Nt3 bab 12
"Ini laporannya, Nona. Semua sesuai yang Nona inginkan. Tapi ...."
"Tapi apa?" sela Sarah cepat. Tangannya bergerak merebut kertas laporan dari tagan sang pengawal.
Sreett
Sarah membaca semua biodata yang anak buahnya dapatkan tentang Jeni, sampai di satu halaman, di sana tertera biodata suami dari Jeni. Senyum Sarah mengembang sempurna.
"Bagus!" ucap Sarah berbinar.
"Bagus sekali! Ini bahkan akan menjadi lebih mudah daripada yang aku bayangkan."
Pengawal berjas itu berjalan mendekati Sarah dengan wajah datarnya.
"Apa yang Nona ingin kami lakukan selanjutnya, Nona?"
Sarah menyerahkan ke dua kantong plastik yang ada di tangannya.
"Sementara ... kalian hanya perlu mengawasi gerak gerik ke dua benalu itu, perintah selanjutnya akan menyusul. Dan ini," menunjuk ke arah kantong plastik. "Berikan pada Bibi Anjani, katakan itu hadiah untuk anaknya."
Pria berjas itu sedikit menunduk. "Siap laksanakan, Nona."
Sarah mengangguk dan bergegas kembali ke rumahnya sembari menyusun berbagai rencana indah di kepalanya.
****
Sebelumnya ...
"Jen! Jeni!" teriak Bima sambil berlarian ke lantai dua mencari keberadaan kekasih gelapnya itu.
"Apa sih, Mas?" sahut Jeni dengan wajah masam dan sebuah pel juga kemoceng di kedua tangannya.
Bima berjalan menghampiri Jenu setelah meletakkan barang belanjaan Sarah di atas meja.
"Gimana? Udah beres kan?" cecarnya tak sabar, dia takut tiba-tiba Sarah kembali dan melihat kondisi kamarnya yang sedang tidak layak huni itu.
"Beres apanya sih, Mas? Kamu liat aja tuh, bekas buangan kamu aja ada di mana-mana! Capek tau Mas dari tadi aku ngepelinnya. Sampe mau copot tanganku rasanya nih, kamu kan tau di rumah aku bahkan nggak pernah cucu piring makanku sendiri. Ini kok bisa-bisanya kamu malah nyuruh aku beres-beres plus bersih-bersih lagi. Gila emang kamu ya, Mas?" amuk Jeni sembari melemparkan kemoceng dan pel di tangannya ke tubuh Bima.
Bima menangkap barang-barang itu dengan kesulitan. "Ya kan kamu juga tau aku bahkan nggak pernah pegang sapu sejak nikah sama si Sarah, Jen. Jadi ya aku udah lupa caranya bersih-bersih, lagi pula kamu kan perempuan masa begini aja nggak bisa sih?"
"Kalo gitu kita balik, Mas. Suamiku aj bisa tiap hari bersih-bersih dan beberapa rumah dulu sebelum pergi jualan. Masa kamu gini aja nggak bisa sih?" omel Jeni membalik perkataan Bima.
Bima terdiam, memang percuma untuk berdebat dengan Jeni. Dia selalu mempunyai beribu balasan untuk setiap perkataan yang dia tidak sukai. Menyebalkan memang, namun nyatanya itulah wanita yang bisa membuat Bima jatuh cinta.
"Ya udah, selagi Sarah belum balik gimana kalo kita beberesnya bareng aja?" tawar Bima mencoba mencairkan suasana.
Jeni mencebik, namun akhirnya mau juga daripada harus menghadapi omelan Sarah lagi nanti.
Mereka mulai membersihkan lagi kamar itu, membereskan tempat tidur, membuang sampah di tempatnya hingga penuh, menyapu segala sesuatu yang sebenarnya tidak untuk di ungkapkan di sini ya semacam bungkus permen di Alfa.
"Mas, spreinya perlu di ganti juga nggak?" tanya Jeni saat melihat sprei yang terpasang sudah terdapat noda-noda jahanam.
Bima menoleh dan turut memindai kondisi sprei.
"Kayaknya perlu deh, cuma nanti sprei ini kita taruh di mana? Kalo di mesin cuci nanti pasti nanti Sarah curiga. Nggak mudah bohongin si Sarah sekarang."
Jeni tampak berpikir sembari mengetuk dagunya dengan jari.
"Ah, aku tau, Mas!"
****
"Gimana?" Jeni melihat hasil karyanya sambil bersedekap dada.
Bima bersiul kecil mengagumi apa yang sudah di lakukan oleh Jeni. "Yah, hebat. Kamu betul-betul hebat, Sayang. Nggak salah aku milih kamu."
Tak
Tok
Tak
Tok
Suara langkah kaki Sarah menaiki tangga terdengar santer, gegas Bima dan Jeni berlarian menuju ke sofa dimana sebelumnya mereka duduk bersama.
"Mas?" panggil Sarah saat melihat suaminya dan Jeni hanya duduk dan saling diam.
"Eh, Sayang. Kamu udah dari tetangganya?" sahut Bima menyambut ke datangan Sarah dan menarik tangannya untuk duduk di sebelahnya seperti tadi.
Sarah mengangguk. " Ya, seperti yang kamu lihat."
"Kalian lagi apa?" sambung Sarah menatap bingung pada Bima dan Jeni yang kini tampak berkeringat dengan raut wajah kelelahan.
Sebenarnya bukan Sarah tak tau apa yang sudah mereka lakukan sebelum dia masuk, Sarah justru sengaja berlama-lama di luar untuk melihat bagaimana mereka berdua berusaha menutupi kebusukan mereka dari CCTV yang tersambung ke hapenya. CCTV kecil yang berada di atas lubang angin pintu dan jendela kamar itu merekam dengan jelas detik-detik mereka berdua menyembunyikan hasil karya mereka di balik sprei.
"Hah? Ng- nggak kenapa-kenapa kok, Sayang. I- iya kan, Jen?" sahut Bima melempar pertanyaan pula pada Jeni.
"Ah, eh. I- iya, Mbak Sarah. Kami nggak kenapa-kenapa kok," ucap Jeni gugup, dan setelah mengucapkannya kembali Jeni menunduk membiarkan rambut sepunggungnya yang di cat pirang itu menjuntai menutupi wajahnya.
Sarah mengangguk samar. "Ouu ... Lalu kenapa diem-dieman?"
Bima dan Jeni saling pandang seakan saling bertanya lewat pandangan mata.
"Hum ... kami ... kami ..., Kami kan nungguin kamu, Sayang." Bima beralibi.
Sarah yang tak percaya hanya berdecih kemudian mengambil sebuah minuman kaleng dari dalam kantong dan menenggaknya.
"Sejak kapan kamu pernah nungguin aku kalau mau ngapa-ngapain, Mas?"
Tatapan mata Sarah tajam dan lurus ke Bima, namun melihatnya Jeni pun turut tertekan dengan aura dominasi Sarah yang tiba-tiba menguar.
"Ah, Sayang. Kamu jangan nggak percayaan begitu dong, kan tadi Mas sudah bilang mau berubah buat kamu. Jadid tolong kasih Mas kesempatan untuk membuktikan ucapan Mas ya," bujuk Bima sambil memegang tangan Sarah, dia tak mempedulikan tatapan mata Jeni yang menghujamnya tak suka.
Sarah tergelak. "Yah, tadi kamu memang bilang begitu, Mas. Tapi ... apa aku harus percaya?"
"Ma- maksudnya? Apa maksud perkataan kamu itu, Sayang?" tanya Bima takut-takut.
"Mungkin kamu sudah lupa apa yang sudah kamu lakukan padaku beberapa hari yang lalu. Menyiksa aku sampai aku masuk rumah sakit dan bahkan tanpa rasa bersalah malah membuang rasa tanggung jawab dengan tidak menjenguk aku sekali pun. Kamu pikir semua itu bisa di balas hanya dengan ini hah?" hardik Sarah mulai geram.
Amarah Sarah mulai naik hingga ke ubun-ubun, jika saja dia tak ingat akan misi balas dendamnya tentu saat ini dia sudah mencabik wajah Jeni menjadi serpihan dan menjuak semua organ tubuh Bima ke pasar gelap. Sungguh hatinya saat ini jika mengingat betapa mudahnya kedua manusia di hadapannya ini bersandiwara seakan tak ada apa-apa di antara mereka.
Bima menunduk seakan merasa sangat menyesal. "Ma- maaf ... Mas mohon maafkan Mas, Sayang. Jangan begini, tolongg beri Mas kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Jeni yang sudah tidak tahan mendengarnya akhirnya geram. "Mas! ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
o em ji bima..bima..badan segede gaban, tp..
2023-08-22
0