Sampai mendekati waktu subuh,Gara mendekam di jeruji besi, dia tidak tidur dan orang tuanya tidak datang meski Gara sudah menghubungi mereka lewat telpon yang dipinjamnya dari kantor polisi. Pada saat waktu sahur, salah seorang petugas kepolisian mengantarkan makanan sahur untuk Gara.
"Ini, makan sahur buat kamu. Jangan buang-buang makanan." tegas petugas sipir penjara itu sambil menyimpan makanan tepat didepan Gara yang sedang duduk memeluk lututnya. Pria itu terlihat kesal, lalu ia membanting makanan yang dibawa oleh sipir penjara itu.
Brak!!
Prang!
Petugas sipir penjara itu melotot ke arah Gara, jelas dia kesal karena Gara melempar membuang-buang makanan sembarangan.
"Panggil orang tua saya kemari! CEPAT!" teriak Gara emosi.
"Kamu benar-benar tidak tahu diri ya. Sudah saya bilang jangan buang-buang makanan. Ya sudah kalau kamu gak mau makan sahur!" ketus sipir penjara itu kesal, lalu pergi begitu saja meninggalkan Gara disana seorang diri.
Gara memukul-mukul tembok, hingga buku-buku tangannya memutih dan punggung tangannya berdarah. Melampiaskan amarah didalam hatinya. Gara kesal karena kedua orang tuanya tega melaporkan dirinya ke kantor polisi dan membuatnya mendekam di jeruji besi.
"Tega banget mommy sama Daddy buat gue mendekam di penjara! Mereka pikir dengan begini, gue mau pergi ke pesantren? Big no, gue gak sudi." Gara tetap dengan keputusannya yang tidak mau pergi ke pesantren. Dia ingin hidup bebas seperti ini, tanpa aturan. Ya, Gara memang keras kepala dan tidak seperti umurnya yang bisa terbilang sudah cukup dewasa, alias baligh.
Gara masih mendekam disana, hingga sore itu Asiyah dan ustad Zaki menemuinya di penjara. Gara lantas melampiaskan kemarahan kepada mereka yang sudah tega melaporkannya ke kantor polisi.
"Umi sama Abi tega banget sama aku! Aku ini sebenernya anak umi sama Abi atau bukan sih?" murka Gara seraya melotot pada kedua orang tuanya. Jangan tanyakan lagi bagaimana perasaan Asiyah dan ustad Zaki melihat kelakuan anak mereka, pastilah hati mereka terluka.
"Gara! Jaga ucapanmu!" tegur ustad Zaki pada putranya. Sedangkan Asiyah mengelus dadanya, ia sudah tidak bisa menahan rasa kecewanya lagi. Asiyah dan suaminya sepakat untuk memasukkan Gara ke pesantren.
"Abi, jaga emosi! Ini bulan ramadhan Abi, kita harus jaga amalan puasa kita." Asiyah mengusap-usap pelan tangan suaminya seraya menenangkan ustad Zaki.
"DADDY!" bentak Gara marah.
Kemudian sebuah tamparan melayang di pipi Gara dan membuat pria itu tersentak kaget. Dia menatap orang yang sudah memukul pipinya. Gara terperangah melihat orang itu, pria tua dengan rambut hampir semuanya memutih dan memakai peci hitam.
Plakk!
"Ka-kakek?"
Kenapa kakek bisa ada disini? Bukannya dia ada di Mesir?
Pria tua itu menatap tajam pada Gara, tatapannya mampu membuat tubuh kekar dan tubuh tinggi Gara menciut dan menundukkan kepalanya. Dari kecil ustad Ibrahim memang terkenal dengan ketegasannya, terutama pada Gara. Cucu laki-laki satu-satunya yang tentu akan menjadi calon imam untuk keluarganya kelak.
Ibrahim terlihat kecewa, ia tidak menyangka bahwa memberikan kebebasan pada Gara, ternyata malah berakhir seperti ini. Cucunya memiliki akhlak yang tidak baik.
"Kamu pilih! Mau mendekam di penjara dan kehilangan hak warismu sebagai cucuku, atau pergi ke pesantren dan menimba ilmu disana sampai kami benar-benar yakin bahwa kamu sudah berubah dan tentu saja ada persyaratan yang harus kamu setujui untuk menjadi pewarisku kelak!" ujar Kiyai Ibrahim tegas. Hingga Gara membeku, dia tidak berani melawan ucapan kakeknya. "Kamu hanya punya dua pilihan, Muhammad Ilham Sagara." cetusnya lagi dengan sorot mata tajam seakan membunuh Gara.
Berbeda saat ia berbicara dengan ayah dan ibunya yang selalu melawan. Dihadapan sang kakek, Gara tidak berkutik.
Kiyai Ibrahim tidak banyak bicara, tapi pria tua itu mampu membuat Gara tidak berkutik. Hingga akhirnya Gara memilih untuk pergi ke pesantren daripada mendekam di penjara dan kehilangan hak warisnya. Ya, Gara berpikir jika setidaknya setelah di pesantren dia bisa kembali lagi ke rumahnya. Daripada hidup dipenjara bertahun-tahun.
"Ingat Gara! Kalau dalam waktu satu tahun, kamu belum bisa berubah...kakek pastikan akan mencari kamu dari daftar ahli waris!" ujar Kiyai Ibrahim pada cucunya tidak main-main.
"Iya kakek, aku akan belajar di pesantren. Aku akan hafalin Alquran ,kitab safanah...atau apalah itu. Kakek bisa tes aku nanti dan lihat kalau aku sudah berubah!" seru Gara meyakinkan kakeknya bahwa dia akan berubah.
'Gak apa-apa deh, jadi anak baik dulu buat sekarang dan satu tahun ke depan didepan kakek, Daddy dan mommy'
"Kakek akan lihat nanti." kata ustad Ibrahim pada cucunya. "Asiyah, Zaki, kalian gak usah antar dia ke pesantren Ar-Rahman. Biar dia pergi sendiri." kata Kiyai Ibrahim pada anak dan menantunya, untuk tidak mengantar Gara ke pesantren.
"Hah?" Asiyah dan ustad Zaki tersentak kaget mendengarnya.
****
Gara sempat merengek meminta agar diantarkan ke pesantren Ar-Rahman, namun ustadz Ibrahim dengan tegas melarang hal itu. Dia ingin Gara pergi sendiri dan mandiri, tanpa kedua orang tuanya yang mendaftarkannya. Ibrahim ingin Gara berusaha masuk ke pesantren Ar-Rahman itu tanpa bantuan siapapun. Ibrahim tau bagaimana ketatnya pesantren Ar-Rahman terhadap para santri dan santriwatinya. Ibrahim dan kedua orang tua Gara ingin agar Gara lebih menghargai sesuatu sekecil apapun.
Dan disinilah sekarang Gara berada ,didepan sebuah gerbang hitam yang besar. Dengan papan yang bertuliskan pondok pesantren Ar-Rahman. Gara hanya berbekal tas gendong yang berisi sedikit baju-baju didalam sana. Sekarang Gara hanya memakai baju yang melekat ditubuhnya, baju seadanya. Jaket kulit hitam, rambut yang gondrong, telinga ditindik, celana robek-robek, yeah itulah style dari Muhammad Ilham Sagara.
"Haahh....ini gak kayak penjara, anggap aja hotel ya gitu aja lah." gumam Gara seraya mendesaah berat. Pria itu melangkahkan kakinya ke dalam gerbang itu, dimana semua orang yang lewat melihatnya dengan tatapan tajam. Memperhatikan Gara dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Beberapa akhwat bahkan terpesona pada ketampanan Gara walau dia terlihat macam preman. Mereka bertanya-tanya siapa pria yang masuk ke dalam lingkungan pesantren dengan penampilan yang mencolok.
"Jaga mata, ini lagi bulan puasa ukhti!" ujar seorang wanita berhijab merah sambil melirik lirik Gara.
"Kamu juga jaga mata!" seru ketiga temannya pada wanita berhijab merah itu. Mereka pun senyum-senyum
Kring! Kring! Kring!
Seseorang membunyikan lonceng sepedanya berada tak jauh dibelakang Gara. "Permisi! Rem sepedaku blong! Tolong minggir, pak!" teriak wanita berseragam putih abu dan berhijab putih itu sambil berusaha memberhentikan sepedanya.
Tabrakan pun tak terelakan lagi karena Gara telat menghindar. Sepeda dan orang yang mengendarainya jatuh dengan posisi menindih tubuh Gara. Mereka berdua jatuh ke rerumputan yang ada di taman.
"Woy! Jalan pake mata dong!" seru Gara kesal, ia merasakan sakit di bagian pinggangnya.
Najwa segera beranjak dari tubuh Gara dan merasa bersalah. "Ma-maaf, saya nggak sengaja...saya--"
Gara menatap mata gadis itu, ia yakin gadis itu tidak asing dan dia pernah bertemu dengannya.
"LO? Si kerudung merah muda?"
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Kurnianovi
bener banget tu mau setinggi apapun ilmu jabatan dan status sosial tapi kalo gada akhlak mah percuma atuh.... ayo atuh sagara berubah jadi lebih baik tapi jangan karna harta yak
2023-04-14
1
Uyhull01
pesantrenku saksi jodohku kali ya itu🤭
2023-04-11
1
pembaca novel
ketemu dua kalinya tabrakan lagi😆 namanya tabrakan cinta
2023-03-22
1