Pada sebuah pulau kecil yang berpasir putih dengan pantai biru kehijauan, sebuah kapal pesiar menepi pada sebuah dermaga. Di dalam kapal itu, banyak terlihat pria berwajah menyeramkan, dengan tato-tato yang mencuat di antara pakaian yang menutupi tubuh.
Namun, tampak sosok anak kecil bermata coklat yang sangat tampan tak sabar ingin melompat keluar dari kapal pesiar pribadi ini. Para pria itu tampak khawatir melihat sang Tuan Muda terlalu lincah menuruni kapal tersebut.
Seorang pria yang paling bebas dari tato, mengikuti anak tersebut dalam wajah dinginnya. Sang pangeran cilik itu tampak berlarian menyisir pantai pada pulau pribadi milik seorang mafia yang merupakan ayahnya.
Para mafia ini, sedang berlibur melepaskan penat dari aktivitas hitam yang mereka geluti semenjak beberapa tahun ini.
Pria yang mengikuti bocah tampan itu, tak lain adalah ayahnya. Ia sengaja mengajak putra semata wayangnya ke pulau ini, karena hari ini adalah hari kelahiran sang putra, yang tepat berusia lima tahun, dan hari kem4tian istrinya kala melahirkan sang buah hati.
Arsen, nama pria itu, menatap jauh ke tengah laut. Ia begitu ingat bahwa istrinya sangat menyukai tempat ini. Namun, kala itu ia belum memiliki uang untuk membeli pulau ini. Berbeda dengan sekarang, pulau ini adalah miliknya, setelah menjadi mafia organ, di balik jas putih yang ia kenakan.
"Papaaaa, Papaaaa!" Anaknya baru saja melihat sesuatu berteriak dengan keras berlari ke arahnya.
Arsen, menatap bocah itu dengan wajah datar. "Kau kenapa?"
Anak kecil berusia lima tahun itu manarik Arsen menunjuk sesuatu yang sangat mirip dengan orang yang tidur. Pria itu mengikuti langkah sang putra.
"Apa itu?" gumamnya.
"Hah?" Ia cukup tersentak melihat wajah seorang wanita di antara deburan ombak. Tanpa berpikir panjang ia mengecek denyut nadi dan menempelkan telinganya di dada wanita tersebut.
"Masih hidup."
Lalu ia melakukan pertolongan pertama pada korban tenggelam, hingga membuat wanita itu tersedak mengeluarkan air asin yang sempat tertelan masuk ke dalam paru-paru.
Anak kecil yang ada di dekatnya duduk berjongkok memperhatikan apa yang dilakukan ayahnya ini. Ia melihat kepala wanita itu tampak memar biru sedikit menghitam, seperti mendapat benturan yang cukup keras.
Arsen memperhatikan tubuh wanita itu. Pada tubuhnya terpasang pelampung yang telah mengempes. Dengan senyum dingin, ia mengangkat tubuh wanita itu dengan otot kekarnya menuju kapal pesiar yang ia naiki bersama putra kecilnya tadi.
*
*
*
Di tempat lain, tepatnya di bandara tampak banyak orang yang sedang menunggu informasi hilang kontak pesawat yang membawa penumpang menuju negara Taiwan. Salah satunya, tampak Axel yang memburu informasi pada pihak bandara.
Wajah pria tampan itu terlihat risau. Istri yang baru saja bersatu dengannya selama dua minggu, kini pergi lagi. Namun, kini statusnya hilang tak tau ke mana.
"Sayang, kenapa? Kenapa kamu pergi tanpa mengatakan apa-apa kepadaku?" Axel mengacak rambutnya bagai orang frustrasi.
Axek mulai bangkit mencari informasi kecelakaan pesawat itu bagai orang kesurupan. Perasaannya kacau, bercampur aduk, dan kini benar-benar tidak menentu.
"Sayang, kamu di mana? Aku harap semua baik-baik saja."
Di tempat lain, sebuah kendaraan mewah beriringan dengan kendaraan hitam lainnya, memasuki area sebuah rumah sakit swasta. Beberapa perawat telah siap dengan brangkar menyambut wanita yang tadi ditemukan oleh Arsen. Sementara itu, anggota lainnya menuju area belakang yang memang khusus dibuat untuk mereka.
Rumah sakit ini adalah miliknya. Saat memasuki koridor, seorang perawat telah menyiapkan jas berwarna putih mengikuti brangkar yang yang berisi wanita yang ia temukan bersama putranya.
Sementara itu, putranya bernama Aziel, langsung disambut oleh perawat yang biasa mengasuh anaknya di rumah sakit ini. Aziel belum bersekolah, Arsen sengaja tidak menyekolahkan putranya terlalu cepat karena sudah menjadi amanat mendiang istrinya, Jovita.
"Dok, kami telah menyiapkan ruangan pemeriksaan seperti yang Anda pinta."
Arsen menganggukkan kepala dan menarik stetoskop yang telah disiapkan. Tidak hanya itu, ia juga memeriksa tekanan darah dan hal lain yang dirasa perlu.
Setelah semua usai, Arsenio Wijaya keluar ruangan. "Jangan lupa ganti pakaiannya dan bersihkan tubuhnya dari sisa pasir yang melekat."
"Dia kenapa, Dok?"
Arsen masih memasang muka datarnya. "Apa kalian tidak bisa bekerja tanpa banyak bertanya?"
Dari kerumunan karyawan berpakaian serba putih, muncul kaki tangan kepercayaannya. Arsen melihat sosok tersebut menggelengkan kepala menatap dengan tajam. Pria itu menganggukkan kepala dan pergi menjauh. Para perawat yang mengetahui siapa pria itu, seolah tak terganggu dan berlaku biasa.
Arsen adalah pimpinan rumah sakit ini. Namun, ada beberapa usaha hitam yang ia lakukan di rumah sakit ini.
Setelah membalut luka wanita tersebut, Arsen memandangi wajah wanita yang ia temukan ini. Ia tidak mengenal siapa wanita ini. Namun, ia tidak mau berurusan dengan pihak kepolisian.
Aku tidak mau mengambil risiko jika mengabarkan bahwa menemukan satu wanita hanyut entah kenapa. Mungkin ada kapal karam, atau kemungkinan lain yang tidak ia ketahui.
Setidaknya, aku sudah berbesar hati menyelamatkan nyawanya. Jika tidak, mungkin dia akan mati membusuk di pulau tak berpenghuni itu.
Setelah merasa semua urusannya beres, Arsen keluar dari ruangan tersebut dan membiarkan perawat yang mengurus wanita yang ia temukan. Ia menuju pria yang tadi ingin menemuinya.
Arsen sudah tahu di mana pria itu menunggu, yakni di ruang direktur utama miliknya. Arsen langsung menuju ke ruang kerja dan mencari keberadaan pria tadi.
Saat ia membuka pintu, pria tersebut telah melepas jas yang tadi terpasang di tubuhnya. Ia menyabut Arsen berdiri dan menundukkan kepala.
"Bagaimana? Apa kau berhasil mendapatkan mangsa yang baru?" tanya Arsen dengan wajah dinginnya.
"Belum, Boss. Padahal sudah banyak yang meminta kita untuk menyiapkan jantung, hati, mata, ginjal, dan sebagainya. Akan tetapi, kita belum menemukan gembel yang bisa kita hilangkan saat ini."
Arsen melipat kedua tangannya memandang ke arah luar jendela. "Malam ini harus dapat! Jika tidak, tubuh kau yang akan aku cincang!"
Pria yang berpakaian hitam itu tersentak dan menunduk. "Ba-baik, Boss." Ia segera menarik jas hitam yang tergeletak lemas di atas sofa. Sementara itu, Arsen sama sekali tidak menatap kepergian kaki tangannya itu.
*
*
*
Saat ini Axel telah berada di sebuah dermaga. Ia memandangi riak ombak yang menepi menghempaskan diri pada beton yang menyangga dermaga.
"Sayang, kenapa harus begini?" tertegun menatapi ombak yang terus berlari seolah mengejar dirinya.
Axel kembali merenung, dalam kepalanya terlintas masa sesaat bersama. Ia mengusap wajahnya kasar dan akhirnya ia bangkit.
"Yuviii ... Kamu harus selamat! Aku mencintaimu!"
*
*
*
Jemari wanita yang ditemukan Arsen terlihat bergerak. Matanya perlahan terbuka sedikit demi sedikit. Beberapa waktu kemudian, ia menatap langit-langit ruangan tempat ia dirawat.
Matanya mulai liar menatap kiri kanan atas bawah. Ia bangkit dan duduk. Namun, tangannya terasa sakit, dan ia melihat penyebab rasa sakit itu. Sebuah selang kecil tampak terikat di tangannya.
Tanpa pikir panjang, ia melepaskan benda yang mengganggu keleluasaannya itu. Namun, d4rah segar mengalir dengan sangat deras. Melihat pekatnya cairan itu keluar dari tangannya, dengan seketika wajahnya berubah menjadi pucat.
"Aaaaaahhh!"
"Aaaaahhhh!"
"Aaaaahhhh!"
Ia tidak tahu harus bagaimana, ia hanya bisa berteriak tak karuan. Cairan meraha anyir itu terus mengalir tanpa henti. Dari arah luar tampak beberapa orang tergopoh membuka pintu tempat ia dirawat karena terkejut mendengar suara teriakan tersebut.
"Ada apa, Mba?"
Salah satu perawat melihat tangan wanita muda itu mengucurkan cairan merah kental dan pekat. Jarum infus yang tadinya terpasang saat kini menggantung pada selang yang terhubung dengan tabung cairan bewarna putih bening.
"Aaagghhh!" Wanita itu terlihat frustrasi dengan tangannya yang terus mengalirkan d4rah.
"Kami akan membantu untuk membersihkannya ya, Mbak?"
Perawat pun segera menutup luka yang terus mengalirkan cairan merah kental itu. Wanita yang tidak diketahui namanya ini, terus meringis ketakutan.
"Nah, udah beres, Mbak. Kenapa infusnya dicabut?" tanya sang perawat.
Wanita itu melihat tangannya tidak lagi mengeluarkan darah. Perlahan ia mulai terlihat tenang.
"Mbak? Apa kami boleh tau nama kamu?"
Wanita itu terlihat kebingungan, ia menggelengkan kepala.
"Kenapa menggeleng, Mbak? Siapa namanya ya? Apa kamu memiliki kontak keluarga yang bisa kami hubungi? Kami akan memberitahukan keluargamu."
"Na-nama?" Wanita itu mengernyitkan dahi, ia tampak cukup kesakitan.
"Iya, namamu siapa? Kami akan membantumu untuk menghubungi keluargamu."
Wanita itu mengernyitkan mata, keningnya berkerut, dan kedua tangannya memijit-mijit pelipis dan mengacak rambutnya. "A-aku ... aku ... namaku ...."
Ia terus meracau dan terlihat sangat kesakitan. Pintu ruangan tersebut terlihat dibuka dari arah luar. Seorang pria yang memakai jas berwarna putih masuk memasang wajah heran.
"Ada apa ini?"
Para perawat yang berada di dalam ruangan tersebut serempak menoleh kepada pimpinan rumah sakit ini.
"Dok, sepertinya terjadi sesuatu dengannya," ucap salah satu perawat.
"Maksudnya?" tanya Arsen kembali melirik wanita yang ia temukan.
"Sepertinya, dia kehilangan ingatan, Dok."
"Benarkah?" Ia menatap wanita yang tampak kesakitan itu.
Jika demikian, keluarganya akan menganggap dia telah m4ti.
Ini adalah kesempatan untukku. Jantungnya, hatinya, matanya, dan seluruh organnya akan aku jual, dan tidak akan ada yang mengetahuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Itarohmawati Rohmawati
alah ...paling juga gak tega
2023-04-02
0
FieAme
waaahh, ini kisah arsen yang sebenarnya yaaa
2023-04-02
0