Malam menjelang malam, atas keinginan Isyana semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga untuk mendiskusikan bagaimana baiknya tindakan yang harus diambil untuk menghadapi kenakalan Fazila.
Setelah berembuk akhirnya mereka semua memutuskan agar Fazila di sekolahkan di pesantren saja.
"Bang!" Fazila mendekat ke arah Tristan yang sedang duduk bersandar pada sebuah sofa dengan mata gadis itu yang nampak berkaca-kaca.
"Nggak apa-apa, sekolah di sana bagus loh. Selain bisa belajar agama lebih dalam, kamu juga bisa belajar disiplin dan bersosialisasi lebih akrab dengan teman-temanmu," jelas Tristan menenangkan hati sang adik.
"Tapi Chila pasti kangen sama Abang." Gadis itu meneteskan air mata. Dibandingkan yang lain Fazila memang paling dekat dengan Tristan.
"Hus, jangan nangis! Nanti Abang usahakan sering-sering jenguk kamu."
Fazila langsung berhambur ke pelukan Tristan. Ia mendongak, menatap wajah Tristan penuh harap.
"Benar, ya Bang? Abang jangan bohong sama Chila. Nanti alasan sibuk lagi."
"Nggak, Abang janji," ucap Tristan sambil mengelus rambut sang adik.
Fazila mengangguk.
"Ya sudah istirahat sana! Besok kamu sudah harus pergi. Papa sudah menghubungi pihak pesantren tadi."
"Iya Bang." Fazila langsung berlari ke atas dan masuk ke dalam kamarnya.
Di dalam kamar dia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kemana-mana. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk lalu meraih segelas air putih di bawah lampu tidur dan meneguknya.
"Ah aku pasti bisa menjauh dari keluarga untuk sesaat. Setelah lulus juga bakal kembali ke sini lagi." Gadis itu menatap seluruh kamarnya yang bernuansa putih.
"Aku pasti akan merindukan kamar ini. Bagaimana kamar di sana ya?" Gadis itu bergumam sendiri.
"Ah sudahlah lebih baik aku tidur saja, besok malam aku sudah tidak bisa menikmati kenyamanan kamar ini lagi." Fazila merebahkan tubuhnya kembali. Mencoba untuk memejamkan mata hingga akhirnya dia terlelap.
Esok hari semua orang sedang bersiap untuk mengantarkan Fazila. Saat hendak masuk mobil Chexil muntah-muntah dan tidak mau berhenti.
"Nathan lebih baik kalian nggak usah ikut saja ya. Sepertinya kondisi istri kamu sedang tidak baik-baik saja. Mama tidak mau terjadi sesuatu yang tidak baik dengan janinnya."
"Chila?" Nathan seolah meminta persetujuan adiknya.
"Nggak apa-apa Bang, demi kebaikan kak Chexil juga dedeknya, Abang dan Kak Chexil tidak usah ikut saja," saran Fazila.
"Padahal Kakak juga mau ikut mengantar, huek ... huek."
"Sudah Kak nggak apa-apa, lebih baik Kakak jaga ponakan Chila saja. Chila mau kalau pulang nanti dedeknya sudah lahir." Fazila berkata sambil mengelus perut Chexil.
"Awas Chila tubuh kakak kotor kena muntahan, jangan pegang-pegang! Huek ... huek."
"Sudah Nath bawa istrimu masuk!" perintah Zidane.
"Iya Pa. Maaf ya Chila."
"Iya Bang nggak apa-apa, santai aja lagi."
Nathan dan Chexil kembali ke dalam rumah sedangkan keluarga yang lain masuk ke dalam mobil untuk mengantarkan Fazila ke pondok pesantren.
Di dalam mobil Fazila tampak termenung, tidak berbicara sepatah katapun.
Tristan terus saja menggodanya, tetapi gadis itu tidak merespon sama sekali.
"Mikirin apa sih Chila? Masih mikirin dokter itu?" tanya Tristan serius.
Chila tersadar dari lamunannya. "Apa kata Abang tadi?"
"Masih mikirin dokter itu?"
"Ah nggak, cuma mikirin gimana nanti kalau sudah berpisah dengan keluarga." Fazila berbohong padahal sedang teringat saat-saat bersama dokter Davin sampai dimana dia chat-an terakhir kali dengannya. Hingga membuat ia harus terlempar ke dalam pesantren kini.
Ternyata dia tidak suka aku ngerecokin hari-harinya. Kenapa nggak jujur aja sih sampai harus mengerjaiku segala? Ah sudahlah mungkin ini yang terbaik untukku. Paling tidak Tuhan masih menyelamatkanku dari kejahatan para preman itu.
"Bohong, mikirin apa hayo?"
"Beneran Bang, nggak mikirin apa-apa juga."
"Kalau begitu senyum dong, cemberut aja sih dari tadi!"
Fazila mencebik, tetapi kemudian tersenyum juga.
"Selvi dulu yuk!" ajak Tristan.
Fazila pun mengangguk dan akhirnya foto-foto bersama Tristan dalam mobil sambil tertawa-tawa.
Laras melirik Tristan dan Fazila lalu tersenyum melihat keakraban keduanya yang tidak pernah berkurang sedikitpun.
"Ingat ya jangan posting-posting kalau Chila mondok. Saya tidak mau si dokter itu tahu kalau Fazila kita taruh di pesantren."
"Iya Ma," jawab Tristan sedang Fazila hanya mengangguk. Dalam hati sudah bertekad untuk melupakan dokter Davin untuk selamanya.
Sampai di sana kedatangan keluarga Zidane sudah disambut oleh ketua yayasan dan beberapa ustadz dan ustadzah.
"Bik Ina Nasi kotaknya tolong diturunkan dari mobil dan berikan sama mereka ya biar di bagi sama anak-anak di sini!" perintah Zidane.
"Iya Den."
"Pak sopir bantu juga ya!"
"Baik Tuan."
"Baiklah kalau begitu kami masuk duluan."
"Iya Tuan."
"Ramai ya Bang," ucap Fazila sambil terus berjalan mepet Tristan.
"Namanya juga pesantren Chila ya rame lah, kalau sepi itu namanya kuburan," ucap Tristan lalu terkekeh.
"Ih Abang Chila serius ngomongnya." Fazila mencebik.
"Lah Abang lebih serius lagi Chila."
Mereka terus berjalan di belakang orang tua. Bik Ina menyusul di belakang dengan membawa kotak makanan.
Dari sudut bangunan beberapa santri saling senggol.
"Siapa mereka? Santri barukah?"
"Mungkin," jawab Izzam sambil mengendikkan bahu.
"Izzam lihat dulu dong! Nih anak kebiasaan menjawab tanpa lihat dulu siapa yang kita tanyakan," protes santri yang bertanya tadi.
"Aku lagi sibuk baca Alquran hadis. Kalian lihat sendiri, kan? Kenapa masih bertanya padaku?"
"Hmm, mentang-mentang anak ustadz bawaannya ke sana kemari ya kita. Kalau tidak baca Al Qur'an ya hadis atau kitab lain lagi. Aku nggak ngerti ah apaan saja yang kamu baca. Coba sekali-kali lihat sekitar Izzam tuh lihat di depan sana ada barang bagus."
"Barang bagus apa sih Fik, pasti si Juleha lagi ya? Udah deh jangan mencoba meracuni mataku dengan hal-hal yang tidak halal."
"Astaghfirullah haladzim, benar kata om Bintang nih anak benar-benar ya," kesal Rofik.
"Baca terus kalau perlu tuh mata jangan lihat yang lain selain kitab. Kusumpahi kamu berjalan terus terbentur pohon," geram Rofik lalu meninggalkan Izzam pergi. Bukan apa-apa pria itu kesal sebab seolah Izzam cuek dengan dirinya.
"Rofik tunggu!" Izzam menaruh buku kecil itu ke dalam saku baju muslimnya lalu sedikit berlari mengejar Rofik.
Namun, Rofik sudah menghilang dari pandangan mata.
"Kemana tuh anak, masa cowok ngambekan sih," keluh Izzam.
"Izzam!" Suara seseorang membuat pria itu kaget dan kesandung batu. Izzam hampir saja terjatuh dan sarung yang dipakainya hampir merosot.
Buru-buru Izzam membenahi sarungnya lalu menoleh.
"Ada apa ustadzah Ana?"
"Kau dipanggil Pak kyai. Beliau ingin meminta tolong dirimu untuk menyuguhkan makanan kepada tamu pria."
Ya, karena Izzam adalah putra dari almarhum ustadz Alzam yang pernah mengajar di tempat itu maka Izzam sudah dianggap keluarga sendiri oleh pihak pesantren.
Izzam dekat dengan Pak Kyai dan selalu dibawa saat beliau mengisi ceramah di luar kota. Izzam pun tidak segan-segan membantu perkara hal apa saja yang dibutuhkan pesantren dengan ikhlas dan karena itu pula pihak pesantren menggratiskan biaya sekolah Izzam.
Namun, meskipun demikian Bintang dan Mentari yang berasal dari orang kaya tidak hanya diam saja. Mereka menjadi donatur tetap untuk kebutuhan pesantren.
"Baik ustadzah."
Ustadzah Ana mengangguk lalu pamit pergi.
Izzam pergi ke dapur pesantren. Sampai di sana dia menuangkan kopi dari ceret ke dalam beberapa cangkir yang sudah terlebih dahulu diletakkan di atas sebuah nampan. Tak lupa juga dia menaruh beberapa toples berisi kue-kue kering di atasnya. Setelah itu dia membawa ke dalam rumah tempat pak Kyai menerima tamu.
"Assalamualaikum!" Izzam berikan salam sebelum masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuk Izzam!"
Izzam mengangguk sambil tersenyum saat Pak Kyai dan Zidane memandang dirinya.
"Ini santri yang saya bicarakan tadi, di usianya yang ke 15 tahun dia sudah hafal Al-Qur'an," jelas Pak Kyia membuat Zidane langsung menatap ke arah Izzam dengan kagum. Dalam hati berharap Fazila bisa hafal Al-Qur'an juga kelak.
"Permisi!" Izzam membungkukkan badan lalu menaruh kopi dan kue kering di hadapan Zidane dan Pak Kyai.
"Silahkan diminum Om mumpung masih hangat!"
"Terima kasih Izzam. Izzam ya namamu?"
"Iya Om."
"Masyaallah, bisakah om berharap putri om bisa hafal Alquran juga sepertimu?" Zidane menepuk-nepuk pundak Izzam sambil melirik ke arah Fazila yang duduk dengan Isyana dan Laras ditemani Bu Nyai.
"Bisa Om, semua yang penting niat dan usaha, walau hasil akhirnya pun tetap Allah yang menentukan. Jadi, jangan lupa disertai doa."
"Iya Nak aku bangga padamu," ucap Zidane sambil menepuk pundak Izzam.
"Tris apa kamu bisa seperti anak ini?" Zidane beralih bertanya pada Tristan yang sedari tadi duduk di samping Zidane, tetapi malah memperhatikan Fazila yang berada jauh di hadapannya sana.
"Maaf Pa kalau soal menghafal ayat, otak Tris sudah lelet," ujar Tristan lalu menutup mulut menyadari dirinya kini berada di samping seorang Pak Kyai.
Kyia Miftah hanya tersenyum mendengar jawaban dari Tristan.
"Maaf Pak Kyai putra saya yang satu ini memang agak hank," ucap Zidane lalu terkekeh.
"Papa!" seru Tristan terbelalak membuat Fazila yang memperhatikan Abangnya tadi tertawa terpingkal-pingkal. Meskipun jarak mereka jauh, tetapi Fazila masih bisa mendengar suara Zidane.
"Chila nggak sopan ah di depan Bu Nyai!" protes Isyana yang sedari tadi fokus berbicara dengan Nyai Fatimah.
"Maaf Ma habisnya papa tuh aneh masa Bang Tris dibilang hank, maaf ya Bu Nyai," sesal Fazila.
"Tidak apa-apa," ucap Nyai Fatimah memaklumi.
Izzam yang tidak sengaja mendengar tawa Fazila akhirnya melihat ke arah gadis itu.
Fazila tersenyum manis pada Izzam.
"Masyaalah cantik banget itu anak," batin Izzam.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Ita rahmawati
hay anak sholih gk boleh ngelirik cwe ya 🤣
2024-10-30
0
Dewi Anggya
cieee izzam....🤭
2023-11-13
0
Ir Syanda
Lah bukannya itu malah bagus 😂
2023-05-09
0