Dering suara telepon terdengar dengan sangat nyaring, Aji menatap ponsel yang tersimpan di atas meja kerjanya. Nama yang tertera di sana adalah seseorang yang dia harap bisa membantunya untuk menyelesaikan semua masalahnya.
“Baik. Saya akan pergi ke sana secepatnya,” ucap Aji di akhir kalimat sebelum menutup teleponnya.
Pria itu menatap jendela, langit sudah cerah di luaran dengan awan putih yang menggantung di sana. Akan tetapi, berbalik dengan hatinya yang kini suram. Entah bagaimana masa depan pernikahannya bersama dengan Asha.
Helaan napas terdengar beberapa kali di bawah hidungnya, sebelum dia memutuskan untuk bangkit dari kursi dan pergi dari ruangannya. Jalanan tak terlalu padat siang ini saat Aji pergi menuju ke tempat di mana dirinya menaruh harapan besarnya pada orang itu.
“Selamat datang, Pak Aji.” Laki-laki bernama Wildan berdiri dan menyambut kedatangan Aji yang menjadi kliennya. Aji membalas sodoran tangan dari laki-laki tersebut.
“Silakan duduk, Pak,” ujar laki-laki itu mempersilakan.
“Bagaimana perkembangannya. Kamu sudah menemukan titik terang?” tanya Aji ingin tahu kejelasannya.
“Maafkan saya, Pak Aji. Semua sudah ada dalam dokumen ini, dari saat Bu Asha masih kecil hingga dewasa. Identitas mantan kekasih Bu Asha juga ada di sana, juga beberapa pria yang sempat dekat dengan Bu Asha, tapi saya tidak bisa menemukan mantan kekasih Bu Asha.” Wildan menyodorkan Berkas yang begitu tebal pada Aji.
Aji mengambil dokumen tersebut dan membukanya. Dia terpana saat melihat gambar seseorang yang ada di sana. Seorang laki-laki yang sangat tampan, pantas saja jika Asha terbuai olehnya. Dia mulai membaca apa yang tertulis di atas kertas, identitas laki-laki itu dan segala macam tentangnya.
“Baik. Ini sudah cukup untuk saya. Sisanya akan saya cari sendiri. Terima kasih, Pak Wildan,” ucap Aji.
“Sama-sama, Pak. Jika Anda menginginkan bantuan saya yang lain, saya akan membantu sebisa saya,” ucap laki-laki itu lagi.
Aji masih menatap foto yang ada di sana, akhirnya dia berpamitan dari sana untuk kembali ke kantornya. Andai pria itu tidak memiliki urusan penting setelah ini, tentu saja hari ini juga Aji akan mendatangi alamat tersebut untuk mencari keberadaan laki-laki itu dan menyeretnya ke hadapan sang istri.
Aji mengendurkan pegangan tangannya pada kemudi, dia menarik napasnya dengan perlahan dan mengembuskannya. Perjalanan kembali dia lakukan menuju kantor.
Sore telah tiba, Aji baru saja sampai di apartemen. Asha dengan segera berdiri saat mendengar suara pintu terbuka dan menyambut kedatangan sang suami.
“Mas, sudah pulang?” ucap wanita itu seraya menadahkan tangannya. Akan tetapi, Aji hanya melewatinya dan tidak meliriknya sama sekali. Sakit hati Asha mendapatkan perlakuan semacam itu dari Aji, tapi wanita itu sadar, hati Aji lebih sakit setelah apa yang dia lakukan terhadapnya.
“Mau aku buatkan kopi atau teh, Mas?” tanya Asha tak patah semangat. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang istri yang harus melayani suaminya.
“Terserah!” Satu jawaban yang membuat Asha tak ingin bertanya lagi.
Dia segera pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk sang suami. Andai saja dia bisa pergi ke kamar pria itu, pasti dirinya senang bisa melayani suami sepenuhnya. Aji yang berada di ruangan kerjanya tengah diam dan menatap kertas yang tadi dia terima.
“Cih! Laki-laki tidak tau diri!” ujar Aji kesal sembari menyimpan kertas tersebut ke atas meja kerjanya. Tepat saat itu terdengar suara ketukan di pintu.
“Mas, ini tehnya,” ucap suara Asha terdengar lembut dari luar ruangan. Aji segera menyimpan kertas itu ke dalam laci dan menguncinya di dalam sana.
“Ini tehnya, mau ditaruh di mana?” tanya Asha saat Aji baru saja menutup pintu ruangan kerjanya. Namun, lagi-lagi Aji mengabaikannya.
Asha menatap punggung Aji hingga laki-laki itu menghilang. Wanita itu pun terpaksa meletakkannya di ruang keluarga, berharap sang suami akan keluar setelah selesai mandi.
“Sampai kapan kamu mau seperti itu sama aku, Mas?”
Dua hari telah berlalu, saat Aji mendapatkan waktu yang longgar, dia memutuskan untuk pergi ke alamat yang didapat dari Wildan kemarin. Pria itu sudah mencatat alamat itu di dalam ponselnya. Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tersebut, apalagi di zaman sekarang teknologi semakin canggih. Dengan mudah dia bisa menemukannya.
“Siapa ya?” tanya seorang wanita tertegun saat melihat pria muda yang berdiri di ambang pintu rumahnya.
“Apakah benar di sini adalah rumah Arvin?” tanya Aji saat wanita paruh baya keluar dari rumah itu masih mengenakan celemek di depan tubuhnya. Mata wanita tersebut menatap Aji dari atas hingga ke bawah, setelan kemeja yang rapi dan sepatu berwarna hitam yang mengkilat membuat dadanya berdebar sedikit ketakutan.
“Iya, benar. Ada apa, ya?” tanyanya sambil mengelap tangannya yang tampak basah dengan celemek tersebut. Dalam hati dia takut jika laki-laki ini penagih utang atau pun yang lainnya.
“Saya teman Arvin. Saya ingin menanyakan sesuatu pada Anda.”
“Oh, teman. Mari silakan masuk! Maaf, rumahnya berantakan.” Aji mengikuti langkah wanita itu dan duduk di sofa usang yang ada di sana. “Ada urusan apa ya Bapak kemari?” tanyanya.
“Oh, tidak ada apa-apa. Arvin sudah banyak membantu saya selama ini, tapi saya tidak bisa menghubunginya beberapa bulan ini. Apakah dia ada masalah?” tanya Aji berbohong.
Wajah wanita itu berubah sendu, sorot matanya tampak layu. Dia menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Saya juga tidak tahu di mana dia berada, Pak. Sudah beberapa bulan dia pergi dan tidak ada kabar sama sekali.”
“Jadi Ibu tidak tahu di mana putra Ibu?” tanya Aji.
Wanita itu menggeleng lagi, mengusap basah pada sudut matanya. “Tidak. Jangankan tempat tinggalnya, apakah dia sehat atau sakit saya tidak tau bagaimana kabarnya sekarang ini,” ujar wanita itu dengan sendu.
“Oh, ternyata begitu, ya. Saya juga khawatir karena dia sudah beberapa bulan ini tidak bisa dihubungi. Semoga saja dia ada dalam keadaan yang baik. Oh ya, Bu. Boleh saya bertanya satu yang lain?’ tanya Aji, wanita itu menganggukkan kepalanya. “Bukankah Arvin sudah punya kekasih? Apakah sekiranya kekasih Arvin tahu di mana dia?” tanya Aji menyelidik. Namun, wanita itu lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
“Asha memang wanita yang baik. Dia cukup sering datang kemari, tapi akhir-akhir ini dia tidak pernah datang lagi. Saya juga tidak tahu apakah mereka pacaran atau tidak. Tapi dia wanita yang sangat baik sekali dan juga sangat cantik. Sayangnya saya tidak bertemu dengan dia lagi setelah Arvin pergi.”
Aji mendengarkan saat wanita itu memuji istrinya, kecantikannya, dan juga kebaikan wanita itu, membuat hawa panas tercipta di dalam hati Aji.
“Kalau begitu saya permisi, Bu. Saya juga akan mencari tau dan memberi kabar pada Ibu jika Arvin menghubungi saya nanti,” ucap Aji berpamitan.
“Iya, Nak. Ibu minta tolong ya, jika suatu saat nanti Arvin menghubungi, kasih tau Ibu,” mohon wanita itu. Aji hanya menganggukkan kepalanya, kemudian pergi dari rumah itu tanpa menoleh lagi.
Kembali pada mobilnya yang terparkir di tepi jalan kampung, Aji hanya bisa menatap rumah kecil yang tadi dia singgahi. Haruskah dia mencari tahu lebih banyak lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments
Hasrie Bakrie
Klo bisa Aji gali sampai ke akar-akarnya biar semuanya jelas
2023-04-20
1
Hafifah Hafifah
udah kepalang tanggung lw penasaran ya cari bukti lainnya ampe kamu puas dengan hasilnya
2023-04-15
1