"Aku kangen mama, papa dan para abang," lirih Fazila. Dia langsung bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar meninggalkan ketiga temannya yang berlayar di alam mimpi.
"Mau kemana Chila?"
"Oh ya Lik, selain Heni ... pengurus siapa lagi yang pegang hape?" tanya Fazila pada salah satu teman yang kamarnya berdekatan dengan kamarnya.
"Tidak ada Chila, di pondok putri ini hanya Heni yang pegang hape. Kalau di pondok pria ada Izzam."
"Oh, Izzam?"
"Iya."
"Hmm, sayangnya aku tidak bisa keluar dari pondok putri sekarang." Fazila tampak termenung.
"Kan Izzam ada di aula? Kau bisa menemuinya sekarang."
Fazila menggeleng.
"Nggak deh, nggak enak sama dia. Dia kan lagi sibuk." Sebenarnya alasan saja, takut bertemu dokter Davin lagi.
"Kalau begitu besok di sekolah saja."
Kebetulan pondok pesantren tempat Fazila menuntut ilmu adalah pondok pesantren dengan sekolah yang bercampur antara santri pria dan wanita hanya saja tempat tinggal mereka dipisahkan antara pondok putra dan putri.
Perihal sekolah memang Nyai Fatimah dan Kyai Miftah beserta jajaran para ustadz dan ustadzah sengaja menyatukan antara santri putra dan putri dalam satu sekolah biar mereka terbiasa bersosialisasi agar saat terjun ke masyarakat nanti tidak kaku.
Tidak bisa dipungkiri suatu saat nanti mereka akan kembali ke masyarakat yang notabennya tidak hanya berisi manusia sejenis, melainkan juga lawan jenis.
Tentu saja ada aturan-aturan khusus yang diterapkan di sekolah tersebut agar para santri dan santriwati mengedepankan adab mereka. Aturan yang mencolok di sekolah tersebut adalah para santri mengisi bangku bagian depan sedangkan santriwati berada di deretan bagian belakang, walau kadang dilanggar juga oleh para siswanya.
"Kelamaan," ujar Fazila.
"Yasudah sama Heni saja, memangnya ingin menghubungi keluarga kamu?"
Fazila mengangguk.
"Aku kangen mereka," sahut Fazila.
"Yasudah sama Heni, sepertinya dia lagi santai tuh. Dari tadi hape milik pesantren digunakan sendiri. Enggak tahu tuh ngomong dengan siapa. Cengar-cengir dari tadi nggak kelar-kelar. Giliran santriwati yang lain lama dikit didesak supaya cepat-cepat diakhiri," terang Lika sambil menggelengkan kepala. Dari perkataan Lika tadi Fazila tahu bahwa gadis yang satu itu juga tidak menyukai Heni.
"Sebenarnya aku malas sih jika berurusan dengan dia, tapi ya sudahlah terpaksa. Terima kasih ya," ucap Fazila lalu melangkah pergi.
"Sama-sama, Chila."
Fazila pun menemui Heni yang sedang menelpon di kamarnya.
"Kak boleh pinjam hape sebentar, mau telepon keluarga," ucap Fazila dari arah pintu.
Sebenarnya Heni satu kelas dengan dirinya, sama-sama kelas 2 MTS. Namun, melihat semua teman-temannya memanggil Heni Kakak, Fazila ikut-ikutan saja."
"Kamu punya sopan santun nggak sih? Datang-datang nggak pakai salam langsung nerobos saja," protes Heni lalu fokus kembali dengan ponselnya. Entah dengan siapa dia bicara, tetapi sepertinya terdengar asyik sehingga dia enggan menghentikan teleponannya.
Fazila hanya menelan ludah. Sebenarnya malas sekali meladeni Heni. Namun, mau bagaimana lagi, dia lagi butuh dengan handphone yang dipegang Heni.
"Assalamualaikum warahmatullahi!" seru Fazila karena sadar tadi dirinya memang salah tidak mengucapkan salam terlebih dahulu.
"Salam," jawab Heni lalu cuek kembali. Alih-alih memberikan ponsel, lagi-lagi gadis itu fokus bicara dengan orang yang ada di dalam telepon.
Fazila terbelalak mendengar jawaban Heni.
"Nih anak aneh banget sih! Giliran aku nggak ngucapin salam diprotes. Giliran ngucapin jawabannya 'salam' doang. Harusnya tuh kata pak Kyai jawabannya lebih panjang dari si pemberi salam. Kalau aku ngucapin assalamualaikum paling tidak harus menjawab Wa'alaikum salam warahmatullahi. Nah tadi, aku mengucapkan Assalamualaikum warahmatullahi seharusnya jawabannya wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Fazila menggerutu seorang diri.
"Bisa nggak sih nggak berisik? Suaramu menggangguku tahu!" geram Heni.
"Bisa nggak sih berhenti sebentar dan berikan hape itu padaku?" balas Fazila.
"Di sini ada yang namanya budaya antri, ngerti nggak sih kamu?" Heni menatap tajam Fazila.
"Baiklah aku tunggu," ujar Fazila mengalah siapa tahu dengan begitu Heni bisa baik padanya dan segera memberikan hape yang dipegang.
Fazila duduk di luar pintu sambil bersandar pada dinding kamar. Matanya terbelalak saat menyadari Heni berbicara dengan pria yang Fazila tengarai adalah kekasih Heni sebab gadis itu memanggil sayang-sayang.
"Alamak bakal lama nih," batin Fazila saat mendengar suara Heni dan kekasihnya bicara hal romantis.
"Sial!" umpat Fazila sebab Heni seperti ingin pamer dengan memperbesar volume suaranya.
"Kapan giliranku, Kak? Tubuhku sampai lumutan menunggu ini?" Fazila sudah tidak tahan.
"Lima menit lagi," ujar Heni.
"Hah, baiklah!" Fazila mendesah kasar. Kalau bukan karena rindu pada keluarganya dia sudah balik kamar dari tadi.
"Sudah Kak?" tanyanya lagi setelah beberapa menit berlalu. Rasanya sekarang Fazila menjadi anak termiskin seantero jagat sebab mau menelpon saja harus seperti pengemis.
"Lima menit lagi," ujar Heni sambil menunjukkan kelima jarinya.
Fazila menggeleng, sepertinya jawaban lima menit itu sudah lebih dari tiga kali ia dengar.
"Chila ingin menelpon juga?" sapa seorang santriwati lalu duduk di samping Fazila.
"Iya nih, tapi sayangnya si pemegang hape tidak mau berhenti juga menelpon padahal sudah lebih setengah jam aku duduk di sini."
"Desak aja Chila, kalau dibiarkan dia akan terus seenaknya aja."
"Kamu deh yang ngomong, aku malas sudah."
"Kak gantian dong!" seru Yuli sambil kepalanya melongo ke dalam kamar.
"Ini juga nih anak nggak pakai salam langsung menganggu kegiatan orang," keluh Heni.
Mendengar perkataan Heni, Fazila langsung bergegas ke arah dapur.
"Cari apa lagi Chila?" tanya Mak Pur.
"Punya daun salam nggak Mak?"
"Buat apa?"
"Ada perlunya aja."
"Oh itu cari di wadah rempah-rempah!"
"Baik Mak," ucap Fazila sambil mencari di tempat yang ditunjukkan oleh Mak Pur.
"Ini kan, Mak?" Fazila menunjukkan satu lembar daun pada Mak Pur.
Mak Pur mengernyitkan dahi. Dalam hati berkata bagaimana mungkin Fazila mencari daun salam sedangkan dianya sendiri tidak tahu seperti apa daun salam itu.
"Iya."
"Kalau begitu saya minta satu ya Mak?"
"Boleh, ambil saja!"
"Terima kasih." Fazila melangkah pergi diikuti dengan gelengan kepala dari Mak Pur.
"Mau dibuat apa tuh anak daun salam," gumam Mak Pur.
"Belum selesai juga dia menelpon?" tanya Fazila pada Yuli. Di samping gadis itu juga sudah ada satu santri lagi yang mengantri.
"Kak ayo dong!" Yuli dan santri yang baru sampai itu mendesak Heni.
"Kamu juga, sudah mengucapkan salam belum?"
Mendengar perkataan Heni, Fazila langsung menerobos masuk ke dalam kamar Heni.
"Saya sudah mengucapkan kalimat salam dan sekarang membawakan daun salam juga. Kamu ingin ini, kan?"
Heni terbelalak mendengar perkataan Fazila.
"Siapa yang ingin daun salam?"
"Saat aku tadi mengucapkan assalamualaikum kamu malah meminta daun salam. Jadi, sekarang aku sudah penuhi permintaan kamu dan hape ini untukku!" Fazila melempar daun salam ke pangkuan Heni dan merampas ponsel yang dipegang Heni.
"Kau–" Heni terlihat geram.
"Halo Hen!" Terdengar suara pria yang kebingungan di dalam telepon.
"Halo Mas Bro! Kalau ingin pacaran, lebih baik saya sarankan anda modalin kekasih Anda. Belikan dia hape agar tidak menggunakan HP milik pesantren. Dasar nggak mau modal!" ketus Fazila lalu memutuskan sambungan telepon.
Heni terbelalak mendengar perkataan Fazila, tetapi Fazila sama sekali tidak peduli, dia langsung membawa HP itu keluar dari kamar Heni dan menelpon mamanya.
"Halo, Ma!"
Heni ingin merampas ponsel yang dipegang oleh Fazila karena kesal.
"Ini sudah terhubung dengan mama, kalau kau rampas HP di tanganku bisa kau lihat sendiri apa yang terjadi denganmu nanti di tempat ini!" ancam Fazila membuat nyali Heni menciut seketika. Dia tidak mau keluarga Fazila melaporkan tindakannya kepada pihak pesantren.
"Baiklah pakai saja, lagian aku sudah puas menelpon," ucap Heni lalu meninggalkan Fazila pergi.
Yuli dan satu santriwati yang duduk itu tersenyum senang.
"Kau hebat Chila. Dia bisa takut juga dengan kata-katamu, padahal selama ini Heni tidak takut dengan apapun karena dia adalah keponakan dari kyai Miftah."
"Oh itu toh yang membuat dia sok berkuasa di tempat ini," ujar Fazila dan keduanya menjawab dengan anggukan.
"Iya, tapi keponakan jauh sih."
"Aku nggak takut sih meskipun dia adalah keponakan Kyai Miftah. Putranya saja akan saya lawan kalau saya berada diposisi yang benar."
"Masyaallah, keren Chila," ucap Yuli.
"Sebentar ya, ini sudah tersambung dengan mama!"
"Oke," jawab keduanya lalu diam.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Dewi Anggya
swiiiiip chila👌👌
2023-11-13
0
Manami Slyterin🌹Nami Chan🔱🎻
chila
2023-09-10
0