"Saya mau semua jualan kamu termasuk gerobaknya dan kamu juga, silahkan hitung berapa harganya."
Adam terkesiap lalu tertawa kecil karena mengira pelanggan tersebut sedang bercanda dengannya.
"Hehe, ah tuan bisa saja. Jadi yang benar mau berapa, Tuan? Nasi gorengnya? Di bungkus atau mau makan di sini?" ulang Adam ramah.
Pria tua itu mendesah, sedangkan Adam memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan pesanan pelanggannya yang tampak seperti orang kaya itu.
Pria itu membuka kacamata hitamnya dan menatap Adam dengan mata berkaca-kaca.
"Tu- Tuan ...." Adam tercekat, suaranya tersangkut di tenggorokan. Tatapan mereka saling mengunci seakan tengah menyelami pikiran masing-masing.
Tubuh ringkih Adam lemas tanpa daya dia terduduk di kursi yang berada tak jauh dari pria tua itu.
"Laksanakan sesuai perintah!" titah pria tua itu pada pria muda di sampingnya yang langsung berdiri dari tempatnya.
"Siap, laksanakan Tuan."
Mata pria tua itu tak berpaling dari Adam, kini malah tampak jelas tetes air mata itu mewarnai mata coklatnya yang tampak begitu mirip dengan Adam.
"Siapa? Siapa anda sebenarnya?" cicit Adam lemah.
Pria tua itu tersenyum getir.
*Flas back on
Hujan badai dengan petir menyambar mengunjungi kota J, membuat semua penghuninya akan lebih memilih berada di balik selimut mereka ketimbang harus merasakan dingin dan pekatnya air hujan dan angin kencang yang bertiup menyertainya.
Namun hal itu tak berlaku bagi sepasang suami istri yang tampak panik membawa mobil mereka, di belakang mereka tampak juga iring-iringan beberapa mobil mengejar mereka.
"Bagaimana ini, Pa? Mama takut," ujar sang istri sambil memeluk anak mereka yang masih bayi dengan air mata bercucuran.
Orang-orang yang kini mengejar mereka itu adalah saingan bisnis mereka yang merasa kehadiran perusahaan sang suami adalah ancaman yang harus di musnahkan.
"Tenang, Ma. Berdoa saja semoga hujan ini bisa menghalangi mereka terus mengejar kita. Berdoa supaya Gusti Allah akan terus melindungi kita dan putra kita," tukas sang suami sambil melihat istrinya tenang. Walau kini tak di pungkirinya kalau dirinya pun turut panik.
Sang istri mulai berdoa, sedangkan hujan di luar tampak semakin lebat. Tak di sangka sebuah pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan mulai oleng karna tak kuat menahan terpaan angin yang terus menerus menerpanya.
Melihat hal tersebut dan memperhitungkan jarak dengan para pengejarnya, sang suami dengan hanya bermodalkan bismillah menekan pedal gas dan meluncur lurus melewati pohon yang baru saja tumbang itu.
"Alhamdulillah, " lirihnya setelah berhasil melewati pohon yang kini sudah tumbang sepenuhnya itu dan meninggalkan para pengejarnya di belakang.
"Apa kita masih hidup, Pa?" tanya sang istri yang baru saja berani membuka matanya setelah sang suami mengucap hamdalah.
"Seperti yang kamu lihat, Ma."
Sang suami kembali menekan pedal gas perlahan, dan mobil melaju pelan meninggalkan pohon tumbang penyelamat mereka itu.
Setelah beberapa meter jauhnya sebuah plang panti asuhan tampak oleh sang suami, tanpa pikir panjang dia langsung saja berbelok dan menghentikan mobilnya di pelataran panti tersebut.
"Lho, Pa? Kita ngapain ke sini? Kenapa kita nggak langsung pulang?" tanya sang istri bingung.
Sang suami mendesah, berat di rasa dalam hatinya. Namun mereka di kejar oleh waktu. Tak ada kesempatan untuk berpikir terlalu lama.
"Kita harus titipkan putra kita untuk sementara, Ma. Persaingan bisnis terlalu kejam. Papa takut kalau sampai mereka melukai putra kita, selagi mereka belum pernah melihat wajahnya ada baiknya secepatnya kita sembunyikan dia. Dan akan menjemputnya lagi setelah kondisi lebih kondusif."
Sang istri tampak tak setuju. "Apa? Tapi kenapa kita harus berpisah dengan anak kita? Bukankah kita bisa tetap merawatnya sendiri di tempat tersembunyi?"
Sang suami menggeleng sambil mengusap bahu istrinya. "mereka sudah mengenali kita, akan sangat berbahaya saat ini jika putra kita masih ikut bersama kita. Sementa waktu ... kita amankan dia dulu, agar tidak perlu ikut terlibat dalam persaingan dunia bisnis yang kejam ini."
Sang istri tampak kecewa, namun dia tau kalau apa yang di ucapkan suaminya adalah benar. Kerajaan bisnis yang di bangun kedua orang tua mereka sejak masih nol, dan bisa sukses sampai anak cucu mereka tentu saja membuat banyak dari para pesaing mereka iri dan akan menggunakan berbagai macam cara untuk merebutnya.
Terlalu riskan untuk di ceritakan, namun demikianlah adanya.
"Baiklah, tapi berjanjilah kalau kita akan menjemputnya kembali secepatnya," ujar sang istri sambil menghapus air matanya.
"Tentu saja."
Begitulah, akhirnya bayi mungil berusia kurang lebih tiga bulan itu harus rela berpisah dari kedua orang tua kandungnya untuk keselamatannya sendiri.
Sang pemilik panti yang sudah lama tak memiliki anak menyambutnya dengan bahagia, dan berjanji pada pasangan suami istri itu akan merawat bayi laki-laki tampan itu dengan sepenuh hati seperti anak mereka sendiri.
Dan benar, sesuai janji sang pemilik panti. Mereka memang merawat anak itu dengan penuh kasih sayang layaknya anak mereka sendiri. Bertumbuh dengan baik dan tak kekurangan apapun. Apalagi suami istri itu tetap mengirimkan jatah bulanan bagi putranya membuatnya sangat amat terurus dengan baik.
Sampai datanglah hari itu, hari dimana hutang tak bertemu penawarnya. Hari dimana pemilik panti sampai terlupa akan siapa jati diri putranya yang sebenarnya dan dengan sadar malah menikahkannya untuk melunasi semua hutang orang tua si wanita.
*Flash back off.
"Apa?" mata Adam membulat sempurna, bahkan tanpa sadar dia menggebrak meja saking terkejutnya.
Pria tua itu tersenyum. "Yah, semua itu benar. Dan kini ... Papa datang kembali untuk menjemputmu, anakku."
****
Di kediaman Sarah.
"Assalamu'alaikum, Dad?" sapa Sarah saat mengangkat telponnya ayahnya.
"Wa'alaikumsalam, how are you, My sweetie?" sahut Tuan Bryan dari sebrang telepon, suaranya terdengar sumringah karna baru saja mendapat kabar dari anak buahnya kalau Sarah berhasil menjalankan rencananya dengan mulus.
"Alhamdulillah, Dad. Sarah baik ... Momy dan Dady bagaimana?" ujar Sarah bertanya balik.
"Yah, beginilah kami. Seperti sepasang kekasih yang baru pacaran karena putri kami satu-satunya masih belum pulang bermain," gelak Tuan Bryan.
Sarah ikut tergelak. "Ohhh, Dad. Tolong jangan mulai."
"Bagaimana suamimu, ah maksud Dady calon mantan suamimu?" ralat Tuan Bryan yang sebenarnya sudah sangat enggan menganggap Bima sebagai menantunya. Sudah cukup sakit hatinya mendengar dan melihat semua kelakuan Bima pada putrinya yang dia dapatkan dari rekaman video yang hack anak buahnya dari CCTV di rumah Sarah.
Sarah tersenyum miring walau dia tau ayahnya tak akan bisa melihat. "Yah, Dad. Kau tau? Aku bahkan hampir tertawa setiap kali melihat wajah memelasnya."
"Kalau kau butuh bantuan, jangan sungkan beritahu Dady okay? Dady akan selalu siaga untukmu, Honey."
Sarah terharu mendengar ucapan ayahnya dan tanpa sadar matanya mulai kembali berkaca-kaca. "Sure, Dad. Tentu saja ... doakan saja putrimu ini okay?"
Hening sejenak tercipta.
"Oh ya, Sweetie?" ucap Tuan Bryan setelah sepersekian detik terdiam.
"Yes, Dad? Ada apa?"
Tuan Bryan berdehem sejenak sebelum meneruskan kalimatnya. "Apa kamu masih mengingat Uncle Andrew?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Neneng cinta
wah trnyata Adam anak org kaya,,,
2023-05-20
0