10 Oktober 2018
Pukul 16.34
"Semburat surya perlahan melemah
Langit barat lambat laun memerah
Langit petang, langit yang didamba manusia siang
Kala sengat panas tak lagi beringas
Kala senyum lunglai Ayah menyemai halaman rumah
Manakala sang serigala turun dari awan utara,
menerkam tanpa geram, memangsa tanpa dahaga,
Ayah berdiri bak martir, tak gentar meski darahnya berdesir"
AYAH? Apa-apaan ini? Kenapa aku malah menulis sajak konyol? Mestinya selembar kertas HVS ini kugunakan untuk menyusun resume rekaman wawancara yang telah kuselesaikan seharian ini. Namun, justru apa yang kuperbuat? Serigala turun dari awan utara? Apa maksudnya? Ayah berdiri bak martir? Dari mana aku bisa menemukan kata-kata aneh semacam ini? Lalu, Ayah? Siapa Ayah? Aku bahkan tak pernah merasa punya ayah. Lalu, apa maksud tulisan ini? Ah, sialan. Lagi-lagi, aku menghabiskan waktu untuk melamun sia-sia.
Rupanya, kebiasaan melamunku sudah berimbas negatif, terutama berpengaruh pada kinerjaku yang belakangan ini menjadi kurang efektif. Entah apa pemicunya. Entah kondisi psikologis atau hanya faktor kelelahan. Yang jelas, jika situasi seperti ini terus berkelanjutan, keseharianku bakal banyak terganggu. Aku jadi mulai berpikir untuk meluangkan waktu mengunjungi psikiater. Setidaknya untuk memastikan apakah gangguan yang kualami ini dapat berakibat buruk pada kondisi psikisku di masa mendatang.
Sambil mengembuskan napas panjang, aku mengusap kulit mukaku yang sudah kusam terjamah polusi. Beberapa menit yang lalu, aku bahkan tidak sadar sedang berada di mana. Rupanya sudah setengah jam aku duduk terpekur di selasar sebuah coffee shop. Sementara itu, secangkir kopi pesananku yang teronggok di atas meja sudah hampir dingin, sekian lama menunggu untuk dicecap tandas. Maka, sembari memandang sekitar, aku merengkuh cangkir kopi creamy latte itu. Dingin memang, namun seteguk saja sudah cukup menyegarkan pikiran. Sialnya, seteguk kopi itu juga mampu memulihkan ingatanku yang sempat tersumbat oleh lamunan sialan beberapa saat yang lalu. Sial. Aku baru ingat bahwa sore ini aku masih menyisakan satu lagi agenda wawancara untuk diselesaikan.
Secara spontan dan gemas, aku memukul keningku sendiri. Untung saja, jadwal temu janji dengan narasumber terakhir masih sekitar satu jam lagi. Jadwal padat yang sudah menjadi keseharianku ini semestinya membuatku terbiasa berpikir efisien. Namun, dengan banyaknya waktu yang tersita akibat lamunan tadi, kini aku harus mengatur ulang waktu yang tersisa agar tidak keteteran saat menyusun laporan hasil reportase malam nanti.
Dengan tergesa-gesa, kuremas lembaran HVS berisi sajak lamunan konyol hingga membentuk bola kecil. Kulemparkan bola itu ke mulut tempat sampah yang kebetulan berada di dekat tempat dudukku. Three points! Sebagai gantinya, aku langsung menyambar secarik kertas HVS baru dari tumpukan map di dalam tas ranselku. Lalu, dari dalam saku kemejaku, aku menarik seutas kabel pelantang telinga yang terhubung pada seperangkat alat pemutar musik, lantas menyelipkan ujung pelantangnya di kedua telingaku. Beberapa file rekaman hasil wawancara, yang telah kuhimpun selama seharian, coba kupelajari ulang. Aku harus menyusun skema berdasarkan urutan waktu.
"Bejana seimbang?"
Baru saja aku berniat menggambar kotak-kotak skema pada lembar HVS, tiba-tiba sebuah suara menyelinap dari arah belakang. Terkejut, kepalaku yang tertunduk di atas kertas HVS pun terangkat. Dalam waktu yang singkat, mood dan konsentrasi yang susah payah kubangun pun berantakan. Spontan, aku menoleh ke belakang, arah dimana suara itu berasal. Sewujud laki-laki muda tahu-tahu sudah muncul di sana.
Barangkali usia pria itu masih sepantaranku. Bedanya, ia tampak lebih tinggi dan berotot. Pria asing itu berdiri sambil menyandang tas ransel hitam. Penampilannya lumayan rapi dengan setelan kemeja bersaku tunggal. Di dalam saku kemejanya, terselip sebuah benda yang menyerupai perekam suara. Meski hanya sekilas, aku langsung bisa menympulkan bidang profesi yang ditekuninya.
"Anda sedang membuat bejana seimbang?" Orang itu mengulang pertanyaannya.
"Benar," Alisku terangkat. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya Awan Semesta, jurnalis harian Suara Massa," lanjut pria itu, sambil menawarkan jabat tangan.
"Saya Rama. Rama Lazuardi dari Metropolis." Aku merasa agak canggung saat menggenggam tangannya yang berotot itu. Akibatnya, pergelangan tanganku agak tersentak oleh tenaganya yang cukup perkasa.
"Surat kabar spesialis kriminal?" Aku mengangguk setuju. "Berarti saya sedang berbicara dengan orang yang tepat."
"Maksud Anda?"
"Maaf sebelumnya, sudah mengganggu dan mengagetkanmu, Rama. Saya cuma minta waktu sebentar untuk..."
"Maaf, Bung. Saya belum berani memastikan apakah saya punya waktu untuk mengurusi hal lain atau tidak..." Sambil berkata, aku mengarahkan lirikan ke arah kertas HVS-ku sebagai penegasan bahwa aku sedang sibuk bekerja.
"Tidak akan lama. Beberapa menit saja. Bagaimana?"
Aku tidak buru-buru merespons walaupun pada akhirnya aku mengiyakan. "Silakan," ucapku sambil menunjuk kursi di depanku dengan telapak tangan untuk memintanya duduk.
"Baik. Nnggg... Rama?" Wajah pria yang mengaku bernama Awan itu menatapku antusias. "Saya cuma ingin minta pendapatmu soal hasil investigasi saya."
"Investigasi? Anda ini intel atau..."
"Investigasi jurnalistik." Kata-kata Awan memang terdengar pelan, namun lugas, sampai-sampai aku tidak diberi kesempatan untuk menanggapi. "Dan gara-gara investigasi yang saya kerjakan ini, saya harus menelan pil pahit, yaitu diberhentikan dari Suara Massa."
Tanpa kusadari, ucapan pria ini barusan rupanya mampu membuatku luluh. Harus kuakui, pria ini benar-benar mampu membaca titik kelemahanku, yaitu terlalu mudah berempati pada seseorang. "Baiklah. Apa yang bisa saya bantu?"
"Saya butuh kepanjangan tangan."
"Maksud Anda?"
"Saya butuh orang yang punya akses di media untuk mengambil estafet hasil penelitian saya. Saya harap kamu bisa bersabar barang sebentar. Saya jamin kamu akan tertarik dengan ini nantinya. Sebagai jurnalis, kamu punya intuisi yang kuat."
Sambil melirik jam tangan, "Baik. Anda punya waktu lima menit. Silakan, Bung Awan."
Awan mengambil waktu sejenak untuk menghela napas. "Baik, Rama. Sebagai seorang wartawan kriminal, kamu pasti pernah mendengar fenomena kematian misterius yang menimpa sejumlah tokoh penting? Ada nama pengusaha top Albert Riyadi yang meninggal di rumah sakit dua tahun silam. Hasil investigasi saya memunculkan dugaan indikasi malpraktik yang disengaja oleh pihak rumah sakit."
"Sebentar sebentar," sergahku, menyela. "Atas dasar apa Anda menduga...?"
"Sebentar. Saya belum selesai." Suasana hening sejenak. "Bisa saya lanjutkan?" Lagi-lagi, aku pilih mengalah demi menghindari perdebatan panjang. "Kemudian, ada nama Lukas Tambunan, politikus idealis yang setahun lalu jasadnya ditemukan di kantornya dengan lubang peluru di kepala. Untuk yang satu ini, saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Kamu pasti bisa menyimpulkan bahwa peristiwa itu murni pembunuhan. Benar begitu, bukan?"
Aku kembali mengangguk, kali ini demi menghemat waktu. Sejujurnya aku hanya ingin pria ini lekas menyelesaikan omong kosongnya sehingga aku bisa segera kembali melanjutkan pekerjaan.
"Kemudian, yang terbaru, ada nama pengusaha Erwin Hartanto dan anggota legislatif, Adjie Cahyadi, yang jenasahnya ditemukan dalam keadaan termutilasi. Tapi saya yakin ada yang tidak beres dengan penyidikan kasus kematian mereka."
Cukup, aku tidak tahan lagi mendengar penjelasan Awan yang bertele-tele. "Bung Awan, mohon maaf sebelumnya. Kalau Anda berniat menarik kesimpulan sendiri, saya juga berhak punya kesimpulan soal kasus-kasus yang Anda maksudkan. Dan kesimpulan saya sama dengan laporan pihak kepolisian. Lagipula, proses penyidikan terhadap kasus-kasus itu sudah resmi ditutup. Tersangka pembunuhan Erwin Hartanto sendiri sudah ditetapkan, yaitu petugas sekuriti di kantornya. Motifnya balas dendam. Case closed!"
"Sebegitu dangkalkah pemikiranmu, Rama?" Mendengar ucapan sinis itu, aku langsung bereaksi. Rasa empatiku pudar. Namun, entah mengapa, mulutku justru terkunci rapat. "Lalu bagaimana dengan isu-isu konyol yang diembuskan sejumlah media, seperti kemunculan makhluk aneh yang digambarkan sangat menyeramkan itu? Kamu pernah mendengarnya, bukan?"
"Apa tujuan Anda menanyai saya tentang berita-berita yang tidak masuk akal itu? Anda ingin merendahkan saya?" Aku coba menghardik dengan nada tinggi.
Namun, seperti tidak peduli dengan emosiku yang mulai terpancing, Awan justru asyik melanjutkan ocehannya. "Media tidak sepenuhnya salah, Rama. Mereka hanya menarik kesimpulan berdasarkan rekaman CCTV di rumah Djanus Riyadi. Makhluk itu jelas-jelas tertangkap kamera pada malam terbunuhnya Djanus. Seperti yang kamu ketahui, adik kandung sekaligus suksesor Albert Riyadi di jajaran direksi Riyadi Group itu akhirnya harus bernasib sama seperti kakaknya, tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Mayatnya bahkan harus diidentifikasi dengan cara mencocokkan sidik jari lantaran potongan kepalanya tak kunjung ditemukan. Lalu apa komentarmu tentang data temuan media itu?"
Aku sadar orang ini sedang mengujiku. Rupanya ia cukup mahir memainkan situasi untuk menjebak dan mempengaruhi pemikiranku. Untungnya, aku tidak mau begitu saja mengikuti permainannya. "Saya punya kesimpulan sendiri soal itu. Dan yang jelas kesimpulan saya sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal mistis. Saya bukan wartawan majalah metafisika yang sering mengesampingkan logika."
"Saya tidak menuduhmu begitu. Saya hanya menggugat kompetensimu dalam menganalisa sebuah kasus kriminal."
"Jadi, menurut Anda, sebagai wartawan saya tidak kompeten, begitu?"
Sepotong senyum tersungging di separuh bibir Awan. "Kamu salah, Rama. Saya justru berharap banyak padamu. Dengan predikat wartawan yang kamu sandang, tidak seharusnya kamu melahap opini-opini media mainstream mentah-mentah."
Mendadak, otot wajah Awan mengendur. Tampang sinis yang diumbarnya sejak awal, pelan-pelan memudar. Namun, itu justru membuat empatiku muncul lagi. Mungkin saja, pria ini sedang dalam kondisi psikis yang tertekan setelah menjadi korban PHK. Orang yang tertekan biasanya terlalu banyak bicara ngawur. Buktinya, sudah cukup lama kami mengobrol, aku tetap belum paham arah pembicaraannya.
"Bung Awan, saya turut prihatin dengan apa yang menimpa Anda. Saya memahami apa yang Anda rasakan saat ini." Dari dalam dompet, aku mencabut kartu nama dan memberikan benda itu padanya. "Anda tak perlu sungkan menghubungi saya. Saya siap membantu apabila diperlukan."
Akan tetapi, dengan raut muka yang kembali sinis, Awan justru menepis tanganku. "Itu nanti saja. Saya punya sesuatu yang lebih penting."
Kesal, aku membuang kartu nama yang kupegang dan membuat benda kecil itu menjauh terbawa angin. Sementara itu, Awan belum menyerah. Kini ia sibuk mengobok-obok isi tas ranselnya. Beberapa saat kemudian, tangannya muncul bersama dengan selembar karton jumbo yang warnanya sudah kusam.
"Bisa pinjam kotak pensil?" Dengan isi kepala yang penuh teka-teki, aku mengambil kotak pensilku dari dalam tas dan memberikannya pada Awan. Laki-laki itu menaruh kotak pensilku sebagai pengganjal pada ujung karton agar tak kembali terlipat.
"Ini dia!" pungkasnya, antusias.
Beberapa potongan kliping berita surat kabar tampak melekat pada lembaran karton itu. Di sudut-sudut tertentu, terdapat foto-foto sejumlah tokoh penting yang beberapa di antaranya adalah nama-nama korban pembunuhan. Garis-garis lurus tampak saling bersinggungan dan membentuk hubungan-hubungan silogisme yang sangat rumit. Kerumitan yang tergambar di permukaan karton itu justru membuat keningku berkerut.
"Bagaimana menurutmu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments