Mila yang melihat rajuk menggemaskan dari Aziel akhirnya memilih untik bangkit.
"Aziel marah?" Membelai rambut Aziel yang memasang wajah manyun.
Anak laki-laki itu hanya diam tertunduk tidak mau mengangkat kepala melihat Mila.
"Jika baju ini Mama ganti, untuk jadi yang terakhir kali ya?" pinta Mila kembali.
Aziel mengangkat kepalanya dan mengangguk. Wajahnya kembali sumringah menyandarkan tubuhnya dengan manja dalam pelukan Mila.
"Kalau begitu, Mama ganti baju dulu."
Aziel melepaskan diri membiarkan orang yang dipanggilnya dengan Mama itu masuk ke kamar dan kembali mengganti pakaian. Setelah berganti, pakaian kali ini membuat dirinya menjadi lebih leluasa bergerak dibanding yang tadi. Kali ini ia memakai dress selutut, terlihat sangat manis pada tubuh mungilnya.
Setelah itu, Mila memungut pakaian-pakaian yang berserakan di dalam kamar yang sangat luas itu. Ia merapikan dan melipatnya dengan baik, lalu dimasukkan kembali ke dalam lemari.
Mila keluar dari kamar tersebut. Arsen baru saja pulang dari pekerjaan, terpana seakan melihat seseorang yang meninggalkannya lima tahun yang lalu. Kini tampak berlalu lalang keluar masuk di kamarnya, menggunakan baju istrinya. Arsen menggelengkan kepala dengan cepat.
"Apa yang kau lakukan?" hardiknya.
Mila terperenjat mendengar teriakan pria itu. Ia menundukkan kepala merasa takut karena jelas teringat olehnya, Arsen memberi peringatan untuk tidak boleh keluar masuk di kamarnya.
Arsen berjalan dengan hentakan kaki berat. Ia berdiri tepat di hadapan wanita yang sengaja diberi nama Mila ini, agar dia tidak bingung bila memanggilnya nanti.
"Apa kau tidak mendengarkan peringatanku? Jangan masuk ke kamarku lagi! Ini bukan kamar umum!"
"Ma-maafkan aku, Tuan. A-aku tadi—"
Tiba-tiba, bocah lelaki yang memiliki bermata coklat, mirip istrinya Jovita, berdiri merentangkan tangan tepat di hadapan Mila.
"Papa nggak boleh marahin Mama!" Kali ini bocah lima tahun itu yang berteriak dengan sangat lantang di hadapan Arsen.
"Apa yang kalian lakukan pada pakaian mendiang istriku? Bukankah sudah jelas larangan yang aku beri? Jangan sentuh pakaian itu!" Suaranya menggelegar, membuat semua yang mendengar merasakan sakit, apalagi di telinga.
"Aziel yang minta Mama untuk memakai baju ini! Jangan marahin Mama, Pa." Aziel mulai terisak karena ia pun mulai takut pada sang ayah.
Mia berjongkok dan memeluk Aziel. "Sudah, jangan menangis. Mama tidak apa kok—"
"Jangan sebut dirimu mamanya! Kau bukan siapa-siapa! Kau tak akan pernah sebanding dengan istriku, Jovita!" Arsen berjalan masuk ke dalam kamarnya. Pintu tersebut dihempaskan hingga membuat Mila dan Aziel terkejut.
"Mama jangan takut, ya? Ada Aziel yang akan jagain Mama dari Papa." Aziel merangkul Mila dengan tangan kecilnya.
Mila menganggukkan kepala dan bangkit. Ia melihat pakaian yang entah sudah keberapa kali diganti atas permintaan Aziel. Ia tidak memiliki pakaian, selain piyama rumah sakit yang ia kenakan kemarin.
Saat berjalan menuju ke bagian luar, ternyata, banyak sekali bungkusan besar di atas meja di ruang tamu. Mata Aziel membulat dan menarik Mila untuk mendekati benda itu.
"Ini pasti dibawakan Papa." Tanpa permisi bocah itu mengeluarkan isi dari bungkusan butik tersebut.
Aziel membuka bibirnya dengan bentuk bulat. "Ini kayaknya baju buat Mama." Aziel menyerahkan semua kepada Mila.
"Ah, tidak mungkin. Ini mungkin buat yang lain," ucap Mila memasukkannya kembali ke dalam kantong. Banyak sekali pakaian perempuan yang dibeli oleh Arsen lengkap beserta dengan onderdilnya. Akan tetapi, mereka tidak tahu pakaian itu untuk siapa.
Saat makan malam, Mila telah memakai piyama rumah sakit yang sudah dicucikan oleh asisten rumah ini. Arsen mengerutkan keningnya.
"Kenapa kamu pakai baju itu?"
Mila menunduk dengan wajah takut. "A-aku cuma punya ini."
"Bukan kah aku sudah membelikan pakaian buatmu? Semuanya buat kamu! Jangan pakai baju istriku lagi!"
Mila masih menunduk, dia tidak tahu harus berkata apa.
"Malam ini kamu tidur di kamar tamu! Setelah itu kamu boleh pergi sebelum aku berubah pikiran." Lalu Arsen melihat ke arah Aziel yang diam dengan wajah murungnya.
"Aziel, kamu harus tahu bahwa Papa tidak mau, jika kamu menyerahkan benda peninggalan mamamu kepada orang lain. Apalagi dia itu hanya lah orang asing!"
"Mama Mila itu mamanya Aziel, Pa," rajuk bocah itu.
"Dia bukan mamamu! Dia itu hanya orang asing! Mamamu itu namanya Jovita! Bukan Mila, atau siapa pun!"
Aziel menunduk dan turun dari kursi. Ia belum memakan satu apa pun, berjalan menuju kamarnya. Mila mengejar Aziel dan ikut masuk ke dalam kamar anak itu.
"Papamu benar Aziel, Mama ini bukan mamamu. Kamu harus tahu, agar kamu tidak salah sampai kamu dewasa nanti."
Aziel sesegukan memeluk Mila. "Mama jangan pergi. Kalau Mama pergi, Aziel juga mau ikut."
Mila memeluk Aziel dalam diam seribu bahasa. Ia sendiri bingung harus pergi ke mana.
"Mama, jangan pergi ya? Pliiiss, Mama jangan dengerin Papa. Papa itu jahat," rengek bocah 5 tahun itu.
"Iya, Sayang. Kita lihat nanti saja ya? Mama juga tidak tahu harus pergi ke mana. Bahkan, Mama tidak tahu harus mencari siapa," terang Mila.
Tanpa mereka ketahui, di luar kamar Aziel, Arsen mendengar obrolan dua orang tersebut. Hati Arsen luluh dengan tangisan Aziel yang takut kehilangan Mila.
Arsen menarik gagang pintu, dan mengintip tanpa melihat ke arah mereka. "Mila, kau boleh tinggal di sini, tapi sebagai pengasuh anakku." Lalu ia menutup kembali pintu tanpa menunggu jawaban.
"Horeeee! Mama tinggal di sini saja ya?" pinta Aziel kembali.
Arsen memasang wajah datar, meski mendengar sorak gembirang anaknya. Rautnya yang cukup kaku, perlahan mengendor, ia menghela napas menggeleng beberapa kali. Mulai hari ini, Mila resmi menjadi pengasuh yang dipanggil Mama, untuk Aziel.
*
*
*
Tiga bulan kemudian, Axel terbangun dari tidurnya. Ia segera menuju kamar mandi.
"Huweeek, huwweeekk, huuweeeek."
Ia memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Hal ini telah terjadi semenjak beberapa hari belakangan. Setelah menyudahi hajatnya itu, sang ibu telah berada di belakangnya.
"Kamu kenapa? Kenapa seperti wanita hamil, mual setiap pagi?"
Axel hanya diam, tak menganggap sang ibu ada. Seluruh tenaganya terkuras setiap usai muntah.
"Sampai kapan kamu begini sama Mama? Sudah tiga bulan kamu mendiamkan Mama," ucap sang ibu keluar dari kamarnya.
Ia kembali teringat pada istrinya yang telah masuk daftar korban kecelakaan pesawat tiga bulan lalu. Dengan perasaan bimbang, antara percaya dan tidak, ia masih mengharapkan istrinya itu masih hidup dan kembali berjumpa dengannya.
"Sayang, jika kamu di sini bersamaku, mungkin saat ini kita sedang menikmati indahnya berita berita tentang kehamilanmu. Kamu di mana? Berikan aku petunjuk."
Saat sore hari, setelah pulang dari kantor, Axel singgah pada sebuah super market. Ia ingin membeli sesuatu yang ia butuhkan.
"Mama, Mama, ini Ma ... Aziel mau ini."
Mata Axel refleks menatap anak kecil yang terlihat ceria menarik benda yang diinginkannya di hadapan seorang wanita.
Namun, alangkah terkejutnya ia melihat siapa wanita yang dipanggil Mama oleh anak kecil itu.
"Sayang?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
FieAme
3 bln kmudian?
2023-04-11
0