Ustadz Afarisi tampak mengerutkan kening.
"Memangnya kamu bawa kucing ke sini?"
"Tidak ustadz, tapi kucing itu memang ada di sekitar sini dan langsung Chila pelihara karena merasa lucu."
"Oh." Ustadz Alfarisi yang tidak ingin memperpanjang pembicaraan langsung mengangguk-angguk.
"Baiklah santriwan-santriwati sekarang kita mulai pelajaran. Sebelum mulai marilah kita menundukkan kepala dan berdoa agar ilmu yang kita pelajari bisa cepat kita pahami dan berguna nantinya. Berdoa mulai!" seru ustadz Alfarisi dan langsung membuat semuanya santrinya menunduk sambil membaca doa.
"Berdoa selesai!" seru ustadz Alfarisi lagi sehingga kali ini para santrinya mengangkat wajah.
"Kemarin sampai mana ya, pelajaran kita?" tanya ustadz Alfarisi sebelum memulai mata pelajaran.
"Hafalan Pak!" teriak beberapa santri dalam kelas tersebut.
"Ckk, kenapa diingatkan sih? Mentang-mentang mereka hafal," kesal Fazila sambil menatap beberapa teman sekelasnya dengan ekspresi cemberut.
"Kenapa Chila, masih memikirkan kucingmu?" tanya ustadz Alfarisi membuat Fazila menganggap pria itu memperhatikan dirinya terus sedari tadi.
"Gawat! Jangan-jangan nanti yang dipanggil ke depan untuk menghafal pertama kali adalah aku," batin Fazila ketar-ketir.
"Ah tidak Pak, tidak apa-apa."
"Hmm." Pria itu hanya berhem ria membuat jantung Fazila tambah jedag-jedug dibuatnya.
"Oh ya ya anak-anak minggu lalu saya memberikan hafalan untuk kalian. Bagaimana sudah hafal semuanya?"
"Hafal Ustadz!" jawab mereka serempak dengan suara yang begitu keras sehingga memenuhi seluruh ruangan kelas.
Fazila hanya terbelalak karena merasa tidak hafal sendirian.
"Semoga aku yang dipanggil terakhir dan waktunya tidak cukup sehingga hafalanku tidak harus hari ini," ucap Fazila di dalam hati penuh harap.
"Masyaallah hebat kalian semua. Kemarin saya mengatakan apa hukumannya jika ada diantara kalian jika tidak hafal?"
"Harus khatam membaca Alquran di hari ini juga ustadz!" seru Heni sambil melirik ke arah Fazila yang wajahnya langsung berubah pucat sedangkan teman-teman sekelasnya yang lain malah tampak bingung dan menatap satu sama lain.
"Oh begitu ya, ustadz lupa soalnya. Baiklah untuk yang pertama harus maju adalah–"
Ustadz Alfarisi menghentikan ucapannya tatkala melihat fasila bangkit berdiri dari duduknya.
"Chila kamu yang ingin maju duluan?" Ustadz Alfarisi menawarkan agar Fazila menghafal untuk yang pertama kali mengingat gadis itu berdiri.
"Eh, tidak ustadz, Fazila hanya ingin pamit ke kamar mandi untuk buang air sekaligus membenahi kerudung Fazila yang salah ini."
Ustadz Alfarisi menatap kepala Fazila untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Gadis itu benar adanya.
"Kenapa bisa terbalik seperti ini? Apakah kamu tidak fokus karena terlalu memikirkan kucingmu yang sudah tiada itu?"
"I ... iya Pak," sahut Fazila gugup.
"Baik pergilah dan nanti setelah kembali langsung kamu maju ke depan!"
Mendengar perkataan ustadz Alfarisi, Fazila terbelalak sambil menelan ludah
"Bagaimana ini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Apa yang kamu tunggu? Pergilah jangan sampai buang air di sini!"
"Baik Ustadz, kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi," jawab ustadz Alfarisi sebelum akhirnya berbicara dengan santri yang lainnya.
"Ayo siapa yang mau maju duluan?"
Semua hanya diam, tak ada satupun yang mengacungkan tangan.
"Loh katanya sudah hafal semua, kenapa tidak ada yang berani maju? Ini kalian benar-benar hafal atau hanya pura-pura hafal sih?" Ustadz Alfarisi bingung dengan sikap anak didiknya.
"Izzam hafal?" tanya ustadz Alfarisi kemudian.
Anak itu mengangguk.
"Kalau begitu silahkan maju ke depan!"
Sekali lagi Izzam mengangguk dan akhirnya bangkit berdiri kemudian melangkah ke depan. Dia berdiri di samping ustadz Alfarisi yang kini sudah duduk di kursi guru.
"Sudah siap?" tanya ustadz Alfarisi lagi untuk memastikan.
"Siap Ustadz."
"Baik kalau begitu silahkan dimulai!"
Izzam pun langsung menghafal hafalan bahasa Arab yang sudah ditugaskan sebelumnya oleh ustad Alfarisi.
"Terima kasih Izzam, sekarang kamu boleh duduk. Ayo siapa yang mau maju lagi?"
Masih saja tidak ada yang mengangkat tangan sehingga terpaksa ustadz Alfarisi memanggil berdasarkan urutan absen.
"Anggita Anggraini!"
"Baik ustadz." Anggita langsung berdiri dan maju ke depan.
"Ah akhirnya aku hafal juga," batin Anggita setelah ketar-ketir sebab beberapa kali menghafal selalu saja ada kalimat yang terlupa.
"Baik terima kasih dan kau juga boleh kembali duduk!"
"Terima kasih Ustadz."
"Absen selanjutnya Ardian Febriyanto!"
"Baik ustadz."
Absen terus berlalu dan satu-persatu santri maju ke depan untuk memperlihatkan hafalan mereka sementara Fazila belum kembali juga.
Sejak meminta izin tadi pada ustadz Alfarisi tadi dia memang tidak ada niatan untuk kembali ke dalam kelas.
"Setelah selesai buang air kecil dan membenarkan kerudungnya, gadis itu langsung menuju pagar sekolah untuk kembali ke pondok putri.
"Tidak boleh keluar dari area sekolah Neng," tegur pak satpam saat Fazila meminta tolong untuk membukakan pintu pagar.
"Tapi saya pusing Pak, saya ingin beristirahat saja."
"Kalau begitu si Eneng harus melapor sama ustadz atau ustadzah yang sekarang mengajar di kelas Eneng."
"Sudah Pak, bahkan ustad Alfarizi sudah mengizinkan saya untuk kembali ke pondok putri."
"Tapi tidak semudah itu untuk keluar dari sekolah ini Neng. Prosedurnya tidak seperti itu. Jika Eneng sudah mendapatkan izin dari ustadz yang mengajar seharusnya beliau langsung mengantarkan Eneng sendiri ke sini dan memberitahu bapak.
Bukan apa-apa, beberapa waktu yang lalu ada santriwati yang mengatakan sudah pamit pada ustadzah dan saya langsung mengizinkan untuk keluar dari sekolah. Nyatanya santri itu tidak kembali ke pondok putri melainkan kabur dari sekolah ini bahkan dari pesantren dan tidak kembali ke sini sehingga saat orang tua mereka menanyakan santri tersebut pihak pesantren kelimpungan dan bingung harus menjelaskan seperti apa. Terlebih lagi orang tuanya tidak mau tahu, dia ingin agar anak mereka segera ditemukan karena itu merupakan tanggung jawab dari pesantren yang sudah mengambil titipan dari wali santri."
"Ckk." Fazila hanya bisa berdecak. Sepertinya keinginan untuk kabur dari pelajaran bahasa Arab hari ini tidak direstui oleh Tuhan.
"Kembalilah ke dalam kelas dan minta antar pada ustadz Alfarisi agar saya bisa percaya pada Eneng."
Fazila mengangguk meskipun dalam hati tidak ada niat untuk melakukan hal itu. Kembali ke dalam kelas bagi Fazila sama halnya dengan bunuh diri mengingat perkataan ustadz Alfarisi yang menyatakan Fazila harus maju ke depan setelah kembali.
Dengan langkah gontai Fazila beranjak kembali, meninggalkan pak satpam yang menatapnya dengan bingung.
"Aha! Aku punya ide. Bagaimana kalau aku melompati pagar ini? Sepertinya tidak terlalu tinggi untuk aku lampaui." Fazila tersenyum licik lalu menjinjing rok panjangnya. Sebelum dia naik terlebih dahulu matanya celingukan melihat ke berbagai arah, barangkali ada orang lain yang melihat aksinya itu.
"Sepertinya aman," gumam Fazila dan langsung naik ke atas pagar.
"Tuh kan, benar dugaanku dia pasti akan kabur." Tak jauh dari tempat Fazila berdiri Heni mengawasi Fazila. Dia yang curiga pada Fazila tadi ikut pamit ke kamar mandi dan berencana menguntit gadis itu.
Dia ingin sekali menangkap basah kesalahan yang dilakukan oleh Fazila sehingga akhirnya gadis itu dihukum. Ini adalah wujud kekesalan Heni terhadap Fazila karena kejadian tadi pagi di kamar mandi pondok putri.
"Hei mau apa kamu!" teriak Heni membuat Fazila yang ingin melompat mengurungkan langsung niatnya.
"Siapa dia!" Fazila mencari-cari keberadaan pemilik suara tersebut, tapi tidak berhasil menemukannya karena Heni langsung bersembunyi.
"Ya Allah suara siapa itu?" Nyali Fazila untuk melompat ciut kembali tatkala melihat di samping sekolah itu adalah pemakaman besar.
"Jangan-jangan suara itu adalah suara hantu dari sana," ucap Fazila bergidik ngeri.
"Apa yang harus aku lakukan? Kalau kembali ke kelas sudah jelas mendapatkan hukuman membaca Alquran sampai khatam dalam satu hari. Meskipun dapat pahala tapi rasanya aku tidak sanggup membaca 30 jus dalam sekali duduk. Namun, kalau aku melompat bisa saja aku dikejar-kejar hantu." Fazila terlihat galau.
"Tapi sekarang kan sudah pagi mana bisa ada hantu? Yang ada hantu yang kesiangan itu akan mati terbakar sinar matahari." Begitu film horor yang dia tonton waktu masih kecil.
Namun, saat hendak melompat terdengar suara burung hantu dan lolongan anjing dari arah makam.
"Aku tidak berani." Fazila masih berada di atas pagar tembok.
"Ustadz! Fazila ingin kabur!" teriak seorang wanita membuat fokus Fazila ambyar. Dia langsung melompat secara sembarangan hingga jatuhnya bukan keluar dari area sekolah melainkan ke tempatnya semula.
"Ustadz! Chila tadi hanya pura-pura ingin ke kamar mandi, tetapi nyatanya ingin kabur!" teriak Heni dan Fazila langsung mengumpat dalam hati mendengar Heni masih memata-matai dirinya.
"Sial si Heni, sepertinya dia suka sekali mengacaukan hidup orang lain." Segera Fazila berlari melihat para ustadz dan ustadzah terlihat keluar dari kelas tempat mereka mengajar masing-masing.
"Gawat aku harus bersembunyi!"
"Tapi dimana yang nggak bakal ketemu?" Fazila gusar sendiri.
Tiba-tiba dia melihat ada pohon jambu air yang begitu lebat dengan buah dan daunnya.
"Uhu sepertinya aku harus memanjat pohon itu dan bersembunyi dibalik rerimbunan daunnya." Fazila tersenyum antusias.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Dewi Anggya
chilaaaaaa ada² ajaaaa
2023-11-13
0