“Malam ini kalian akan menginap di sini, kan? Naura juga malam ini akan tidur di sini. Mama sangat khawatir kalau Naura pulang ke rumah sementara mama dan papanya sedang ada di luar kota,” ujar Tia mengelus lengan Naura.
Asha yang mendengar itu tersedak, dengan cepat mengambil minuman yang ada di sampingnya dan meneguknya. Dilihatnya Aji kemudian Naura, tampak wanita itu tersenyum pada sang suami.
“Ah, aku nggak apa-apa di rumah sendirian, Tante. Lagi pula ada asisten di rumah. Aku juga nggak enak sama Aji dan juga Asha,” ujar wanita itu menolak.
“Ah, nggak apa-apa. Mereka sudah punya dunianya sendiri. Nggak akan terganggu dengan kehadiran kamu. Tante masih pengen banyak cerita sama kamu, Ra. Sudah berapa lama ya kita nggak ketemu?” ujar Tia dengan riang gembira. Tidak dia sadari dengan tatapan penuh kekecewaan dari sang menantu.
“Em ... ya, oke lah. Tapi kita nggak akan sekamar, kan? Aku bisa diprotes Om nanti,” ujar Naura sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil.
“Nggak dong, kamu di kamar atas. Di tempat biasanya, Tante sudah suruh bibi buat beresin kamar atas,” ucap Tia. Asha memilih menundukkan kepalanya, dia tidak ingin Tia melihat kekecewaan di dalam hatinya. Akan tetapi, Aji melirik Asha sekilas dan kemudian menghabiskan makanannya.
“Aku nggak bisa, Ma. Maaf,” ucap Aji tiba-tiba membuat semua orang menolehkan kepala.
“Loh, kenapa?” tanya Tia.
“Banyak kerjaan yang harus aku lakukan. Kami nggak bisa tidur di sini malam ini. Lain kali saja,” ujar laki-laki itu.
“Nggak. Nggak mau lain kali. Lagian kamu kan juga sudah lama nggak datang ke sini semenjak menikah, jadi kalian nggak boleh nolak. Kalian harus bermalam di sini. Asha juga bisa kenal dekat dengan sahabat kamu, Aji. Memangnya kamu nggak kasihan sama Mama dan juga Naura yang sudah menyempatkan waktu datang ke sini? Kapan lagi dia ada di tanah air?” Tia berusaha membujuk anaknya dengan susah payah sehingga Aji dan Asha tidak bisa menolak permintaan orang tuanya itu.
Waktu yang membosankan bagi Asha saat ini adalah waktu mereka duduk bersama satu keluarga dengan Naura di antara mereka. Tia tak henti berbicara menanyakan ini dan itu padanya. Tampak dua orang itu berbicara dan tenggelam dengan dunianya sendiri.
‘Cantik sekali dia,’ gumam Asha di dalam hatinya. Ada satu kekhawatiran yang ada di dalam hati dan juga pikirannya kini. Aji dan juga Asha tampak begitu dekat. Meski mereka bersahabat, tapi rasanya membuatnya tak nyaman dengan kedekatan mereka.
“Asha, kamu jangan cemburu ya sama Naura, dia dan Aji sudah bersahabat sejak kecil. Dulu mereka main bersama, tidur bersama, bahkan mandi juga bersama. Lucu sekali mereka saat dulu,” ucap Tia. Asha tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Iya, bahkan kami juga berdandan layaknya pengantin dulu. Aku ingat saat Aji nggak mau waktu jadi pengantin pria dan aku menangis.” Naura tertawa keras, pun dengan Tia yang sama mengenang masa lalunya.
“Iya. Akhirnya Mama paksa, jadi Aji menurut saja meskipun wajahnya cemberut, tapi saat di foto dia malah bergaya!” Tia menambahkan.
“Ma. Nggak usah Mama bahas soal dulu,” tegur Aji malu.
“Nggak apa-apa lah, Ji. Asha harus tau kedekatan kalian biar nggak terjadi fitnah atau salah paham.”
Asha tak tahan, panas dadanya. Namun, dia berusaha untuk diam sampai Aji membawanya pergi dari sana. Akan tetapi, tampaknya laki-laki itu tidak ingin pergi sama sekali meski dia hanya memainkan ponsel di tangan.
“Sepertinya Asha sudah mengantuk. Kalau kalian mau pergi ke kamar duluan tidak apa-apa,” ujar Naura.
“Ya, tentu saja. Kalau kalian sudah mengantuk pergi ke kamar kalian. Kami masih ingin berbicara banyak,” ujar Tia.
Asha bisa bernapas dengan lega saat Aji bangkit dari sana. Berbeda dengan laki-laki itu yang pergi tanpa pamit, Asha berpamitan pada kedua mertuanya. Kamar Aji cukup besar, cat abu putih di ruangan tersebut membuatnya khas menandakan jika itu adalah kamar laki-laki.
Asha sempat terdiam di depan pintu, dia bingung karena baru pertama kalinya tidur satu ruangan dengan Aji. Apa yang harus dia lakukan? Pasti akan canggung sekali. Tiba-tiba saja Aji mengambil bantal dan membawanya ke sofa panjang yang ada di ruangan itu.
“Tidurlah, sudah malam,” titah Aji.
Asha tersentak dan mengangkat kepalanya.
“Eh, kamu di kasur saja, biar aku yang di kursi,” ucap Asha sambil mendekat, tapi langkah Aji yang lebar membuatnya terlebih dulu sampai di sana dan segera membaringkan diri.
Aji tak menjawab, dia menggerakkan tubuhnya dan menghadap ke arah sandaran kursi dan segera menutup mata.
Asha menuruti kemauan Aji, segera membaringkan tubuhnya dengan nyaman di atas kasur. Dari sana Asha memperhatikan Aji, tampak suaminya itu tidak nyaman tidur di sana, bergerak-gerak seperti sedang mencari posisi yang nyaman.
“Mas, sudah tidur?” tanya Asha.
“Hem!” Aji berdehem menandakan jika dirinya belum tidur.
“Kamu bisa tidur di sini. Biar aku yang di sana. Aku lebih kecil dan muat di sana,” ucap Asha. Akan tetapi, Aji malah berbicara ketus terhadapnya tanpa membalikkan tubuhnya sama sekali.
“Tidur saja. Jangan banyak membantah! Jangan lupa, tolong matikan lampu,” ucap laki-laki itu, kemudian tak ada suara lagi yang terdengar. Aji memang tak merasa nyaman tidur di sofa, tapi tak mungkin bagi dirinya membiarkan Asha tidur di sana. Terbayang betapa tak nyaman bagi seorang ibu hamil tidur di tempat sempit seperti ini.
Asha turun dari kasur dan mematikan lampu utama dan menyalakan lampu kecil yang ada di sampingnya. Dia hanya diam dan menatap langit-langit kamar yang gelap. Lampu hias yang ada di sana tak bergerak sama sekali, terlihat cantik, tapi membosankan untuknya sehingga Asha lebih memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah jendela.
Di luar, bayangan daun tampak melambai-lambai dengan pelan, suara tawa masih terdengar dari lantai bawah meskipun jam sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Aji kembali bergerak, melipat kedua kakinya dan memeluk kedua tangannya seakan laki-laki itu tengah kedinginan. Di atasnya ada sebuah Ac yang menyala.
“Pantas Mas Aji nggak tenang tidurnya,” gumam Asha.
“Mas, kamu sudah tidur?” tanya wanita itu pelan. Jika Aji tidak tidur dia pasti akan menjawab seperti tadi, kan?
Dia berjalan dengan langkah yang sangat pelan menuju ke tempat Aji berada. Sedikit membungkukkan tubuhnya sehingga dia bisa melihat wajah Aji yang tenang. Matanya tertutup dengan sedikit terdengar gumaman di antara tidurnya.
Asha mengulurkan tangannya meraih remot yang ada di atas meja, angin dari AC keluar tepat di atas Aji. Gegas dia menurunkan volume AC tersebut dan mengambil selimut untuk menutupi tubuh Aji yang mungkin saja kedinginan. Dia kemudian kembali ke ranjang dan hanya bisa kembali menatap Aji yang tertidur dengan lelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments