“Tadi kamu ke rumah sakit?” tanya Aji saat dia sudah duduk untuk makan malam. Aji melirik vitamin yang ada di samping piring milik Asha.
“Ya, aku ke sana,” jawab Asha, berharap untuk Aji bertanya lebih lanjut.
Akan tetapi, nyatanya dia harus menelan kecewa karena Aji tak lagi bertanya kepadanya. Asha tak pernah membawa vitamin ke meja makan, tetapi kali ini dia membawanya karena berharap Aji akan mengkhawatirkannya. Namun, nyata semua itu khanyalah khayalan Asha semata.
Hingga selesai makan malam tak ada lagi pembicaraan dari mereka berdua. Aji pergi ke kamarnya sementara Asha membersihkan bekas makan malam mereka.
***
Panas sangat terik, Aji baru kembali dari urusannya di luar. Untuk saat ini dia hanya ingin duduk di ruangannya yang dingin. Baru saja duduk dan menyandarkan punggungnya, sebuah panggilan terdengar, segera dia mengangkat panggilan tersebut yang berasal dari sang ibu.
“Ada apa, Ma?” tanya Aji segera.
“Nggak ada apa-apa. Malam nanti kamu datang buat makan malam ya.”
“Kok tumben?” tanya Aji heran.
“Mama ada tamu. Sudah ya, Mama harus siapkan buat makan malam nanti. Jangan lupa ajak juga menantu Mama!” seru wanita itu kemudian menutup panggilan teleponnya sebelum Aji bertanya.
“Tamu? Siapa ya sampai undang aku dan Asha?” gumam Aji sambil menatap layar ponselnya yang kini gelap.
Sore hari Aji sampai di apartemen, dia segera mencari keberadaan Asha yang ternyata ada di dapur.
“Kamu bisa bersiap sekarang? Kita pergi,” ucap laki-laki itu sambil membuka dasinya.
Asha terkejut, tak biasanya Aji mendahului berbicara.
“Eh, pergi ke mana?” tanya Asha bingung. “Aku sudah masak, Mas,” ucap Asha.
“Ke rumah Mama. Mama undang kita buat makan malam,” jawab Aji sambil berjalan menjauh.
“Terus, ini bagaimana?” tanya Asha menunjuk kompor yang masih menyala.
“Tinggalkan saja,” ujar laki-laki itu dari jauh.
Terpaksa Asha mematikan kompor dan kembali memasukkan segala sesuatunya ke dalam kulkas. Daging yang sudah dia rebus disimpan di lemari.
Jam tujuh malam, mereka telah bersiap di kamarnya masing-masing untuk pergi ke rumah sang ibu, Asha memakai pakaian terbaiknya yang bisa dia pakai saat ini. Pakaian besar membuatnya bisa menyembunyikan perutnya yang kian mengembang.
“Aku kira Mama nggak akan lihat,” ucap wanita itu menebak, dia belum siap jika mertuanya bertanya. Tak lupa dia juga memoles tipis wajahnya dengan make up. Jangan sampai terlihat pucat dan membuat kedua mertuanya khawatir.
“Asha, mau berapa lama kamu di dalam sana?” tanya suara Aji dari luar.
“Sebentar, Mas!” teriak Asha, kemudian melanjutkan memoles lipstik di bibirnya.
Dengan terburu-buru dia mengambil tasnya yang berisikan ponsel dan dompet, kemudian keluar dari kamar.
“Maaf, Mas sudah nunggu lama?” tanya Asha saat menemukan Aji yang duduk di sofa.
Aji merasa kesal, mengalihkan tatapannya dari ponsel. Dia akan berbicara, tapi segera dia urungkan dan membuang wajahnya ke arah lain.
“Ayo cepat pergi!” ucap Aji. Langkah kaki Asha mengikuti sang suami keluar dari apartemen.
Mobil melaju di jalanan yang dingin, sedikit gerimis turun di malam ini. Beberapa kendaraan melaju bersamaan dengan mereka. Asha menatap ke luar, sangat membosankan perjalanan ini. Apa lagi Aji tidak mengajaknya berbicara sama sekali.
Di lampu merah, mobil berhenti. Asha menatap seseorang yang masih berdiri di sana di belakang gerobaknya. Aji melirik ke arah tangan Asha yang mengelus lembut perutnya.
“Kalau kamu mau beli, beli saja,” ucap laki-laki itu sambil membuka jendela mobil di samping Asha.
“Nggak, Mas. Kita akan makan malam di rumah Mama. Aku takut nggak bisa makan banyak di sana. Bukankah kalau aku nggak bisa makan banyak Mama akan khawatir?” tanya Asha sambil tersenyum sehingga matanya menyipit.
Aji berdecak kesal, kemudian kembali menutup kaca jendela dan mobil melaju saat lampu sudah berubah hijau. Sebenarnya Asha ingin, tapi entah kenapa dia berharap jika Aji yang akan membelikan makanan itu untuknya.
‘Apa yang aku harapkan? Ingat Asha, jangan terlalu banyak mengharap!’ ujar wanita itu di dalam hatinya.
Rumah mewah bercat putih sudah tampak, mobil yang membawa Aji mulai memasuki gerbang. Aji dan Asha langsung masuk ke dalam rumah.
“Kalian sudah datang?” sapa Tia dengan senyum mengembang di bibirnya. Gegas wanita paruh baya itu menghampiri sang anak dan menantunya. Pelukan dan ciuman di pipi dia berikan pada Asha sementara Aji hanya melihat interaksi ibunya dan Asha dengan diam.
“Ayo masuk. Mama sudah masak yang banyak. Tamu kita juga sudah datang dan menunggu,” ujar wanita itu.
Asha tentu saja bingung, menatap Aji yang tadi hanya mengatakan akan makan malam di sini saja.
“Tamu siapa?” tanya Aji.
Tia tersenyum. “Kamu akan tahu nanti. Kamu pasti akan senang ketemu sama dia. Ayo!”
Aji menjadi penasaran, begitu juga dengan Asha yang kini Tia tarik tangannya dan langsung menuju ke arah ruang makan. Seorang wanita tampak berada di sana, tengah membantu asisten menatap piring di atas meja.
“Naura, Aji sudah datang!” seru Tia.
Aji terkejut dan tersenyum melihat sahabatnya yang tak ia sangka ada di sini. Berbeda dengan Naura yang terpaku melihat seorang wanita cantik kini tersenyum dan mendekati Aji, memeluk laki-laki itu tanpa ragu sama sekali. Sebenarnya Aji merasa risih, tetapi tidak enak juga jika menolaknya. Ada rasa panas di dalam hati Asha saat ini.
“Ini ... siapa?” tanya Naura saat melihat Asha di samping Tia. Naura menatap Asha dari atas hingga ke bawah. Cantik sekali meskipun dengan wajah terpoles make up tipis.
“Ini istri Aji. Kamu belum pernah ketemu ‘kan sama menantu Tante?” ujar Tia menjelaskan. Dua wanita itu bersalaman dengan masing-masing menyiratkan senyum tipis penuh kekecewaan.
Naura terkejut dan tak menyangka jika Aji sudah beristri, dia tidak mendapatkan kabar berita itu sama sekali.
“Oh, aku nggak tau. Kalian tidak memberi tau aku,” ucap Naura sambil tersenyum membuat Tia tak enak hati.
“Waktu itu kamu lagi sibuk-sibuknya. Sekarang karena sudah hadir semua, ayo kita mulai makan malam!” ajak Tia memecah kecanggungan.
Mereka duduk di tempatnya masing-masing, pun dengan Harto yang baru saja pulang ikut bergabung dengan mereka di meja makan.
“Ah, makanan ini sangat enak sekali. Tante memang jago sekali makan!” ujar Naura menikmati makanan yang ada di depannya.
Tia pun senang mendengar pujian itu. “Kalau begitu kamu makanlah yang banyak.”
Tia bangun dari duduknya dan mengambilkan makanan kesukaan Naura, menyimpannya di atas piring wanita muda itu. “Makan yang banyak. Tante memang sengaja memasak makanan ini karena kamu akan datang. Kamu masih suka makanan Indonesia, kan?” tanya Tia.
“Masih dong. Apa lagi makanan yang Tante masak. Kayaknya aku bisa makan sampai tiga piring,” ujar wanita itu. Harto tersenyum senang, seakan dia juga memiliki anak perempuan saat Naura datang.
“Masakan istriku memang sangat enak. Kamu rugi kalau nggak habiskan,” ujar laki-laki itu. Naura tertawa dan menyetujui perkataan Harto.
Asha melihat itu, dia merasa tercubit saat melihat kedekatan antara Naura dan kedua mertuanya. Iri? Ya, ini yang dia rasakan saat ini. Rasanya bukan hanya perlakuannya pada mertuanya saja yang dia tak rela, tatapan Naura pada suaminya juga terasa aneh baginya. Begitu juga dengan Aji, tampak laki-laki itu tak keberatan sama sekali saat gadis itu menuangkan air di gelasnya.
Naura tersenyum tipis hampir tak terlihat saat melirik Asha yang berwajah kecut. ‘Ini baru permulaan, Teman. Aku akan pastikan jika Aji juga akan melirikku!’
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments