Di dalam kamar Asha masih duduk di tepi ranjang, merenungi nasib yang sudah membawanya sejauh ini. Dia sungguh beruntung karena memiliki suami seperti Aji. Meskipun wanita itu tahu hanya untuk sementara, setidaknya akan ada pria itu yang bertanggung jawab untuk anaknya. Asha berjanji saat waktunya tiba dia akan benar-benar pergi dari kehidupannya, tetapi sebelum itu terjadi, wanita itu akan mengabdikan seluruh hidupnya pada sang suami.
Anggap saja sebagai bayaran untuk Aji karena sudah mau memberikan nama untuk ditulis dalam akta kelahiran anaknya. Jika itu orang lain sudah pasti akan menolak begitu saja, tanpa pertimbangan yang matang. Meskipun Asha tahu jika pria itu terpaksa, setidaknya sang suami masih memiliki hati peduli dengan orang lain. Dia juga merasa bersalah karena harus menggunakan nama kedua mertuanya.
Wanita itu meyakini jika Aji adalah orang yang baik, tidak akan membiarkan orang lain menderita. Bagi Asha itu saja sudah cukup, dia ingin di kemudian hari anaknya memiliki sikap seperti Aji, bertanggung jawab dan mau menolong sesama. Wanita itu merasakan tubuhnya begitu lelah, Asha pun membaringkan tubuhnya di ranjang. Semalam dia tidak bisa tidur dan sekarang benar-benar mengantuk.
Hingga akhirnya dia benar-benar terbang dalam mimpi, sementara Aji yang berada di kamar masih memikirkan jalan yang diambil. Apakah ini benar atau tidak. Namun, semakin dipikirkan justru semakin menambah sakit kepala. Pria itu memang benar-benar tidak punya pilihan lain, Aji pun segera membuat surat perjanjian pernikahan sesuai apa yang dia katakan pada Asha saat di hotel.
Satu persatu poin dia tulis di sana tanpa terlewat satu pun. Tidak lupa juga poin dari sang istri kemarin, memang bukan sesuatu yang sulit, tetapi tetap susah melaksanakannya. Setiap kali Aji bertatapan dengan Asha, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Satu sisi pria itu merasa sakit hati, di sisi lain ada perasaan damai yang dihadirkan sang istri.
***
Keesokan paginya Asha bangun pagi-pagi sekali. Setelah salat subuh wanita itu sudah sibuk di dapur. Untung saja kemarin Aji sudah membeli banyak bahan makanan jadi, dia tidak perlu repot masak apa hari ini. Pergerakan tangan wanita itu terlihat begitu lincah.
Bagi orang yang mengenal Asha pasti tidak menyangka jika dia sangat pandai memasak. Dilihat dari wajahnya saja terlihat seperti anak yang manja, apalagi keluarganya yang sangat kaya, pasti semua kebutuhan juga sudah terpenuhi. Namun, siapa sangka Jika di rumah wanita itu selalu memasak bersama dengan mamanya. Asisten rumah tangga di rumah hanya untuk membersihkan rumah saja. Urusan dapur semua Mama Nisa yang mengurus.
Hal tersebut membuat Asha akhirnya tertarik dan ingin membantu sang mama. Sudah menjadi kebiasaannya membuat wanita itu sangat terampil memasak. Aji yang baru bangun pun mencium aroma yang begitu sedap, hingga tanpa sadar kakinya melangkah ke arah dapur. Dia melihat sang istri sedang sibuk di sana. Pria itu hanya diam menatapnya dari kejauhan.
Dalam hati Aji berkata, andai saja Asha tidak pernah melakukan kesalahan, pasti saat ini dirinya begitu bahagia karena memiliki istri yang mau repot dengan urusan dapur. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur, apa yang sudah menjadi harapan ternyata semua berbanding terbalik. Istri yang sangat dia inginkan nyatanya tidak sebaik yang pria itu kira. Sampai saat ini pun Aji sangat penasaran, laki-laki seperti apa yang Asha lindungi.
Sungguh beruntung sekali laki-laki itu yang sudah memiliki hati Asha seutuhnya. Bukan seperti dirinya yang hanya menjadi pelarian dan akan dijadikan tumbal tanggung jawab, perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Bolehkah Aji cemburu padanya, melihat saja belum pernah. Bahkan pria itu tidak tahu apa-apa tentang masa lalu istrinya.
“Mas, kamu sudah bangun? Apa kamu sudah lapar? Masakan belum selesai, ini tinggal sedikit lagi,” ucap Asha saat melihat keberadaan sang suami.
Aji yang sedang melamun pun seketika menjadi kesal saat mendengar suara wanita itu. Dia pun menatap sinis ke arah sang istri. “Aku tidak lapar, lebih baik kamu tidak usah masak. Aku juga tidak akan memakannya.”
Aji berbalik arah ingin kembali ke lantai atas. Namun, tiba-tiba suara Asha memberhentikannya. “Tapi, Mas, bukankah kemarin kamu sudah berjanji kalau kamu akan menghargaiku? Kamu harus makan apa yang aku masak dan membiarkan aku melakukan semua tugasku. Kamu masih ingat janji itu, kan?”
Seketika Aji terdiam merutuki kesalahannya karena menyetujui begitu saja apa yang dikatakan Asha kemarin. Namun, sekarang saat dirinya benar-benar tidak ingin melihat wajah Asha, justru dirinya harus menghargai wanita itu. Mau tidak mau akhirnya menerimanya.
“Siapkan saja makanannya, nanti juga aku akan makan,” ucap Aji yang kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.
Asha sendiri menghela napas lega, dia tahu saat ini Aji masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Dirinyalah yang akan berusaha untuk membuat pria itu terbiasa dengan keberadaannya. Asha berharap bisa meluluhkan hati Aji dan membuat pernikahan ini menjadi pernikahan yang sempurna dan terakhir. Kalaupun tidak bisa, dia tidak akan pernah menyesal.
Setidaknya dia pernah hidup bersama dengan pria sebaik Aji. Wanita itu melanjutkan memasak, sedangkan Aji yang berada di kamar merasa sangat kesal. Dia harus menuruti permintaan sang istri, tetapi mau bagaimana lagi karena dirinya juga sudah berjanji. Pria itu pun memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, barulah turun dengan membawa berkas yang sudah dia buat semalam, surat perjanjian pernikahan antara dirinya dan Asha.
“Bacalah! Jika ada sesuatu yang kurang katakan saja, aku akan menambahkannya,” ucap Aji sambil menyerahkan sebuah map ke depan istrinya.
Seketika Asha tertegun, secepat itukah sang suami membuat surat perjanjian. Namun, dia tidak bisa protes karena memang inilah keinginannya sejak awal. Setidaknya wanita itu bisa bertahan untuk beberapa saat. Mengenai masa depan dirinya dan sang buah hati, biar waktu yang menjawabnya. Selain itu Asha juga harus mengumpulkan uang untuk masa depannya.
Wanita itu menatap sang suami dan memberanikan diri untuk berkata, “Mas, aku ada syarat lagi.”
Aji mengerutkan keningnya dan menatap istrinya. Dia tidak percaya jika Asha masih bisa mengajukan syarat disaat posisinya yang berada di tempat untuk tidak mengeluarkan pendapat. Namun, pria itu juga penasaran syarat apa yang ingin diajukan sang istri.
“Apa?”
“Aku ingin kamu tetap memperbolehkan aku untuk bekerja.”
“Bukankah sebelumnya kamu tidak bekerja? Kalau aku mengizinkanmu, apa kata orang tuamu? Mereka akan menganggap aku tidak becus untuk menjadi suami!”
“Aku akan memberi pengertian pada mereka, kalau semua murni keinginanku. Aku tidak mungkin tergantung selamanya padamu. Saat aku nanti berpisah, setidaknya aku memiliki pegangan untuk bertahan.”
Aji tersenyum sinis. “Ternyata kamu sudah berpikir sejauh itu, tapi kamu tenang saja, apa yang kamu lakukan di rumah ini anggap saja sebagai pekerjaan. Aku akan menggajimu jadi, kamu tidak perlu khawatir.”
Aji meletakkan sebuah kartu kredit di atas meja dan kembali berkata, “Setiap bulan aku akan mengirim uang ke rekening itu. Itu adalah uang bulanan sekaligus gaji kamu selama berada di rumah ini jadi, kamu tidak perlu mencari pekerjaan di luar sana.”
Asha masih terdiam, menatap kartu tersebut, bukan ini yang dia maksud. Sepertinya Aji tengah salah paham. Namun, berdebat juga rasanya percuma karena seperti yang Aji katakan tadi, kedua orang tuanya pasti tidak akan membiarkan dirinya bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments