karena siang ini konsumsi lemak dan karbohidratku terbengkalai.
Masih dengan alasan efisiensi, aku sengaja menunda untuk mandi dan ganti baju. Alasannya, jarak antara lantai dasar dengan kamarku yang berada di lantai empat cukup jauh untuk ditempuh. Aku tidak mau membuang waktu dan tenaga percuma untuk bolak-balik ke sana ke mari. Sebenarnya ada satu cara yang lebih efisien, yaitu memanjat bangunan rumah susun. Namun, saat ini aku sedang tidak selera melakukannya. Belum waktunya ‘anjing’ itu keluar dari sarang. Dan, di luar itu semua, keberadaan teras tempat aku berada saat ini merupakan sesuatu yang melegakan.
Teras yang berlokasi di pintu barat ini memang hanya berukuran 5x10 meter persegi, namun tempat ini cukup membantu. Selain suasananya yang hening dan syahdu karena jarang dilalui para penghuni rumah susun ini, teras ini sering membantuku meluruhkan asam laktat di sekujur ototku ketika aku keletihan. Empat buah anak tangga di bagian depan teras ini biasanya kufungsikan untuk menampung pinggulku. Sementara itu, pilar-pilar penyangga yang berdiri tegak menopang atap teras digunakan sebagai tempat bersandar.
Tak lama setelah merebahkan punggung pada selasar teras, mendadak aku dikejutkan oleh suara derap kaki seseorang. Di saat itu pula, kepalaku langsung menoleh ke belakang.
"Diandra," Seorang laki-laki muda tiba-tiba mewujud di sebelahku. (Rama! Lagi-lagi Rama!) "Lagi nunggu siapa?"
Sempat agak kikuk, "Mmm... Itu. Nasi goreng," jawabku sambil melejitkan telunjuk ke arah pintu gerbang, ke arah Mas Mul dan gerobaknya.
"Ooh," Rama mengangguk. Jawaban yang sederhana memang, tetapi cukup untuk membuatku gelisah karena tak tahu harus merespons apa. (Ayo, Diandra. Kau tidak boleh diam menunggu. Kau pasti tidak mau melewatkan kesempatan emas untuk mengutarakan hal itu, bukan?)
"Mmmm... Kamu...?"
"Boleh gabung?" Belum sempat aku menyelesaikan pertanyaan, Rama buru-buru menyerobot.
(Oh, tidak. Ah, bukan! Bukan itu jawaban yang harus kau berikan, Diandra. Maksudku...)
"Iya. Boleh-boleh."
Mendengar persetujuanku, Rama segera menaruh dirinya di posisi duduk, di samping kananku. Di sampingku! :D "Mas, nasi gorengnya satu lagi ya?" serunya pada Mas Mul kemudian. Sang pedagang nasi goreng justru merespons dengan merapatkan telinga. Sepertinya, ia tak mampu mendengar seksama dan meminta Rama untuk mengulangi pesanannya. "NASI GORENG SATU LAGI!"
"Ooh, satu lagi?" ujar Mas Mul sambal mengangkat jari telunjuknya untuk memastikan. "Lagi masa pertumbuhan ya, Mas?"
Rama menoleh ke arahku dengan mimik kebingungan. Ia lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia memang tak perlu menanggapi pertanyaan absurd Mas Mul. Penjual nasi goreng itu memang gemar melontarkan candaan yang tak jelas kemana arahnya.
"Mas Mul ada-ada aja," tuturnya di sela-sela senyum. Aku pun membalas senyumnya yang khas itu, sementara otakku berputar mencari bahan obrolan yang pas. "Tapi, jujur saja. Dari semua nasi goreng yang pernah kucoba, salah satu yang paling cocok di lidahku ya nasi gorengnya Mas Mul."
"Langganan juga?" tanyaku, yang kemudian dibalas anggukan oleh Rama. "Masak sih? Kok sebelumnya kita nggak pernah ketemu pas makan nasi goreng kayak gini?"
"Aku lebih sering ngebungkus sih, nggak dimakan langsung."
"Ooh," Sebenarnya aku lebih suka menghindari respons yang berbunyi huruf alfabet seperti 'O' atau 'M', tetapi aku benar-benar tidak tahu lagi harus berkata apa. "Oh, ya. Kerjaan kamu gimana?" (Ah, klise sekali pertanyaanmu, Diandra.)
Syukurlah, sudut bibir Rama terangkat. "Begitulah. Masih berkutat dengan berita soal maling, begal, dan spesies lain yang sejenis."
"Mmmm...," (Apa katamu barusan? Apa maksudnya 'Mmmm'?) "Ada kesibukan lain, selain itu?" (Pertanyaan apa lagi itu, Diandra? Sudah jelas-jelas dia seorang wartawan. Mana punya waktu dia untuk bekerja sampingan?)
Pertanyaan tololku membuat wajah Rama berkerut. "Maksudnya?"
"Sama teman, atau ....?" (Tidak secepat itu, Diandra. Tahan dulu niatmu.)
"Pacar?" Intuisi Rama ternyata tajam juga. Tidak banyak pria yang sanggup memahami arah bicara perempuan yang seringkali terlalu rumit dan bercabang-cabang. Meskipun aku seorang perempuan, aku tak malu mengakuinya. "Kamu bercanda? Wartawan kayak aku mana ada waktu buat pacaran?"
Seketika dadaku sejuk. Buru-buru, aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan binar mataku. Aku tak mau Rama menaruh curiga. Sebagai pemburu berita, intuisinya pasti cukup tajam untuk melacak keberadaan benih-benih yang sejauh ini sengaja kusimpan rapat-rapat. Aku tak ingin segalanya terjadi terlalu cepat, lebih baik mengalir saja. Kurasa, dalam hal asmara, aku lebih memilih mengesampingkan prinsip efisiensi waktu. (Jadi, kau tidak mau memanfaatkan kesempatan ini? Kau yakin?)
"Masak sih belum punya?" (Hei, pertanyaan apa itu, Diandra? Cari pertanyaan lain yang lebih elegan.)
"Gimana ya? Belum ada waktu aja sih. Pacaran itu hubungan yang rumit. Dibutuhkan saling pengertian satu sama lain…" Rama mulai diplomatis. "Begini aja deh. Seandainya kamu jadi pacarku..." (Tahan dulu, Diandra. Jangan buru-buru besar kepala.) "...dan aku nggak pernah bisa menyediakan waktu untuk kamu karena kesibukan kerja. Apa kamu mau mengerti situasiku?"
"Mmmm... Gimana ya?" Keringat dingin perlahan menuruni pelipisku. Suhu telapak tanganku mungkin sudah turun drastis. Susah payah logikaku mengendalikan hasrat untuk mengatakan yang sebenarnya. Apabila yang dibutuhkannya hanya pengertian, aku akan dengan senang hati memberikannya, sebesar apapun ia memintanya. Namun, sekali lagi kutegaskan, aku lebih suka menjaga agar segala sesuatunya tetap mengalir mengikuti ritme yang ada. (Kau yakin?) "Kayaknya aku bakal ninggalin kamu deh. Pasti capek punya pacar yang super sibuk."
"Hei, emangnya kamu pernah pacaran dengan cowok yang super sibuk?" Rama tampak mencoba memancingku untuk melontarkan candaan.
"Enggak... Anu...," Celaka. Aku mulai salah tingkah. (Ayo, Diandra. Pikirkan satu kalimat untuk membalikkan keadaan.) "Tadi itu cuma pendapat seorang teman. Kalau aku sih belum pernah pacaran."
(Bukan jawaban yang tepat. Kau lihat, Diandra. Dia mulai curiga dengan tingkahmu.)
Rama tampak keheranan membaca kegugupanku. Rasa penasaran sekilas terpancar melalui sorot matanya.
"......"
"Kalau saya sih udah sering, Mas." Mendadak Mas Mul muncul memecah keheningan. Sambil menopang dua piring nasi goring di tangannya, ia melanjutkan selorohnya dengan bergaya bak perempuan jadi-jadian. "Kangmas mau sama saya? Tapi jangan cemburu sama bini saya ya?"
Suara tawaku tergelak memecah kesunyian malam, disusul tawa Rama. Di balik tawaku, kuamati wajah Rama yang tengah menampakkan keceriaan. Sudah cukup senang rasanya bisa melihatnya tertawa lepas malam ini. (Kau yakin tidak ingin berharap lebih?)
"Tumben lucu, Mas?" goda Rama, sambil menyantap nasi goreng pesanannya.
"Emang biasanya nggak lucu?" Mas Mul membalasnya dengan mimik jenaka.
"Lucu sih." Aku mencoba melibatkan diri. "Tapi garing kayak kerupuk."
Lagi-lagi, kami tertawa leluasa. Aku yakin tidak akan ada yang protes dengan tawa kami yang berisik. Kami sama-sama tahu bagaimana tipikal penghuni rumah susun ini.
"Kangmas ini lagi latihan drama ya?" Mas Mul kembali melontarkan pertanyaan absurd yang membuat aku dan Rama mengernyitkan dahi. "Mau casting sinetron ya? Ha ha ha." Mas Mul tergelak sendiri. "Enggak apa-apa, Mas. Saya juga sering ikut casting kok. Jadi sering latihan drama juga di rumah."
"Ikut casting? Terus lolos, Mas?" pancing Rama, sambil menahan tawa.
"Sontoloyo. Kalau lolos, ngapain saya masih dagang, Mas?" kilah Mas Mul, membanting serbetnya ke tanah. Pancingan Rama sukses dilahap. Tawa pun kembali meledak. "Ya sudah. Saya balik dulu. Takut gerobak saya dicuri orang."
Mas Mul pun berlalu meninggalkan kami berdua. Terima kasih, Mas Mul. Kejenakaan dan ke-absurd-annya, secara tidak langsung, tampaknya telah berjasa besar mencairkan perasaan canggung antara aku dan Rama.
"Oh ya. Kita sampai mana tadi?" Aku berusaha mengingatkan Rama pada bahan obrolan kami.
"Oh,… Ini… Kamu beneran belum pernah pacaran?"
Aku mengangguk. "Kamu sendiri gimana?"
"Aku pernah sih, beberapa kali. Tapi nggak ada yang awet. Paling lama 2-3 bulan. Biasalah. Umumnya, alasan putusnya sekadar nggak cocok aja."
"Kalau sekarang, apa kamu sudah nemu yang cocok?
(Bagus, Diandra. Pertanyaan yang brilian!)
Mendengar pertanyaanku, Rama langsung melempar tatapan menelisik dan membuatku menyadari bahwa aku terlalu gegabah. Kenapa kedengarannya seolah-olah aku sedang menginterogasinya? Bodoh!
(Tidak, Diandra. Menurutku, kau tidak sebodoh itu.)
"Maaf, Ram. Aku nggak bermaksud untuk ...."
"Sudah ada sih." Jawaban itu membuat jantungku berdesir tiba-tiba. Ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam rongga dadaku. Sementara itu, senyum khas Rama lambat laun tertahan. Sembari menaruh piringnya di sudut pilar penyangga, ia menggeleng. Keceriaan yang dipertontonkannya beberapa saat yang lalu seakan tersapu angin malam. Sorot matanya meredup menerawang kegelapan.
"Dia sekantor denganku." Mendadak tubuhku serasa tersambar petir. "Tapi bukan itu masalahnya. Aku sering melihatnya diantar oleh seorang laki-laki. Besar kemungkinan, laki-laki itu adalah pasangannya."
Aku tak menanggapi kisah Rama lantaran terlampau sibuk melawan kecamuk di dadaku. Sejujurnya aku tak memperhitungkan kemungkinan terburuk yang saat ini sedang dikisahkan Rama. Kupikir kemungkinan yang terburuk adalah apabila ‘Juragan’ mengetahui perasaanku terhadapnya.
"Diandra...," Sayup-sayup, aku mendengar suara Rama memanggil namaku. "Kamu kenapa?"
Tidak, Rama tidak perlu melihat raut kekecewaanku. Semuanya harus tetap mengalir seperti air jernih. Entah bagaimanapun akhir dari cerita ini, semuanya harus tetap berjalan normal. Sebisa mungkin, aku mencoba bersembunyi di balik ******* senyum. Sebagai anak buah Juragan, aku sudah cukup terlatih untuk itu. Dan, syukurlah, Rama bersedia membalas senyumku. Syukurlah, Rama tak sempat membaca kekecewaanku.
"Namanya Letisha," kisah Rama. Sejujurnya aku tak ingin mendengar kelanjutan kisah itu. Beruntung, aku memiliki kemampuan sugestif terhadap diri sendiri. Sekilas mataku terfokus pada Rama, namun pikiranku melayang jauh, berusaha membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Dengan begitu, akan lebih mudah bagiku untuk mempertahankan senyum di sudut bibirku.
Sementara Rama terus berceloteh perihal perempuan pujaan hatinya, aku memilih berupaya mengendalikan diri agar tak bertingkah macam-macam. Meskipun perih di dadaku membuatku ingin sekali meronta, aku tetap bersikeras menahan keinginan itu. Tiba-tiba terbersit niatku untuk mengunjungi Juragan. Tiba-tiba aku merasa membutuhkan tugas baru sebagai pelampiasan. Tiba-tiba, aku ingin melepaskan anjing itu dari dalam kurungan. Kadang-kala kesibukan adalah cara yang terbaik untuk mengalihkan kekecewaaan.
(Lepaskan, Diandra! Lepaskan!)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments