Setelah menitipkan Fazila pada Bu Nyai, ustadz dan ustadzah juga teman sekamar Fazila, Zidane dan keluarga berpamitan pada Fazila.
"Papa Fazila pasti akan kangen Pa." Gadis itu merengek sambil bergelayut manja di lengan Zidane saat mengantar orang tua dan yang lainnya ke pintu pagar.
"Kamu tenang saja, sebulan sekali papa dan mama akan datang menjengukmu di sini," ucap Zidane sambil mengusap-usap punggung putrinya.
"Sebulan? Lama amat Pa." Fazila nampak cemberut.
"Sebulan Chila bukan setahun," protes Isyana.
"Iya Ma." Akhirnya Fazila diam. Dia takut mamanya akan marah.
"Ya sudah ya Chila kami semua pamit, oma khawatir dengan keadaan opa kamu sedangkan Nathan Abangmu pasti fokus pada istrinya yang keadaannya tidak begitu fit akibat kehamilannya."
"Iya Oma, hati-hati ya!"
"Iya Chila kamu juga, jangan membantah kalau dinasehati sama ustadz-ustadzah di sini juga Bu Nyai dan Pak Kyai. Semua itu mereka lakukan demi kebaikan kamu sendiri."
"Iya Oma."
"Dan jangan kabur, awas kalau sampai kabur! Kamu bisa disuruh berhenti sekolah dan menikah," tambah Tristan dan langsung terkekeh.
"Abang!" protes Fazila.
"Abang kamu benar, kalau kamu nggak sekolah dengan benar mending nggak usah sekolah langsung nikah saja," ucap Isyana membuat Fazila terbelalak.
"Iya Ma, Chila berjanji akan belajar dengan serius."
"Baiklah kalau begitu kami pamit."
Fazila pun menyalami tangan semua anggota keluarganya termasuk Bi Inah pembantunya.
"Baik-baik ya Non di sini, yakinlah bahwa dengan menaruh kamu di tempat ini mereka semua ingin Nona Chila menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya, dan meskipun di tempat ini Nona tidak bisa bebas lagi untuk berjalan-jalan yakinlah bahwa ini adalah penjara suci yang bisa mengantarkanmu ke surga kelak."
"Aamiin ya Allah, terima kasih Bik semangatnya."
"Sama-sama Non."
Semua keluarga pun masuk mobil dan ketika mobil bergerak meninggalkan area pesantren, semua keluarga yang berada di dalam mobil melambaikan tangan ke arah Fazila disambut lambaian tangan pula oleh Fazila dengan mata yang berkaca-kaca. Bahkan sampai mobil itu tak terlihat dalam pandangan mata, Fazila pun masih melambaikan tangannya. Dia merasa hampa hidup tanpa keluarga yang sedari kecil menemaninya.
"Sudah Nak Chila jangan bersedih, mari masuk ke dalam!" Suara Nyai Fatimah terdengar begitu lembut di telinga Fazila.
"Baik Nyai." Gadis itupun menurut dan melangkah di belakang Nyai Fatimah menuju kamarnya.
"Aggita! ajak dia bicara agar tidak merasa kesepian di tempat ini!" perintah Nyai Fatimah pada salah satu teman sekamar Fazila.
"Baik Nyai."
"Beritahu juga peraturan di sini agar dia mengerti."
"Samakah dengan peraturan kami Nyai?" tanya Qiana yang juga merupakan teman sekamar Fazila.
"Sama, kenapa harus berbeda?"
"Karena dia kan orang kaya," lirih Qiana.
"Sama saja di pesantren ini tidak membedakan antara santri yang merupakan anak orang kaya ataupun orang miskin, juga yang cantik dan yang tidak cantik karena di akhirat nanti Allah tidak akan menilai manusia dari kedua hal itu. Melainkan kebaikan dan ibadah masing-masing. Jadi, jadikan tempat ini sebagai ladang mencari ilmu dan pahala agar setelah kalian kembali ke masyarakat menjadi orang yang berguna."
"Baik Nyai."
"Kalau begitu saya pamit, Chila semoga betah ya. Saya yakin kamu orangnya mudah berteman jadi tidak ada alasan untuk tidak betah bukan?"
"Insyaallah Nyai."
Nyai Fatimah mengangguk dan mengucapkan salam sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sisi mereka.
"Yuk Chila kita siap-siap ibadah shalat ashar berjamaah," ucap Anggita dibalas anggukan dari Fazila.
"Ayo Andin kamu nggak ikut?" tanya Qiana yang melihat Andin hari ini banyak diam.
"Aku lagi menstruasi jadi nggak bisa shalat," jelas Andin.
"Oh sudah sampai jadwalnya ya?" tanya Qiana sambil mengambil handuk dan sebuah sarung sedangkan Fazila mengambil mantel mandinya.
Andin mengangguk.
"Yasudah kalau begitu kita tinggal ya! Jaga kamar jangan sampai ada penyusup," ucap Qiana lalu terkekeh.
"Memang di pesantren ini ada penyusup?" tanya Fazila yang terus melangkah dengan tangan yang digandeng oleh Anggita.
"Maksudnya maling," sahut Qiana.
"Maling?" tanya Fazila tidak percaya.
"Bukankah penjagaan di pesantren ini terlihat ketat. Bagaimana mungkin maling bisa masuk pesantren?" lanjut Fazila.
"Maling kecil-kecilan Chila, dari santriwati sendiri, dan yang dicuri hanyalah camilan. Nggak banget ya surga ditukar makanan!" ucap Anggita lalu tersenyum.
"Aneh di tempat seperti ini masih saja mencuri," gumam Fazila.
"Ya karena mereka mendengarkan pengajaran ustadz hanya dengan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Jadi, ya nggak ngaruh dengan pelajaran yang diberikan."
"Benar juga sih tapi kenapa nggak dilaporan sama ustadzah ataupun Bu Nyai? Mereka yang seperti itu harus dikasih pelajaran biar nggak terbiasa."
"Aku nggak pernah memergoki langsung siapa pelakunya dan teman-teman yang memergokinya malah tidak berani melapor dengan alasan tidak ada bukti sehingga bisa saja tuduhan berbalik kepada dirinya sendiri dan mereka tidak mau bercerita siapa pelakunya."
"Aneh," gumam Fazila.
"Cepat jangan sampai kita terlambat dan mendapatkan hukuman dari Nyai Fatimah!"
Mereka bertiga pun bergegas. Fazila langsung dan Qiana langsung masuk ke kamar mandi sedangkan Anggita hanya mengambil wudhu' di keran yang berada di tengah-tengah antara kamar mandi dan kamar mandi lainnya.
Selesai mereka kembali ke kamar dan berpakaian lalu mengambil mukena dan berjalan beriringan menuju masjid.
Tidak menunggu lama di masjid tersebut sudah ramai dengan para santriwati yang ingin melakukan salat ashar berjamaah. Lima menit kemudian datanglah Nyai Fatimah yang akhirnya bertindak sebagai imam shalat.
Selesai shalat Nyai Fatimah memberikan kajian tentang ilmu fikih. Beliau hari ini membahas tentang makmum yang datang terlambat. Semua santriwati mendengarkan dengan seksama termasuk Fazila yang sepertinya begitu paham dengan penjelasan Nyai Fatimah.
"Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Nyai Fatimah sebelum mengakhiri pertemuan hari ini, barangkali ada santriwati yang belum mengerti.
"Tidak ada Nyai!" seru santriwati yang hadir.
"Kalau begitu berarti kalian sudah paham. Chila sudah paham juga, kan?"
"Paham Nyai."
"Bagus kalau begitu kalian bisa kembali ke kamar masing-masing."
Semua santriwati bubar dan kembali ke tempat mereka masing-masing.
"Kangen Bang Tris," ucap Fazila sambil merebahkan tubuh di ranjang susun paling bawah. Dia pun meraih tas dan menelpon Tristan. Untuk seminggu ini Fazila di perbolehkan untuk membawa ponsel karena Nyai Fatimah takut gadis itu belum betah dan akan semakin tidak betah jika tidak diberikan kesempatan untuk menghubungi keluarganya.
Lama Chila teleponan dengan Tristan hingga gadis itu lupa waktu karena saking asiknya.
"Chila cepat mandi! Bentar lagi adzan magrib!" Anggita memperingatkan sambil memasang mukena.
"Kami tunggu di masjid ya," ucap Qiana.
"Oke." Segera Fazila memutus panggilan teleponnya lalu bergegas ke kamar mandi.
"Mandi nggak ya? Kalau mandi aku bisa telat, tapi kalau nggak mandi badan rasanya nggak enak. Ah mandi sebentar saja." Akhirnya Fazila langsung masuk ke kamar mandi dan memutus untuk mandi.
"Gawat sudah iqomat." Segera Fazila mengambil handuk dan mengambil wudhu, setelah itu melangkah dengan cepat ke arah kamar dan bergegas memakai baju.
"Cepatlah Chila kau sudah terlambat!" Andin memperingatkan.
Dengan tergesa-gesa Fazila berjalan menuju masjid dan ternyata benar dirinya terlambat. Dia pun ikut shalat berjamaah dan berharap tidak ada yang tahu bahwa dirinya terlambat.
"Nyai ada yang terlambat!" seru Heni, seorang santriwati yang ditugaskan sebagai pengurus.
"Siapa?" tanya Nyai Fatimah setelah menyelesaikan wiridan.
"Fazila Nyai," sahutnya. Sontak saja Fazila terbelalak.
"Kenapa kau menyebut namaku?" tanya Fazila sambil menatap tajam mata Heni.
"Lah kan memang kamu yang shalat yang berhenti terakhir tadi."
"Kau jangan menuduh sembarangan Hen, bisa saja kan tadi Chila shalat rawatib atau shalat sunnah ba' diyah Maghrib," bantah Qiana.
"Kau mau membodohi saya ya karena dia sekamar denganmu? Maaf aku tidak bodoh. Kau pikir aku tidak melihat tadi dia datang di rakaat terakhir kita semua shalat."
"Waw kamu shalat atau apa sih? Masa shalat bisa mengawasi orang lain," protes Fazila.
"Benar Fazila?" tanya Nyai Fatima yang berjalan mendekat ke arah Fazila.
"Benar Nyai," jawab Fazila sambil menunduk. Gadis itu tidak berani berbohong pada pengasuh pondok pesantren itu.
"Qiana dan Anggita! Apakah kalian sudah menjelaskan peraturan jika terlambat shalat berjamaah di pesantren ini?"
"Maaf Nyai kalau yang itu belum. Kami lupa," sahut Qiana dan Anggita serentak dan sama-sama dengan posisi menunduk.
"Baik karena kalian lalai maka kalian harus mendampingi Chila melaksanakan hukuman."
"Apa Nyai, saya dihukum?"
"Iya Chila saya harap kamu tidak keberatan dengan ini sebab saya tidak ingin dikatakan tidak adil hanya karena kamu anak orang kaya."
"Tapi apa gunanya pelajaran yang disampaikan Nyai tadi siang tentang Masbuk kalau saya tidak boleh terlambat shalat berjamaah? Kapan itu bisa dipraktekkan? Bukankah ini kesempatan baik Nyai untuk menilai seberapa besar pemahaman saya tentang pelajaran yang baru tadi siang Nyai sampaikan?"
Mendengar jawaban Fazila, semua santriwati menganga karena baru kali ini ada santriwati yang berani protes pada Nyai Fatimah sedangkan Nyai Fatimah hanya tampak mengangguk-angguk.
"Baik, katakan dulu apa yang menyebabkan kamu terlambat!"
"Dia terlambat karena teleponan sambil tertawa-tawa Nyai." Sebuah suara yang timbul du tengah-tengah kerumunan santriwati membuat Fazila menggeleng tak percaya.
"Sepertinya di sini banyak mata-mata," gumamnya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Dewi Anggya
hati² chila ....mereka itu ttp pny perasaan baik dn tdk Krn hakikatnya mereka manusia yg masih trus belajar
2023-11-13
1
Pink Blossom
btul skli,, d psntren gk mndng blu dn ras,, smw'y mndpt hak & prlakukn yg sm
2023-05-20
0
Pink Blossom
hooh,, knp🤔
2023-05-20
0