Sudah hampir dua jam terlewati, Aji masih berkutat dengan pekerjaannya. Namun, tidak ada satu pun pekerjaan yang selesai. Hingga pintu ruangan kembali diketuk oleh Fandi dari luar, asisten itu pun segera masuk untuk menemui atasannya.
“Maaf, Pak. Detektif yang Anda minta sudah dapat, dia bilang akan bertemu dengan Anda setelah jam makan siang.”
“Baguslah, lebih cepat lebih baik. Jika dia sudah datang suruh langsung masuk ke ruangan saya.”
“Baik, Pak. Saya hanya menyampaikan itu saja, saya permisi,” Ivan segera keluar dari ruang, sementara Aji mengeluarkan berkas yang ada di dalam tasnya.
Semalam pria itu memang sudah menyiapkan semuanya. Dia ingin mencari tahu sendiri masa lalu sang istri. Jika Asha tidak bisa memberikan jawaban mengenai siapa ayah dari bayi yang dikandungnya, maka Aji sendirian akan menjadi tahu. Tidak sulit baginya untuk mencari tahunya, sekarang banyak sekali cara dan pria itu yakin kali ini akan berhasil.
Jam makan siang telah terlewati, orang yang ditunggu oleh Aji akhirnya datang. Dia masuk bersama dengan Fandi yang segera keluar begitu saja. Asisten itu tidak ingin dianggap terlalu lancang dan selalu ikut campur dalam urusan atasannya.
“Selamat siang, Pak,” sapa Wildan—detektif yang disewa Aji.
“Selamat siang, silakan duduk.”
Aji mempersilakan Wildan duduk di sofa yang ada di ruangan itu, keduanya berbincang sejenak. Dia ingin juga menanyakan beberapa hal tentang pekerjaan pria di depannya. Aji bertanya dalam hati apakah pilihannya benar atau tidak memilih Wildan sebagai orang kepercayaan.
“Oh, jadi Anda meminta saya untuk menyelidiki seseorang?” tanya Wildan membuat Aji tersenyum sambil mengangguk.
Dari pembicaraan pria di depannya saja Wildan sudah bisa menyimpulkan hal itu. Aji semakin yakin menyerahkan semuanya pada Wildan.
“Benar. Tunggu sebentar saya akan mengambil berkasnya dulu.”
Aji berjalan ke arah meja kerjanya dan mengambil berkas di sana, kemudian menyerahkan kepada Wildan. “Itu adalah profil orang yang harus Anda cari tahu tentang masa lalunya, tentang keluarganya dan juga tentang mantan kekasihnya. Apa saja yang sudah dilalui selama ini.”
Wildan membuka berkas tersebut, ternyata isinya sebuah foto dan juga profilnya. Dia menganggukkan kepala dan berkata, “Saya akan mencari tahu semua tentangnya, tapi kalau boleh saya tahu apa hubungannya dengan Anda? Saya tidak ingin terjerat kasus pidana yang akan menyulitkanku di kemudian hari jadi, saya harus tahu seluk-beluk hubungan Anda dengan wanita yang ada di foto ini.”
“Dia adalah istriku, hanya itu saja yang ingin aku katakan. Biar selengkapnya kamu mencari tahunya sendiri.”
Wildan mengangguk dan tidak bertanya lagi. Mereka adalah suami istri, tidak akan ada saling menuntut kali ini jika ada rahasia yang terbongkar. Bahkan mungkin jika ada sesuatu yang menyakitkan, pekerjaannya pun aman. Pria itu pun mengatakan pada kliennya berapa tarifnya sekali proses. Aji tidak keberatan berapa pun akan dia bayar, asalkan semuanya jelas. Keduanya berpisah setelah apa yang diinginkan Wildan sudah lengkap.
Sore hari saat pulang bekerja Aji mendapati sang istri sudah berada di ruang tamu. Wanita itu menyambut kedatangan suaminya dan mencium punggung tangan pria itu. Aji hanya diam, ingin mengelak pun rasanya tubuhnya sangat lelah. Seharian dia tidak bisa konsentrasi bekerja, sampai rumah pun harus melihat wajah wanita yang sangat dibenci. Namun, tidak bisa melepasnya begitu saja.
Asha bingung karena melihat sang suami yang tampak datar saja, tidak marah seperti biasanya. Dia pikir pria itu ada masalah dengan pekerjaan. Wanita itu pun tidak mau ambil pusing, dia berdoa agar suaminya bisa menerimanya. Namun, Asha tahu jika itu semua juga perlu waktu.
Sampai jam makan malam, Aji belum juga keluar dari kamarnya. Asha juga tidak mungkin naik ke lantai atas, bisa-bisa nanti sang suami akan lebih marah lagi. Dia hanya diberi kesempatan sehari sekali untuk naik dan membersihkan lantai dua. Itu pun saat Aji sudah tidak ada di sana. Wanita itu meraih ponselnya dan mengirim pesan pada sang suami untuk segera turun karena sudah waktunya makan malam.
Namun, pesannya hanya dibaca tanpa berniat untuk membalasnya. Hingga lima menit berlalu Aji tak juga turun. Asha kembali mengirim pesan dengan bernada ancaman. Jika pria itu belum turun juga maka dirinya yang akan naik ke lantai atas dan mengetuk pintunya. Wanita itu bersyukur setelah dua menit suaminya datang dengan wajah datarnya.
Asha tidak keberatan dengan apa pun yang dilakukan Aji. Bisa makan malam bersama itu sudah cukup, tidak peduli apa yang dirasakan oleh seorang suami. Baru sesuai nasi yang masuk ke dalam mulutnya, pria itu segera memuntahkannya.
“Makanan apa yang kamu masak ini? Kamu sengaja ingin meracuniku! Sudah kubilang kamu tidak usah masak! Aku bisa membeli makanan di luar sana, yang jauh lebih enak daripada makanan sampah ini!” teriak Aji hingga suaranya menggelegar memenuhi apartemen ini.
Asha begitu terkejut saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang suami. Sejak hari pernikahan itu baru kali ini dia melihat kemarahan yang begitu besar di wajah sang suami. Wanita itu hanya bisa menundukkan kepala dengan mata berkaca-kaca. Sebentar lagi air mata ini akan jatuh. Namun, sebisa mungkin Asha menahannya.
Wanita itu tidak ingin terlihat lemah di depan sang suami, dia tidak masalah dengan perlakuan Aji seperti ini. Meskipun sebelumnya sudah Asha pikiran, hanya saja tidak menyangka akan semenyakitkan ini. Pria di depannya ini tampak seperti orang lain, bukan suami yang dia kenal beberapa hari ini.
“Maaf, Mas. Nanti akan aku perbaiki.”
“Tidak perlu, lebih baik aku makan di luar saja daripada menjadi korbanmu,” sahut Aji ketus.
“Itu tidak akan terjadi, aku sudah sangat berhati-hati. Lagi pula ini rasanya enak, seperti yang aku masak biasanya.”
“Kamu kalau diajak bicara selalu saja ngeles, pokoknya aku tidak mau lagi makan di rumah ini, terutama masakan kamu!”
“Tapi, Mas, kamu sudah berjanji akan mau makan apa pun masakanku.” Asha mencoba membela diri dengan menahan tangisnya.
“Iya, itu benar, tapi tidak harus diberi makanan beracun seperti ini!”
Asha pun terdiam, dia tidak lagi menyela apa yang dikatakan suaminya. Lagi pula dia tahu jika Aji hanya cari alasan saja. Wanita itu sudah mencicipinya dan tidak masalah, tiba2 saja sekarang sang suami marah. Sekeras apa pun usahanya untuk menjelaskan, tetap saja pria itu tidak akan percaya. Aji bangun dari duduknya, dia ingin kembali ke kamar. Namun, tiba-tiba Asha menghentikannya.
“Mas, kamu mau ke mana? Makanan kamu masih sangat banyak, apa kamu tidak ingat kalau membuang makanan itu mubazir!”
“Kalau begitu kamu makan saja sendiri, siapa juga yang mau makan makanan tidak enak seperti itu,” sahut Aji dengan nada sinis yang kemudian melanjutkan langkahnya. Dia tidak peduli lagi dengan perasaan Asha, terserah wanita itu mau melakukan apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments