Dave tidak habis pikir jika Jeremy tega membohongi Alula. Ia tahu jika Jeremy bukanlah tipe pria yang suka berbohong dan menyakiti hati pasangannya. Pasti ada sesuatu yang di luar kendali Jeremy hingga Jeremy terpaksa untuk berbohong pada Alula. Ya, pasti seperti itu.
"Aku yakin Jeremy memiliki alasannya sendiri, Lula. Sangat mustahil jika Jeremy membohongimu dengan sengaja," ujar Dave, berusaha membuat Alula agar tidak terlalu sedih. Ia tidak tega melihat Alula menangis sejak tadi.
Alula mengangguk. "Ya, mungkin begitu, tapi aku tidak ingin tahu apa alasan yang mendasari kebohongan itu keluar dari mulut Jeremy, karena apa pun alasannya sebuah kebohongan tidak pantas untuk dilakukan, Dav. Apalagi Jeremy sedang bersama wanita lain dan memilih untuk membohongiku demi wanita itu."
"Wanita itu bukan wanita lain, Alula, mereka berteman. Aku tahu siapa wanita itu, dia adalah Feli Maura, sahabat kami sejak dulu--"
"Kamu juga mengenalnya?" Alula memotong ucapan Dave.
Dave mengangguk. "Ya, aku mengenalnya, dia adalah Feli."
"Nama yang tidak asing. Kalau tidak salah Mama Bianca pernah mengatakan tentang wanita itu juga." Alula terlihat berpikir sejenak berusaha mengingat momen dimana nama itu menembus gendang telinganya, dan beberapa saat kemudian ia pun mendapatkan ingatan tersebut. "Feli Maura anak dari Pak Smith. Mereka dijodohkan, benar?"
Dave mengangguk. "Tidak benar-benar dijodohkan. Aku rasa Tante Bianca dan Tante Amara hanya iseng menjodohkan mereka berdua."
Alula semakin terisak. "Pantas saja mereka terlihat begitu dekat. Mereka sangat serasi."
Dave menghela napas, ia tidak menyangka jika ternyata menghadapi seorang wanita yang sedang sakit hati sangat sulit. "Jangan menangis lagi, Alula, semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Jika memang Jeremy setuju akan perjodohan itu, Jeremy pasti akan menikahi Feli, bukannya menikah denganmu," ujar Dave dengan sabar.
Alula diam saja. Ia tidak menanggapi ucapan Dave, baginya apa pun alasan Jeremy, tetap saja Jeremy tidak boleh membohonginya.
Dave melanjutkan perjalanan dalam diam, ia tidak lagi berusaha untuk menenangkan Alula yang sesekali masih terisak. Hingga setelah beberapa saat Dave memilih untuk berhenti di sebuah minimarket.
"Aku akan turun membeli air mineral, mau ikut?" tanya Dave, sambil mengulurkan tangan ke Alula.
Alula menggeleng. "Tidak," ujarnya, tanpa menatap Dave sama sekali. Ia sedikit kesal karena Dave terkena membela dan membenarkan kesalahan Jeremy.
Dave tersenyum melihat wajah cemberut Alula. "Oke, Tuan Putri, tunggu di sini, aku akan segera kembali."
Dave kemudian keluar dari dalam mobil dan melangkah tergesa-gesa menuju bagian dalam minimarket.
Sesampainya di dalam minimarket, Dave langsung menuju rak paling belakang agar tubuhnya tidak terlihat oleh Alula, lalu ia mengeluarkan ponsel dari dalam saku jasnya dan menghubungi Jeremy.
"Ya, halo, Dave." Suara Jeremy terdengar dari seberang panggilan, Dave bahkan dapat mendengar suara Feli juga yang sedang tertawa.
"Kamu masih bersama dengan Feli?" tanya Dave, tanpa berbasa-basi.
"Kenapa kamu bisa tahu kalau aku sedang bersama dengan Feli?"
Dave mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan, Jeremy, tapi kusarankan lekaslah pulang. Alula ada bersama denganku sekarang, dan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kamu sedang berada di restoran bersama dengan Feli, bukannya sedang rapat. Dasar bodoh!" Dave memutuskan panggilan, dan segera melangkah menuju kasir sambil membawa sebotol air mineral dan juga cokelat untuk Alula.
Sementara itu di Restoran Perancis, Jeremy langsung bangkit berdiri begitu Dave memutus panggilan teleponnya. Ia terlihat bingung dan panik, ia tidak tahu bagaimana bisa Alula sedang bersama dengan Dave sekarang ini, dan yang lebih parah lagi, Alula melihatnya bersama dengan Feli di restoran
"Aku harus segera pulang, Fel," ujar Jeremy pada Feli Maura.
Feli Maura terlihat bingung karena tiba-tiba saja Jeremy mengakhiri pertemuan mereka setelah menerima sebuah panggilan telepon. "Apa yang menelepon tadi itu istrimu? Dia memintamu untuk pulang?"
Jeremy menggeleng. "Bukan, yang barusan menelepon bukan istriku, tapi Dave." Jeremy menjawab singkat. "Sampai bertemu lain waktu, Fel, bye."
"Tapi ... Jeremy, Jeremy, kita baru bertemu, kenapa buru-buru pulang," teriak Feli, yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Jeremy, dan hal itu tentu saja membuat Feli kecewa.
***
Bianca tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang melengking terdengar memenuhi setiap sudut kamarnya. Ia berbaring di atas ranjang dan mendengarkan dengan saksama setiap laporan yang datang dari Rina, petugas kebersihan yang bekerja di kantor DD Group.
"Jadi, wanita tidak tahu malu itu kelihatan sedih saat keluar dari ruangan Jeremy?" tanya Bianca.
Terdengar gumaman dari seberang panggilan, lalu suara Rina terdengar. "Ya, Nyonya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana raut wajah wanita itu. Wanita itu terlihat sedih dan kecewa. Saya yakin jika wanita itu pasti habis menangis."
"Bagus, bagus, itu berarti rencanaku sukses kali ini," ujar Bianca, lalu melanjutkan, "Baiklah, Rina, kerja yang bagus. Aku akan mentransfer hasil kerja kerasmu hari ini, tapi ingat jangan sampai ada yang tahu kalau akulah yang memintamu untuk meletakkan bingkai-bingkai foto itu di atas meja kerja Jeremy."
Rina terkekeh. "Siap, Nyonya, aku jamin tidak akan ada yang tahu."
"Ya, aku harap tidak ada yang tahu." Bianca memutus panggilan telepon dan memejamkan mata, ia membayangkan apa yang akan terjadi pada Alula dan Jeremy saat Jeremy pulang dari kantor nanti. "Ah, aku harap mereka berdua bertengkar hebat. Tidak masalah bagiku jika harus kehilangan menantu. Lagi pula, siapa yang ingin memiliki menantu seperti dia, bikin malu saja!" gumam Bianca.
***
Dave menghentikan mobilnya tepat di halaman besar kediaman Dermawan. "Kita sudah sampai," ujar Dave.
Alula mengangguk. "Ya, aku tahu, tapi rasanya aku enggan untuk masuk," ujarnya, sambil menatap bangunan megah di hadapannya.
Dave mengeluarkan sebatang cokelat dari dalam kantong plastik yang ia simpan di samping tempat duduknya sejak tadi. "Masuk dan istirahatlah. Kamu bisa makan cokelat ini juga sambil menunggu Jeremy datang--"
"Aku tidak ingin Jeremy datang!"
Dave tersenyum. "Jangan bicara begitu. Lebih baik jika dia datang dan kalian bisa bicarakan masalah kalian dengan kepala dingin. Aku yakin setelah kalian bicara, semuanya akan baik-baik saja."
Alula mendengkus. "Entahlah, Dav."
Dave meletakkan cokelat di pangkuan Alula. "Makanlah agar moodmu membaik. Aku dengar cokelat dapat membuat seorang wanita yang sedang bad mood menjadi good mood."
Alula mengambil cokelat dari atas pangkuannya dan menatap cokelat itu untuk beberapa saat. "Berdasarkan pengalaman, ya?" tanya Alula
Dave diam sejenak, kemudian ia menggeleng. "Tidak, karena kamu adalah wanita pertama yang kuberi cokelat."
Alula mengalihkan pandangan, kedua matanya yang sejak tadi menatap cokelat pemberian Dave sekarang beralih menatap Dave, dan tatapan Alula itu membuat Dave menjadi salah tingkah.
"Serius?" tanya Alula.
"Keluarlah, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Masih banyak urusan di kantor," ujar Dave, sambil membuang muka, menghindari tatapan mata Alula yang begitu sendu.
"Ah, iya, maafkan aku. Terima kasih untuk hari ini, dan terima kasih untuk cokelat pertamanya," ujar Alula, kemudian ia keluar dari dalam mobil dan langsung berlari menuju pintu.
Dave mengantupkan kepalanya di kemudi sambil mengeluh. "Sial, apa yang barusan kulakukan. Kenapa juga aku harus bilang kalau itu adalah cokelat pertama."
***
Jeremy tiba di rumah tidak lama setelah Alula tiba. Jeremy melangkah dengan tergesa-gesa menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Wajah Jeremy terlihat panik, ia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Alula tentang kebohongan yang terpaksa ia lontarkan. Ia tahu jika tidak mudah bagi Alula untuk menerima alasannya. Alula pasti marah dan kecewa saat ini.
Setibanya di depan pintu kamar, Jeremy menarik napas dalam-dalam dan langsung membuka pintu kamar.
Buk!
Sebuah bantal mendarat di wajah Jeremy.
Buk!
Lemparan kedua lagi-lagi tepat mengenai wajah Jeremy. Lemparan itu berasal dari Alula yang berdiri di seberang kamar sambil menangis dan terlihat marah pada Jeremy.
Jeremy tidak berusaha untuk menghindar saat lemparan ketiga kembali mengenai wajahnya. Ia terus saja melangkah menyeberangi kamar yang berukuran besar hingga tiba di hadapan Alula.
"Keluarlah. Aku tidak ingin melihatmu," desis Alula, yang tidak ditanggapi oleh Jeremy.
Bukannya pergi dari hadapan Alula seperti permintaan wanita itu, Jeremy malah menarik Alula ke dalam pelukannya dan memeluk wanita itu dengan begitu erat.
"Aku bersalah, maafkan aku, Sayang," gumam Jeremy.
Alula berusaha membebaskan tubuhnya dari rangkulan Jeremy, tetapi Jeremy tidak membiarkan Alula melakukan hal itu. Ia tidak ingin Alula menjauh dan pergi dalam keadaan marah, apalagi sampai tidak mau menjelaskan penjelasan darinya.
"Aku mohon maafkan aku. Biar aku jelaskan segalanya padamu," bisik Jeremy dengan lembut di telinga Alula.
"Setelah sebuah kebohongan yang nyata, apa kamu pikir aku masih bisa percaya padamu?" desis Alula.
"Kamu pasti percaya padaku, aku tahu itu. Aku mohon dengarkan aku sekali saja, ya." Jeremy memohon.
Alula mengangguk, ia merasa sangat tidak adil jika tidak memberikan kesempatan pada Jeremy untuk menjelaskan apa pun.
Jeremy tersenyum lega, ia lalu menuntun Alula untuk duduk di tepi ranjang dan mulai menjelaskan, "Dia Feli Maura, sahabatku sejak kami masih duduk di bangku SMP. Pertemuan kami yang barusan sama sekali tidak direncanakan, setidaknya bukan aku yang merencanakan. Ayah tiba-tiba saja memintaku untuk datang ke Paris Resto saat aku hendak kembali ke rumah. Aku pikir, ayah ingin aku bertemu dengan rekan bisnisnya, tapi ternyata bukan. Saat aku tiba di restoran, ternyata Feli yang ada di sana, dan jujur saja aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Maafkan aku, Alula."
Alula diam saja, ia masih marah dan kecewa pada Jeremy, tetapi mendengar bahwa Ayah Jeremy yang meminta Jeremy datang ke Paris Resto membuat Alula berpikir bahwa Jeremy hanya terjebak oleh pemerintah sang ayah.
"Baiklah, aku memaafkanmu, tapi lain kali tolong jangan diulangi, Jeremy. Sebuah kepercayaan akan sulit didapatkan saat bibir sekali saja mengucap kebohongan."
Jeremy mengusap air mata yang mengalir di pipi Alula. "Terima kasih, maafkan aku. Aku akui aku bersalah dan begitu bodoh. Aku tidak akan mengulanginya lagi, Sayang. Aku janji," ujar Jeremy, lalu meng_ecup bibir Alula yang terdapat begitu hangat dan lembut.
Alula memejamkan mata, membiarkan Jeremy menjelajahi bibirnya. Namun, kali ini bukan hanya sekadar ciuman yang Jeremy inginkan. Jeremy menginginkan hal yang lebih dari Alula.
Tangan Jeremy turun perlahan dari wajah Alula menuju pinggang, lalu ia mengelus pinggang dan punggung Alula dengan lembut sehingga membuat Alula bergidik, kemudian Jeremy mulai melepas kancing dress yang Alula kenakan hingga tidak ada bagian dari dress yang menutupi bagian atas tubuh Alula.
Alula mendesah, saat bibir Jeremy mulai menjelajahi leher jenjangnya, lalu semakin turun dan berhenti di dada.
Tangan Jeremy dengan cekatan kemudian melepas br_a yang Alula kenakan, membuat sesuatu menyembul tepat di hadapan wajah Jeremy.
"Sial, kenapa kamu sek_si sekali, Alula," bisik Jeremy.
Suara Jeremy yang terdengar begitu parau sukses membuat Alula semakin bergai_rah. Ia lalu meremas rambut Jeremy dan mengarahkan wajah Jeremy ke atas dadanya yang menantang. Jeremy tidak membuang kesempatan, ia memberikan apa yang Alula inginkan, dan suara erangan Alula membuat Jeremy mendorong tubuh Alula ke posisi berbaring, lalu dengan cepat Jeremy membuka seluruh pakaiannya dan berbaring di atas tubuh ramping Alula.
"Aku akan masuk," bisik Jeremy, lalu mendaratkan kec_upan ke bibir, leher, dan wajah Alula.
Alula mengangguk sambil mengerang, dan detik berikutnya Alula mulai merintih tak keruan, mendesah dan mengerang sambil meremas seprai, sementara Jeremy memacu tubuhnya tanpa henti hingga keduanya merasakan puncak kenikmatan yang tiada tara.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments