Asha tidak kuat berada di tengah mereka, dia pamit untuk pergi ke lantai atas. Ingin dia berada di sana lebih lama lagi, tapi hatinya yang tidak kuat untuk menahan perasaanya sendiri.
Langkah kakinya cepat menaiki satu persatu anak tangga, tidak dia pedulikan panggilan dari sang ibu mertua yang tengah mengkhawatirkannya. Begitu juga dengan Aji, tapi pria itu memilih untuk tetap berada di sana dan menyelesaikan masalah ini.
“Nak Aji, Om mohon sama kamu. Tolong pikirkan sekali lagi, Naura kan sahabat Nak Aji dari kecil. Dia sangat sayang sekali sama Nak Aji. Tolong kamu pikirkan lagi ya permintaan kami. Apa pun yang Nak Aji inginkan kami akan berikan. Kami yang akan membayar mahar untuk pernikahan ini,” ucap Harun dengan memohon, begitu juga dengan Winda yang menatap penuh harap terhadap laki-laki itu.
Aji menghela napasnya beberapa kali, kalimat Harun yang terakhir membuatnya seakan hilang harga diri.
“Maaf, Om. Bukan masalah materi, ini adalah masalah perasaan. Apa Om tidak memikirkan perasaan istri saya? Asha sedang mengandung dan saya tidak mau menikah dengan wanita lain di saat saya masih berkomitmen dengan satu wanita. Apakah jika ada seseorang yang datang pada Om dan meminta Tante menyerahkan suaminya, Tante akan memberikan suami kepada orang tua wanita itu?” tanya Aji mengembalikan.
Winda terkejut, tak menyangka dia akan mendapatkan pertanyaan yang seperti itu dari pemuda ini. Pun dengan kedua orang tua Aji yang puas akan pemikiran matang sang putra. Rasa bangga ada di dalam hati keduanya dan senyum terkulum tak nampak dari mereka.
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, tentu saja Winda tidak akan mengizinkan suaminya untuk bersama dengan orang lain. Maka dari itu dia hanya diam saja tanpa bisa menjawab apa-apa.
“Bagaimana, Tante?” tanya Aji.
Akhirnya kedua orang itu pamit setelah mendapatkan jawaban yang pasti dari Aji. Mereka membawa kabar yang tak menyenangkan untuk sang putri.
‘Apa yang kamu harapkan, Asha? Kamu masih berharap Aji akan bersama dengan kamu dan anakmu? Dia hanya sedang membesarkan hati kedua orang tuanya. Hanya dua tahun, setelah itu kamu hanya harus bisa melupakan dia dan urus anakmu sendiri,’ batin Asha pedih. Harapannya kini musnah sudah.
“Akh!” rintih Asha, tiba-tiba saja perutnya terasa menegang dan membuatnya sakit. Asha menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit itu.
Sementara di lantai bawah, Aji bersama kedua orang tuanya masih duduk dan membahas kedatangan orang tua Naura.
“Aku harap kalian tidak kecewa,” ujar Aji.
“Kecewa? Tidak. Justru Papa bangga kamu bisa berbicara seperti itu pada mereka dan menolaknya,” ujar Harto sambil menepuk pundak sang putra dua kali.
“Mama juga. Mama nggak nyangka kalau anak Mama sudah sangat dewasa sekali, apalagi setelah menikah. Asha bisa mengubah kamu perlahan seperti sekarang ini, semakin lebih bijak,” ujar Tia senang. Aji terdiam mendengar ucapan sang ibu. “Mama memang senang dengan Naura, tapi Mama lebih senang Asha menjadi istri kamu. Meskipun dia tidak secantik Naura, tapi entahlah, hati Mama lebih senang dengan Asha,” ucap Tia lagi.
Aji tersenyum dan kemudian berpamitan untuk menyusul Asha.
“Akh. Sakit!” Rintih suara Asha terdengar kesakitan saat Aji baru saja masuk ke dalam kamarnya. Aji khawatir melihat sang istri yang bergerak gelisah di pembaringan, gegas dia mendekat dan bertanya pada Asha.
“Kamu kenapa?” tanya Aji.
“Sakit, Mas. Tolong!”
Aji panik, baru pertama kalinya Asha merintih kesakitan seperti ini. Melihat wajah Asha yang pucat, Aji menggendong sang istri keluar dari kamar.
“Kita ke rumah sakit!” ucap Aji panik.
“Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa,” kata Asha, tapi Aji tdiak mendengarkan ucapan istrinya itu dan membawanya menuruni anak tangga tetap dengan hati-hati.
“Ada apa? Kenapa dengan Asha?” tanya Tia yang baru saja keluar dari dapur.
“Perut Asha sakit!” seru Aji.
“Ha? Bawa ke rumah sakit segera. Papa!” teriak Tia di akhir kalimat memanggil sang suami yang berada di dalam kamar.
Mendengar teriakan sang istri, Harto keluar dari kamarnya dan melihat istri dan anak, serta menantunya yang digendong oleh Aji.
“Papa, cepat ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!” teriak Tia. Dengan segera Harto melarikan langkah kakinya dan pergi kembali ke kamar mengambil kunci mobilnya.
Tak butuh berapa lama, mereka telah sampai di rumah sakit dan dokter tengah menangani Asha. Aji dan kedua orang tuanya menunggu dengan resah di luar ruangan tersebut.
“Bagaimana, Dokter?” tanya Tia saat dokter wanita itu baru keluar dari dalam. Aji dan Harto segera mendekat dan menunggu jawaban dari dokter tersebut.
“Harap tenang, keadaan Ibu Asha dan bayinya tidak apa-apa, hanya mengalami kram biasa. Sepertinya karena Ibu Asha sedang banyak memikirkan sesuatu? Stress pada ibu hamil sudah biasa terjadi, harap Bapak dan Ibu, dan juga Pak Aji bisa menjaga perasaan Ibu Asha dengan baik,” ucap dokter tersebut membuat kedua orang tua itu menghela napas lega. Akan tetapi, tidak dengan Aji yang merasanya bersalah. Sebelumnya Asha tidak pernah seperti ini, mungkin saja karena kedatangan keluarga Naura tadi.
“Syukurlah, apa kami bisa masuk?” tanya Tia. Dokter menganggukkan kepalanya.
“Iya, tentu saja. Tapi harap tenang dan saya mohon jangan membuat pasien memikirkan sesuatu yang berat, ya,” pinta wanita dengan seragam kebanggaannya itu.
Aji dan kedua orang tuanya masuk ke dalam ruangan tersebut dan menemui Asha yang tengah berbaring bersama dengan pasien yang lainnya. Rumah sakit sedang penuh sehingga Asha mendapatkan perawatan bersama dengan pasien kelas dua. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa pasien yang sedang dijenguk oleh keluarganya. Tampak infus menempel pada tangan Asha.
“Asha, Mama sangat khawatir sekali. Kamu nggak apa-apa kan? Mama dan Papa minta maaf karena sudah melibatkan kamu di dalam masalah ini. Seharusnya Mama dan Papa nggak meminta kamu datang juga. Kami minta maaf,” ucap Tia yang merasa bersalah. Jika sampai terjadi apa-apa kepada cucunya, dia akan menyalahkan dirinya sendiri.
Asha tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku nggak apa-apa kok, Ma. Maaf ya sudah buat kalian khawatir,” ujar Asha. Harto juga meminta maaf dengan kejadian itu, tapi yang Asha harapkan sebenarnya adalah ucapan maaf yang terungkap dari bibir Aji. Akan tetapi, suaminya hanya diam saja.
Tia ingin sekali menemani Asha di sini, tapi salah seorang keluarga menghubunginya bahwa saat ini dia sedang berada di perjalanan untuk berkunjung.
“Nggak apa-apa, Ma. Mama dan Papa pulang saja. Aku nggak apa-apa di sini sendiri,” ucap Asha. Tia merasa bersalah. Jika saja kerabatnya itu tidak dari luar kota yang akan berkunjung pastilah dia akan mengatakan untuk bertemu lain kali saja.
“Iya, Mama dan Papa pulang saja. Aku yang akan menemani istriku di sini.”
Akhirnya Tia dan Harto pulang ke rumah meninggalkan Aji dan Asha di rumah sakit.
Mereka berdua hanya diam, tidak berbicara satu sama lain. Aji mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan, terlalu banyak orang di sini dan terlalu berisik.
“Besok kita pindah ke rumah sakit lain,” ucap Aji.
“Ke mana? Untuk apa?” tanya Asha.
“Kamu nggak akan bisa istirahat dengan baik di sini,” ucap laki-laki itu lagi. Asha tersenyum tipis, sudah cukup ucapan seperti ini yang Asha tunggu. Hatinya menghangat, tapi lagi-lagi dia mengingatkan dirinya akan status hubungan mereka berdua.
Tiba-tiba saja perut Asha berbunyi nyaring, terdengar dengan jelas oleh Aji.
“Aku akan cari makanan,” ujar laki-laki itu sambil berdiri. Asha merasa malu dan menggelengkan kepala mengatakan tidak usah, tapi Aji tidak mendengarkan wanita itu dan pergi dari sana.
“Wah, suaminya perhatian sekali ya, Mbak. Beruntung Mbak punya suami baik seperti itu,” ujar seseorang yang ada di ranjang pasien sebelah Asha.
Asha menoleh dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Andai dia tahu apa yang terjadi, apa dia akan tetap mengatakan dia beruntung?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments
Hafifah Hafifah
bagus mau g siibu dipoligami lw silahkan suruh suami ibu menikah lagi
2023-04-21
1
Hasrie Bakrie
Next
2023-04-20
0