Dengan mengendarai motor metiknya Sarah berkeliling mencarikan makanan yang sekiranya cukup dengan standar suaminya. Beberapa kali dia sempat menjumpai penjual sarapan pagi yang sudah mulai menata dagangannya, namun dia ingat Bima bukanlah penyuka makanan dengan porsi minimalis seperti itu, selama berumah tangga Sarah tau benar kalau porsi makan suaminya kurang lebih sama seperti porsi kuli.
"Nah, itu ada tukang nasi goreng," gumam Sarah saat melihat gerobak nasi goreng yang tampak masih buka.
Sarah membelokkan motornya ke dekat gerobak itu dan tampak di sana penjualnya tengah tertidur di meja yang dia sediakan untuk pelanggan.
"Bang, maaf saya mau beli." Sarah sedikit menggoyangkan tubuh si penjual nasi goreng yang terdengar mendengkur halus itu.
Setelah beberapa kali memanggil sambil menggoyangkan tubuhnya, akhirnya si penjual bangun dengan terkaget-kaget.
"Astaghfirullah!" serunya sembari meraup muka.
"Eh, eh. Mau beli ya Neng?" tanyanya sambil tersenyum kikuk dengan mata masih memerah khas orang baru bangun tidur.
Sarah tersenyum melihat tingkah penjual nasi goreng yang absurd itu.
"Iya, Bang. Tolong buatin tiga bungkus ya, tapi jangan terlalu pedes."
Abang penjual itu lekas berdiri dengan penuh semangat. "Siap, Neng. Mangga duduk dulu, biar Abang buatkan."
Abang penjual mulai meracik nasi goreng di atas wajan penggorengan khusus, suara khasnya terdengar begitu santer di dini hari yang dingin itu. Aroma nasi goreng yang harum membuat perut Sarah yang memang belum makan sejak siang turut kerongkongan.
"Duh, laper. Semoga aja nanti Mas Bima makannya nggak kayak orang kesurupan supaya ada sisanya," gimana Sarah membayangkan bagaimana biasa Bima makan.
Tiga bungkus nasi goreng itu pun di rasa Sarah akan kurang baginya, namun bagaimana lagi? Sarah juga harus menyisihkan uang untuk membeli bahan masakan untuk esok hari. Berjaga-jaga kalau Bima tak lagi memberinya uang.
"Kok malem-malem begini keluar beli makan sendiri, Neng? Suaminya kemana?" celetuk si Abang penjual sembari mengaduk nasi goreng di atas wajan.
Sarah yang tengah melamun sambil memegangi perutnya tampak terkesiap.
"Ah, eh ... u- udah tidur Bang, nggak tega mau bangunin. Makanya saya pergi sendiri. Lagipula deket kok dari rumah," ujar Sarah berbohong. Padahal tempat penjual itu lumayan jauh juga dari rumahnya.
"Jadi ini buat makan Eneng sendiri? Banyak banget Neng," ucap Abang itu lagi.
Sarah yang terjebak dengan jawabannya sendiri pun tampak kebingungan, karna tidak mungkin dia bilang kalau suaminya yang memaksa dia untuk pergi.
"Abang sendiri kok jam segini masih buka?" tukas Sarah mengalihkan pembicaraan.
Abang penjual mulai menata nasi goreng yang sudah matang beserta telurnya ke dalam kertas pembungkus nasi.
"Ya ... kalau saya mah, memang dari siang jualan sepi, Neng. Makanya maksain buka sampe malem, istri saya katanya lagi butuh duit buat beli skinker. Yah, karna saya sayang istri makanya pergi pagi pulang pagi juga saya jabanin demi istri tercinta mah, Neng."
Sarah terharu mendengar ucapan bang penjual nasi goreng tersebut, kalimat yang sederhana namun begitu menyentuh dan membuat Sarah teringat akan rumah tangganya yang berbanding terbalik dengan apa yang di sampaikan penjual itu.
Seorang penjual nasi goreng saja sampai rela tidak pulang ke rumah saat larut hanya untuk bisa memenuhi permintaan istrinya akan skinker. Sedangkan Bima? Jangankan memberi uang lebih untuk skinker Sarah, untuk uang belanja saja dia sudah enggan memberi karna tau Sarah di beri uang bulanan oleh orang tuanya yang sudah uzur. Dari penghasilan perusahaan yang di kelola oleh Bima.
"Nih, Neng. Udah beres nasi gorengnya, di jamin enak dan bikin terbayang selalu sama rasanya," ucap Abang penjual dengan ramah.
Sarah tersenyum dan menerima bungkusan nasi goreng itu. "Berapa semua, Bang?"
"Murah, Neng. Tiga bungkus cuma 36 ribu aja."
Sarah tersenyum canggung dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada si Abang.
"Sebentar ya, Neng." Abang penjual itu bergegas menuju gerobaknya dan menarik laci yang sepertinya dia gunakan untuk menyimpan uang.
"Ini kembaliannya Neng, karna Eneng pembeli dengan jumlah pembelian paling banyak hari ini, jadi Abang kasih diskon seribu rupiah. Jadi kembalinya lima belas ribu rupiah ya, Neng."
Sarah mengangguk samar dan mengambil kembalian itu kemudian memasukkannya kembali ke dalam kantong celananya.
"Terima kasih ya, Bang. Kalau begitu saya permisi," pamit Sarah seraya berjalan menuju motornya.
"Siap, mangga Neng." Abang penjual mempersilahkan sambil mengayunkan tangannya.
Ctik
Sarah memutar kunci kontak motor dan mencoba menghidupkannya.
Hening
Berkali-kali Sarah menekan tombol start namun sama sekali tak ada reaksi yang diberikan motor metiknya tersebut.
Tak habis akal, Sarah turun dari motor dan mengengkolnya.
Satu kali.
Dia kali.
Tiga kali.
Sampai entah berapa puluh kali Sarah mencoba mengengkol motor tersebut sampai kakinya serasa perih dan mati rasa.
"Kenapa, Neng? Motornya mogok?" tanya si Abang penjual berlari kecil mendekati Sarah yang sudah basah oleh keringat.
Sarah mengangguk samar. "Iya, Bang. Nggak mau di hidupkan. Mana saya sudah kelamaan perginya."
Abang penjual tampak kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya sambil celingukan.
"Masih gelap begini, kayaknya nggak ada bengkel yang buka, Neng."
Sarah hampir menangis karna sudah hampir satu jam dia pergi, padahal Bima hanya memberinya waktu tak lebih dari setengah jam. Tak terbayang di pelupuk mata Sarah sekejam apa lagi hukuman yang akan di berikan Bima padanya seperti yang sudah-sudah.
Abang penjual itu tak sengaja melihat mata Sarah yang berkaca-kaca, rasa iba timbul di hatinya. Berkali-kali dia menatap Sarah dan gerobak jualannya bergantian.
"Kalau gitu pulang aja dulu, Neng. Biar motornya di titip di sini sama saya, besok baru di ambil. Katanya tadi rumah Eneng mah deket kan?"
Sarah menghapus air mata yang sempat jatuh dari pelupuk matanya. "Nggak, Bang. Saya bohong, rumah saya jauh dari sini."
Abang penjual itu terkesiap dan mengelus dada menyesali sikap Sarah yang terbilang nekat, padahal tak jauh dari gerobak penjual nasi goreng itu ada lokasi kuburan yang terbilang angker.
Namun bagi Sarah, tak ada yang lebih menakutkan ketimbang kemarahan Bima. Membuatnya sampai begitu berani dan nekat melintasi kuburan itu di dini hari yang terbilang sangat rawan. Tak hanya hantu, tapi juga begal.
"Ayo saya anter aja, Neng." Abang penjual mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah bangkit.
Merasa tak ada pilihan lain, akhirnya Sarah mengangguk menyetujui usulan si penjual.
"Ta- tapi gerobak Abang gimana? Di sini sepi loh. Takutnya ada maling," cetus Sarah yang tiba-tiba khawatir.
Abang penjual itu menuju ke arah laci penyimpanan uangnya dan mengambil beberapa lembar uang yang tampak tak begitu banyak dari sana. Mungkin saja itulah hasil dia menunggu pelanggan sampai sehari semalam. Sarah sampai tersentuh melihatnya, betapa tegasnya hati Abang penjual itu, walau hanya mendapat sedikit rejeki tapi dia tetap melayani dengan sepenuh hati.
"Udah aman, Neng. Ayo saya anter," tukas Abang penjual sambil menepuk tas pinggangnya yang sudah terisi uang yang tak seberapa dari lacinya.
Abang penjual menghidupkan motor bebek tuanya dan membantu Sarah naik di boncengan.
"Baca doa ya, Neng. Semoga kita selamat lewat kuburan itu," titah si Abang setelah motor melaju dan hampir melintasi area pekuburan.
Suara burung hantu terdengar santer begitu mereka melewati kuburan tersebut, tanpa sadar Sarah memegang erat baju si Abang karna ketakutan.
Motor terus melaju sampai mereka mulai memasuki kawasan pemukiman, cukup jauh dari lokasi kuburan tadi.
"Rumahnya yang mana, Neng?" tanya si Abang sambil celingukan melihat-lihat rumah-rumah yang di lewatinya.
"Itu Bang, yang cat pink." tunjuk Sarah pada rumahnya.
Motor berhenti tepat di depan rumah bercat pink dengan gaya minimalis milik Sarah, saat turun dan mengucapkan terima kasih Sarah dan Abang penjual itu di kejutkan oleh suara menggelegar Bima.
"Dari mana saja kamu wanita jal*ng?" bentaknya dengan ikat pinggang tergenggam erat di tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments