“Haduh! Mentang-mentang pengantin baru, lama sekali di kamar. Ngapain aja, sih! Kita semua sampai kelaparan nunggu di sini,” goda Mama Tia sambil memandang anak dan menantunya.
Para orang tua yang sedang menunggu pun jadi terkekeh mendengarnya. Kedua pasangan pengantin baru itu hanya tersenyum malu. Aji menarik kursi untuk sang istri, dia pun ikut duduk di sampingnya. Sebisa mungkin pria itu berusaha bersikap manis di depan seluruh keluarga. Dalam hati Aji merasa sangat bersalah pada keluarganya, tetapi tidak punya pilihan lain. Ini semua juga demi kebaikan keluarga, terutama sang mama.
Aji masih sangat ingat satu tahun yang lalu penyakit jantung mamanya kambuh, hanya karena mendengar berita yang tidak benar mengenai adiknya. Saat itu dokter sudah memperingatkan jika Mama Tia tidak boleh terlalu banyak berpikir. Keluarga juga diminta untuk menjaga agar pasien tidak mendengar berita yang mengejutkan.
Jika dirinya dan Asha berpisah, entah apa yang terjadi pada Mama Tia. Apa juga kata masyarakat, terutama keluarga besar mamanya yang selalu mengutamakan harga diri. Pasti mereka tidak hentinya mencibir. Aji tidak bisa membayangkan betapa sedihnya perasaan sang mama.
Mama Nisa yang melihat perhatian Aji pun merasa begitu bahagia karena Asha begitu dicintai oleh sang menantu. Padahal mereka menikah karena perjodohan. Memang pilihannya tidak akan pernah salah, apalagi keluarga pria itu juga termasuk orang yang baik. Tanpa wanita itu tahu bagaimana rumah tangga yang akan dihadapi oleh anaknya setelah ini. Apalagi Asha juga bukan orang yang suka mengadu.
“Mama apaan sih! Jangan godain kami? Lihat wajah istriku sudah memerah,” sahut Aji yang disengaja. Dia hanya ingin menciptakan kesan pertama yang baik di depan para orang tua.
Padahal wajah Asha tidak memerah, melainkan sembab karena terlalu lama menangis, sekarang berusaha ditutupi dengan make up. Namun, tetap saja terlihat berbeda dari biasanya.
“Kamu mau pesan apa, Sayang?” tanya Mama Tia sambil menyerahkan buku menu pada menatunya.
“Terserah saja, Ma. Aku juga tidak pilih-pilih soal makanan,” jawab Asha dengan tersenyum.
Untung saja di kehamilannya kali ini tidak seperti wanita hamil lainnya, yang akan mengalami morning sick. Bahkan sampai tubuhnya terlihat lemah. Memang indra perciumannya semakin tajam. Namun, dia masih bisa mengkonsumsi makanan apa pun asalkan halal. Jika tidak, pasti rencana yang sudah wanita itu susun pasti akan hancur begitu saja.
Mereka semua pun memesan makanan masing-masing. Asha sendiri menyerahkan menu pilihannya pada sang suami. Dirinya saat ini juga sedang tidak berselera. Sekalipun memilih juga pasti rasanya akan terasa hambar di mulutnya. Pelayan tadi pamit dan meminta mereka bersabar sebentar. Sambil menunggu pesanan datang, mereka pun kembali berbincang.
Hingga akhirnya Mama Tia memberi wejangan pada pasangan pengantin. “Kalian berdua sudah resmi sebagai suami istri. Kami harap apa pun masalah yang kalian hadapi selesaikan dengan kepala dingin.”
“Iya, Ma. Terima kasih nasihatnya,” sahut Asha dengan mata berkaca-kaca.
“Setelah ini kalian langsung pulang ke rumah Mama atau mau di sini dulu?”
Aji melirik ke arah istrinya sejenak, kemudian berkata pada keluarganya. “Pa, Ma, kami berdua sudah memutuskan untuk tinggal di apartemen. Aku sudah membelinya kemarin, tempatnya juga lebih dekat dengan perusahaan. Kami hanya ingin menikmati waktu bersama. Aku harap Papa dan Mama sekalian mengerti.”
Para orang tua tampak heran karena sebelumnya Aji sudah setuju untuk tinggal di rumah keluarganya, tetapi sekarang malah berbeda dari rencana sebelumnya. Pria itu juga pernah mengatakan apa pun sampai kemarin, kenapa jadi berubah mendadak tanpa berunding lebih dulu. Mereka juga tidak setuju jika harus melepas anaknya begitu saja.
“Kenapa begitu? Sebelum kalian menikah kita semua sudah sepakat kalau kalian akan tinggal di rumah Mama. Kalau kalian tinggal di apartemen, nanti kalau kamu kerja istrimu akan sendiri di sana. Pasti dia akan bosan kalau tinggal sama kita ‘kan pasti ada temannya,” sahut Mama Tia yang tidak setuju dengan apa yang dikatakan putranya.
Dia sudah menunggu pernikahan ini sejak lama agar bisa pergi dengan sang menantu kapan pun kalau dia mau. Sedari dulu wanita itu selalu membayangkan bagaimana bisa pergi dengan sang menantu. Mama Tia juga sudah menyayangi Asha karena kelembutannya, bagaimana bisa mereka harus terpisah sekarang.
Mama Tia memang memiliki anak perempuan yang bernama Dira, hanya saja tidak pernah di rumah dan sekarang kuliah di luar negeri. Bahkan saat pernikahan Aji kemarin dia tidak datang. Terkadang wanita itu kesal pada putrinya yang tidak menganggap keberadaannya, tetapi mau bagaimana lagi, percuma juga Mama Tia mengomel jika tidak ditanggapi. Dira juga sangat sibuk dengan sekolahnya.
Sama halnya dengan Mama Tia, Mama Nisa—mama Asha—juga memiliki dua anak. Yang berbeda keduanya perempuan. Asha memiliki adik yang masih sekolah SMA. Kemarin dia hanya datang di acara resepsi dan langsung pulang di malam hari karena hari ini sekolah. Sebagai keluarga terpandang, tentu saja mereka sangat memanjakan anak-anaknya. Apa pun pasti akan dipenuhi asal masih dalam batas wajar.
“Kalau memang tidak mau di rumah Mama Tia, di rumah Mama Nisa juga tidak apa-apa, yang penting kalian ada temannya, ada yang mengawasi juga,” timpal Mama Nisa yang diangguki Mama Tia.
“Ma, kami bukan anak kecil lagi, tolong izinkan kami untuk mandiri. Aku menikah bukan untuk menyusahkan kalian, tapi ingin mandiri. Kami juga ingin menyatukan perbedaan yang ada dalam diri kami. Biarkan kami menikmati hari-hari dan perkenalan ini.”
Aji masih mencoba untuk membujuk para orang tua. Meskipun itu tidak akan mudah, sementara Asha hanya diam menunduk. Sejujurnya dia juga sangat ingin tinggal bersama dengan keluarganya karena dia sangat tahu, kalau Aji pastinya tidak akan bisa menyayanginya. Namun, setelah dipikirkan kembali jika dia tinggal bersama kedua orang tuanya, pasti mereka akan tahu rahasia yang wanita itu sembunyikan. Mungkin inilah yang terbaik untuk mereka.
Papa Harto dan Papa Roni hanya diam, keduanya tidak keberatan anak dan menantunya mau tinggal di mana. Mereka mengerti perasaan Aji dan Asha yang tidak ingin diganggu. Kedua pria itu pun tidak akan memaksakan keinginan pada anak-anak. Pasangan pengantin baru itu juga pasti sudah memikirkan apa yang terjadi ke depannya.
Pembicaraan mereka terjeda dengan kedatangan pelayan yang menghidangkan pesanan. Belum ada yang berselera makan karena perdebatan tadi.
“Ma, sudahlah biarkan mereka mandiri. Biarkan mereka menikmati masa pengantin baru. Mama seharusnya mendukung mereka, bukan malah menentang,” ucap Pak Harto membuat Mama Tia mendengus kesal karena sang suami memang selalu seperti itu.
“Kenapa Papa malah mendukung mereka? Seharusnya Papa itu mendukung kami, pokoknya Mama tidak akan setuju kalau kalian tinggal di apartemen. Tempat itu sangat sempit lagi pula tempatnya pasti kurang nyaman.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments
Hasrie Bakrie
Next
2023-04-20
0