Perawat yang tadi mengurus wanita muda itu disuruh keluar oleh Arsen. Dia terus mengamati polah wanita yang ada di atas brangkar ini. Dalam bibirnya telah tersurai seringai bayangan akan mendapat hasil yang banyak oleh satu orang yang tidak dikenal ini.
Arsen menyeringai melihat wanita yang tak dikenal itu masih terlihat dalam wajah kebingungan. Tiba-tiba, dari arah luar terdengar suara gagang pintu ditarik. Pintu itu pun terbuka membuat Arsen mengerutkan kening melihat sosok yang hadir dalam ruangan tersebut.
"Papa, Aziel nyari Papa semenjak tadi," rengeknya langsung memeluk kaki Arsen.
Dari arah luar, muncul perawat yang bertugas untuk menjaga Aziel. "Maaf, Dok. Tiba-tiba dia ingin ketemu papanya, dan berlari begitu saja memasuki ruangan ini."
Arsen mengangguk tipis dan memberi kode agar perawat itu pergi menjauh. Aziel melirik sosok yang ada di atas brangkar. Matanya terbuka dengan sangat lebar. Aziel menarik ujung jas berwarna putih sang ayah beberapa kali.
"Papa? Bukan kah itu Mama?" Aziel menunjuk wanita yang terus tampak bingung melirik ke kiri dan kanan.
Arsen melirik orang yang dimaksud oleh putra semata wayangnya ini. Ia mengerutkan kening dan mengusap kepala Aziel beberapa kali.
"Bukan! Dia bukan mamamu!" ucapnya dengan sangat tegas.
Mata Aziel langsung berkaca-kaca lepas dari Arsen. Dengan bibir membulat, ia berjalan menarik sebuah kursi mendekati brangkar wanita yang tidak dikenalnya itu. Setelahnya Aziel memanjat dan langsung membelai pipi wanita itu.
"Mama ... akhirnya Mama pulang ... Aziel pengen sekali ketemu sama Mama."
Wanita tersebut menatap Aziel dengan dalam. "Mama?" tanyanya kebingungan.
Aziel beringsut naik ke atas brangkar, ia langsung memeluk tubuh wanita yang ia panggil dengan Mama.
Arsen mengerutkan wajah, amarah, bergerak menarik tubuh Aziel menjauh dari wanita yang tak dikenal ini. Ia tidak ingin Aziel menjadi lebih dekat lagi dengannya. Karena, baginya, wanita ini hanyalah mangsa untuk menutupi permintaan orang-orang yang membutuhkan organ-organ segar.
Aziel memberontak melepaskan diri dari genggaman sang ayah. Satu tangannya mencoba menggapai tangan wanita tersebut. "Maamaaa, tolong Aziel! Papa jahat sama Aziel. Mamaaaa ..." pekiknya berurai air mata.
Tanpa mereka sadari, wanita yang tadinya diam dalam kebingungan turun dari brangkar memukul-mukul Arsen. "Lepaskan diaa! Kamu jangan jahat sama dia!"
Arsen mengerutkan keningnya. Dia melepaskan Aziel dan wanita yang akan menjadi mangsanya itu memeluk Aziel, anaknya. Wanita itu menenangkan Aziel dan menaikkannya ke atas brangkar.
"Mama ... Papa jahaaat ...." Aziel kembali memeluk wanita itu.
Arsen hendak menarik kembali Aziel, tetapi wanita yang hilang ingatan itu menggigit tangan Arsen. "Kamu jangan jahat!"
Wanita itu merangkul Aziel dalam pelukannya. Arsen memasang wajah dingin melipat kedua tangan di dadanya.
"Dia ini anakku, kenapa kamu yang membela dia?"
"Diam kau! Pergi kau orang jahat!"
Arsen tersentak karena diusir seperti itu. "Harusnya kau yang pergi! Ini rumah sakitku! Kau hanya ... kau hanya ... kau ...." Arsen mulai ragu mengatakan apa yang ada di dalam benaknya.
Karena, tak mungkin ia mengatakan bahwa wanita tak dikenalnya itu adalah calon mangsa empuk tanpa jejak yang akan menambah biaya pembangunan rumah sakit dan biaya gaji para anak buahnya yang sangat banyak.
"Aziel, ayo keluar! Papa mau bicara denganmu."
"Tidak mau! Aziel mau peluk Mama. Mama orangnya baik, nggak kayak Papa, jahat," rajuknya menyembunyikan wajah pada dada wanita yang tidak dikenal ini.
Wanita itu membelai rambut Aziel dengan lembut. "Kamu tenang ya, ada aku di sini. Apa benar dia papamu?"
Aziel menggelengkan kepalanya. "Aziel nggak mau punya papa jahat. Aziel mau ikut Mama aja ya?"
Aziel melepaskan pelukannya, beringsut turun dari brangkar, menarik tangan wanita yang dipanggilnya dengan mama. "Ayo, Ma. Kita tinggalkan papa."
Wanita itu turun mengikuti langkah Aziel yang mengajaknya keluar. Arsen terperangah memutar mata melihat kelakuan anaknya. "Bocah itu?? Hmmm," geramnya menggelengkan kepala.
Aziel menyadari kaki wanita yang dipanggil dengan mama itu, sedang tidak teralas. Dengan cepat ia berpikir dan mengajaknya menuju Nursing Center.
"Tante, punya sendal yang tidak dipakai?" tanyanya mengintip lewat pintu.
Seorang perawat yang biasa mengurusinya menundukkan badan tepat di hadapan Aziel. "Buat apa?"
Aziel menunjuk seseorang yang ada di sampingnya. "Mama Aziel gak punya sendal."
"Mama?" Semua perawat yang ada di ruangan tersebut saling bertanya dan saling tatap.
"Itu bukan mamamu, Aziel," ucap perawat tersebut.
"Pokoknya, mulai hari ini dia menjadi mama Aziel," ucapnya dengan cukup lantang.
Perawat tersebut yang mengenal karakter Aziel akhirnya memilih mengalah. "Baik lah, dia mama Aziel." Ia mencari sesuatu di dalam loker di ruangan tersebut.
"Nah, ini buat Mama Aziel."
Ia menyerahkan sendal tersebut kepada wanita yang menggenggam tangan Aziel. Namun ia diam bingung harus bagaimana dengan benda itu.
Aziel membesarkan mata dan membuka mulutnya. "Mama pasti lupa ya cara memakainya?"
Wanita itu mengangguk tersenyum kikuk. Bocah laki-laki lima tahun itu membuka sepatu. Lalu mulai memperagakan caranya.
"Yang ini, untuk kaki kanan ya, Ma. Semua yang kanan ada di sebelah sini. Jadi, ini tangan kanan, dan ini kaki kanan." Aziel menunjukkan bagian-bagian tubuh pada wanita itu.
"Nah, cara memakainya kayak gini, Ma." Sebelah kaki mungil bocah itu masuk ke dalam sendal yang besar. Setelah itu kaki yang sebelah lagi.
"Jadi, yang tengah ini dijepit sama jempol ya, Ma?"
Wanita itu mengangguk dan memasang kakinya. Aziel meberikan tepuk tangannya dan bersorak.
"Hore, Mama hebat." Ia segera memasang sepatunya kembali.
Tanpa mereka ketahui, ada sosok yang terus memperhatikan tingkah mereka dari jauh. Arsen menahan senyumnya melihat polah sang putra bagai seorang kakak mengajari adik.
"Sayang, lihat anakmu. Tanpa aku sadari ternyata dia sudah sebesar ini."
"Tante, Aziel mau bawa Mama pulang dulu ya? Jangan bilang sama Papa kalau kami akan pergi."
Perawat itu telah menyadari kebeadaan sang atasan sedari tadi. Namun Arsen memberi kode telunjuk di bibir. Perawat mengangguk patuh dan kembali membelai kepala Aziel.
"Emang Aziel mau bawa Mama ke mana?"
"Aziel mau mengajak Mama kembali ke rumah. Nanti mau kunci pintu, Papa gak boleh masuk. Sekarang Aziel udah punya Mama. Aziel udah nggak mau sama Papa. Papa orangnya jahat."
Perawat itu tersentak, dan tubuhnya bergetar menahan tawa. Akan tetapi, ia melirik orang yang dibicarakan oleh Aziel telah meletakkan kedua tangannya pada pinggang. Ia berusaha mengubah suasana hati menjadi senetral mungkin.
"Aziel tidak boleh bilang begitu. Masa Papa ditinggal begitu saja setelah ketemu sama Mama?"
Aziel menggelengkan kepala membulatkan bibirnya. Ia menarik kembali wanita yang masih mengenakan seragam pasien di rumah sakit ini. "Pokoknya Tante nggak boleh bilang ya? Aziel mau tinggal di rumah saja sama Mama." Ia berjalan mengajak sang mama baru mengikuti langkah menuju parkiran. Ia sangat hafal posisi supir pribadinya itu.
Perawat tadi menoleh tingkah atasan yang sudah tidak bisa berkata-kata karena polah sang anak. Arsen mengikuti kedua orang itu hingga memastikannya menaiki kendaraan yang tepat.
Arsen mengeluarkan ponsel menelepon sang supir pribadi tersebut. "Kamu bawa Aziel, dia bersama pasien rumah sakit ini. Tapi biarkan dia ikut bersama anakku."
"Baik, Tuan."
Sang supir telah melihat orang yang dimaksud. Dengan segera ia keluar dan membukakan pintu kendaraan untuk tuan mudanya bersama wanita asing tersebut. Tanpa pikit panjang, ia membawa keduanya menuju tempat tinggal orang yang mempekerjakannya ini.
Arsen mengusap dagu dengan kasar. 'Dia tidak boleh menjadi lebih dekat lagi dengan anakku. Kali ini, aku akan melepaskannya, tapi nanti malam ... kita lihat saja! Aku pastikan esok pagi dia sudah masuk ke dalam liang lahat.'
Arsen tersenyum tipis, balik kanan dan melanjutkan pekerjaannya.
*
*
*
"Bagaimana, Pak? Apa sudah ada informasi tentang hilangnya pesawat itu?" Axel kembali bertanya dengan harapan tinggi bahwa istrinya ditemukan dalam keadaan masih hidup.
"Kami baru menemukan puing-puing pecahan pesawat terbang itu. Bapak berdoa ya? Semoga kita segera menemukan jawabannya."
Axel memandangi beberapa kapal yang akan berangkat menuju perkiraan jatuhnya pesawat itu. Ia berlari memasuki area kapal itu. Namun, petugas melarangnya untuk ikut.
Namun, Axel memohon dengan sangat, agar diizinkan untuk turut dalam pencarian ini. Karena ia masih yakin, istrinya selamat dan hidup.
*
*
*
Pada malam hari, Arsen pulang mengintip ke kamar putranya itu. Ia ingin memastikan Aziel telah tidur dengan lelap karena ia ingin melanjutkan rencana yang sudah disusunnya dengan rapi. Akan tetapi, ternyata kamar sang anak kosong melompong. Ia tak menemukan putranya di sana.
Ia berpindah menuju kamar utama. Di mana menjadi kamar tempat ia beristirahat. Saat membuka pintu kamarnya, matanya terbelalak nanar. Kamar itu begitu berantakan dan lemari yang berisi pakaian mendiang istrinya berceceran di mana-mana.
Ia melihat dua tubuh telah berada di atas ranjang saling berpelukan. Sang wanita dewasa sedang memakai pakaian milik mendiang istri yang sangat ia cinta. Hal ini membuatnya murka, dan bergerak cepat dengan langkah berat.
"Awas kau wanita sialan! Malam ini semua organmu akan aku keluarkan dari tempatnya!"
*Jangan lupa rating bintang 5 untuk karya ini ya Kakak Semua* terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
FieAme
tiba2 punya anak 😭😭
2023-04-03
0
Itarohmawati Rohmawati
lanjut thor ...semakin seru
2023-04-03
0