Jeremy mengabaikan pesan yang terus masuk ke dalam ponselnya selama ia menunggu Alula keluar dari ruang ganti. Setidaknya ada sepuluh pesan suara yang semuanya berasal dari Antonio.
Jeremy menghela napas dengan kasar, ia tidak habis pikir jika ayahnya pun akan membenci Alula sama besarnya seperti ibunya yang membenci Alula. Padahal selama ini ayahnya terkenal bijaksana, dapat menangani masalah dengan kepala dingin, dan dapat mengendalikan emosi dengan baik. Namun, kebijaksanaan sang ayah seolah hilang saat Jeremy menentang perjodohan yang sang ayah sepakati dengan keluarga Smith, dan malah menikahi Alula.
"Bagaimana menurutmu? Apa ini bagus?" tanya Alula, begitu ia keluar dari ruang ganti.
Jeremy yang sedang melamun pun terkejut. Namun, beberapa saat kemudian keterkejutannya itu berubah menjadi kekaguman. Bagaimana tidak jika Alula tampak luar biasa menawan dengan mengenakan gaun selutut berwarna dusty pink.
"Sungguh cantik," gumam Jeremy, sambil bangkit berdiri dan kemudian menghampiri Alula.
Ucapan Jeremy tidak berlebihan, karena Alula memang tampak secantik putri-putri dalam buku dongeng. Rambut ikal Alula yang sepanjang pinggang menambah keanggunan Alula saat dibiarkan tergerai seperti saat ini. Jeremy menyentuh rambut Alula, kemudian beralih menyentuh pipi wanita itu.
"Beruntung sekali aku menikahi bidadari," ujar Jeremy.
perkataan Jeremy itu membuat kedua pipi Alula merona, dan beberapa pegawai salon cekikikan melihat kemesraan tamu VVIP mereka.
Alula berdeham, ia merasa malu karena kemesraan Jeremy menjadi tontonan. "Aku akan ganti dulu, setelah itu ayo kita pulang."
"Tidak, tidak, kamu harus melakukan perawatan tubuh di sini dan setelah itu mari kita makan siang di restoran," ujar Jeremy.
"Kita bisa makan di rumah, Jeremy."
"Tidak, Alula, kita akan makan di restoran siang ini. Kita kan sedang menikmati hari liburku. lagi pula, bukankah kamu sudah setuju untuk bertemu dengan Feli juga."
Alula memukul dahinya. "Astaga, aku lupa."
Jeremy mencubit pipi Alula. "Belum apa-apa istriku ini sudah pikun," ujar Jeremy, lalu ia beralih memandang salah satu pegawai salon. "Tolong antar istriku ke atas, dan berikan perawatan terbaik untuknya."
Pegawai salon yang diajak bicara oleh Jeremy mengangguk sambil tersenyum. "Baik, Tuan," ujarnya, lalu ia membungkuk sedikit ke Alula. "Silakan ikuti saya, Nyonya."
Alula tersenyum, lalu kemudian mengekor langkah pegawai salon menuju lantai dua bangunan megah tersebut.
***
Restoran Jepang yang Jeremy dan Alula kunjungi adalah restoran Jepang terbaik yang ada di kota itu. Selain tempatnya yang strategis dan berada di tengah-tengah kota, terdapat private room juga yang bisa digunakan untuk pertemuan-pertemuan penting yang membutuhkan privasi.
Alula duduk di sebuah kursi, menghadapi meja makan berbentuk bulat yang sudah penuh dengan berbagai macam hidangan ala Jepang. Sementara Jeremy duduk di sebelahnya. Tidak lama kemudian pintu ruangan tersebut bergeser terbuka dan seorang wanita cantik, yaitu Feli Maura masuk ke dalam ruangan sembari tersenyum.
"Halo," sapa Feli, sambil menatap Jeremy dan Alula dengan mata berbinar.
Jeremy tersenyum dan meminta Feli untuk duduk di kursi yang tersisa.
"Dave tidak ikut?" tanya Feli, saat ia telah duduk di hadapan Jeremy dan Alula.
"Tidak, dia sibuk kurasa," jawab Jeremy.
Feli mengibaskan rambutnya ke belakang. "Tidak nyaman sekali seorang diri berada di tengah-tengah pasangan pengantin baru. Bisa-bisa aku iri, Jeremy."
Jeremy tertawa. "Menikahlah supaya kamu tidak iri," jawab Jeremy, lalu ia menatap Alula. "Perkenalkan, Fel, dia Alula, istriku."
Feli tersenyum, lalu mengulurkan tangan ke Alula. "Hai, Alula yang luar biasa cantik, perkenalkan aku Feli Maura, sahabat Jeremy dan juga Dave."
Alula menerima uluran tangan Feli sambil tersenyum. Ia senang melihat Feli yang begitu ceria, dan tidak terlihat jika Feli menyukai Jeremy di luar batas pertemanan seperti yang ia pikirkan.
"Aku Alula, istri Jeremy. Senang berkenalan denganmu, Feli."
"Aku juga senang bisa berkenalan denganmu Bagaimana kalau mulai hari ini kita berteman?" Feli mengedipkan sebelah matanya. "Kita bisa jalan-jalan berdua jika Jeremy sedang sibuk di kantor. Sebagai istri yang baik, kamu harus pintar menghabiskan uangnya, Lula."
Alula mengangguk setuju dan tertawa. "Tentu."
Jeremy menatap Alula dengan perasaan lega, setidaknya Alula tidak akan berpikiran buruk lagi tentang Feli, apalagi sampai merasa cemburu, karena memang perasaannya dan Feli tidak pernah lebih dari perasaan seorang teman.
***
Waktu bergulir begitu cepat, berpindah dari siang ke malam berulang kali hingga tanpa terasa pernikahan antara Jeremy dan Alula telah genap dua tahun.
Tidak ada yang berubah pada cinta keduanya. Jeremy mencintai Alula, dan Alula mencintai Jeremy. Mereka saling melengkapi dan tidak pernah merasa ada yang kurang dalam hubungan mereka.
Akan tetapi, tidak demikian dengan yang Bianca rasakan. Bagi Bianca, untuk apa menikah jika tidak bisa memiliki keturunan. Hubungan pernikahan tanpa anak hanyalah menjadi aib yang memalukan.
Seperti siang ini, Bianca yang sedang mengadakan kegiatan arisan berlian dengan beberapa temannya merasa tersudut. Walau kegiatan arisan itu diadakan di rumahnya, teman-teman Biancatidak ada yang sungkan untuk menyinggungnya, membuatnya kesal dan marah.
"Jeng Bianca apa tidak merasa kesepian di rumah? Anak-anak Jeng Bianca kan sudah besar-besar, ya. Apa tidak ingin bermain-main dengan cucu?" tanya Sarinah, salah seorang istri pemilik hotel-hotel berbintang di Jakarta.
Bianca tersenyum manis, ia susah payah melakukannya. "Tentu tidak, Jeng, saya kan bisa jalan-jalan kalau anak-anak sedang kuliah. Jadi, saya tidak pernah tuh merasa kesepian. Banyak toko perhiasan yang harus saya kunjungi."
"Oh, begitu. Tapi bermain dengan cucu lebih asyik loh, Jeng," timpal Mawar, salah satu teman Bianca dan Sarinah.
"Kalau saya sering jalan-jalan sama menantu saya. Kita suka menghabiskan waktu di butik. Andin memiliki selera fashion yang bagus. Maklumlah, Andin menantu saya itu perancang busana di luar negeri, sedangkan mama dan papanya pemilik brand ternama yang sudah diakui di Paris." Farah terkekeh, wanita itu memang suka membanggakan menantunya yang berkelas setiap saat pada siapa saja yang mau mendengarkan.
Ketika akhirnya kegiatan Arisan itu berakhir, Bianca sudah sangat marah. Ia bersusah payah menahan emosi saat teman-temannya masih berada di dalam rumahnya.
"Kurang ajar! Jika bukan karena Alula, aku tidak akan mungkin menjadi bahan ejekan teman-temanku. Dasar menantu sampah!" pekik Bianca, lalu ia melangkah menuju dapur untuk mencari Alula.
Alula memang lebih sering berada di dapur saat Jeremy sedang tidak ada di rumah. Karena dapur adalah ruangan yang paling aman dan nyaman untuknya. Mertuanya dan juga adik-adik iparnya tidak menyukai dapur, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk berpapasan dengan ketiga penguasa rumah itu, dan bagi Alula tidak berpapasan dengan ketiganya adalah keberuntungan yang sangat ia harapkan setiap harinya.
Plak!
Alula terkejut saat telapak tangannya dipukul begitu saja oleh seseorang. Alula menghela napas, lalu mengangkat wajah untuk memastikan siapa gerangan yang ingin menyiksanya kali ini.
"Mama," gumam Alula, saat dilihatnya Bianca berdiri di hadapannya dengan wajah kejam.
"Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan, hah? Membuat kue, kue, kue, dan kue! Apa gunanya membuat kue setiap hari, Alula?!"
Brak!
Kue tart yang baru saja Alula hias terjatuh ke lantai dan berantakan. Tentu saja kue itu tidak jatuh sendiri, melainkan dijatuhkan dengan sengaja oleh Bianca.
"Ma," lirih Alula.
"Aku memang tidak beruntung. Bagaimana bisa aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan menantu sial sepertimu. Gara-gara kamu, Alula, aku jadi ditertawakan oleh teman-temanku! Gara-gara kamu juga sampai sekarang Jeremy tidak memiliki keturunan. Coba saja dulu kamu tidak menggoda Jeremy, dia pasti akan menikah dengan Feli, dan mereka akan cepat punya anak. Tidak seperti sekarang, sudah dua tahu menikah tapi kamu tidak bisa memberinya anak. Dasar mandul!"
Deg!
Alula tidak tahan lagi. Dimarahi dan dikatai mandul di depan para pelayan tentu saja membuat hatinya menjadi sakit.
"Sudah selesai, Ma?" tanya Alula. "Kalau sudah selesai, aku permisi." Alula keluar dari dapur sambil berlari.
Bianca terkejut melihat sikap Alula yang berani melawannya. "Hai, Alula mandul, aku belum selesai bicara!" teriak Bianca, yang tidak dihiraukan sama sekali oleh Alula.
***
Cuaca memang sangat panas. Matahari bersinar dengan begitu terik hingga seolah sanggup untuk membakar kulit makhluk apa pun yang nekat berjemur di bawahnya. Namun, sinar terik itu tidak berarti apa pun bagi Alula. Rasanya terbakar panas matahari lebih baik daripada harus mendengar ocehan Bianca yang seolah tidak ada habisnya.
Saat ini Alula memilih untuk duduk di taman yang berada di tengah-tengah komplek perumahan sembari menangis. Ia menundukkan wajah, menatap rumput hijau di bawah kakinya yang mulai menguning.
"Enak sekali jadi rumput, tidak harus mendengar makian Mama Bianca setiap harinya," gumam Alula.
Suara decit ban yang kemudian terdengar membuat perhatian Alula teralihkan. Ia mengalihkan pandangan dari rumput ke sebuah sedan yang berhenti tepat di jalan masuk taman.
"Sengaja ingin menghitamkan kulit?" teriak Dave, yang baru saja turun dari mobil dan sedang berjalan menghampiri Alula.
Alula tersenyum. "Ya, begitulah."
Dave mengangkat kedua bahu, lalu duduk di samping Alula. "Serius, Alula, di sini pasangan sekali. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dave.
Seketika itu juga Alula menangis hingga terisak. Setelah dua tahun berteman dengan Dave, Alula memang selalu mengungkapkan kesedihannya pada Dave. Saat bersama dengan Dave, Alula bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura bahagia.
"Apa menurutmu aku ini pembawa sial, Dav?" tanya Alula, setelah sedikit tangisnya mereda.
Dave mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku jasnya dan menyerahkannya pada Alula. "Ya, sedikit."
Alula menatap Dave dengan tajam. "Sungguh?"
"Iya, sungguh."
Alula cemberut dan menolak sapu tangan dari Dave. Melihat sikap Alula yang demikian, membuat Dave tertawa.
"Bagaimana bisa makhluk sempurna ciptaan Tuhan adalah objek pembawa sial," ujar Dave. "Tidak ada manusia yang keberadaannya membawa kesialan untuk orang lain, dan tidak ada juga manusia yang terlahir sebagai manusia sial. Jangan mengajukan pertanyaan yang tidak berbobot seperti itu, Alula."
Alula mengusap sudut matanya. "Mama Bianca bilang--"
"Dia salah menilaimu, dan dia tidak tahu betapa berharganya dirimu. Jangan menangis lagi, pikirkan betapa sedihnya Jeremy kalau sampai dia tahu setiap hari kamu menangis di sini. Semangatlah, Alula, aku yakin setiap penderitaan ada tanggal kadaluarsanya."
Alula tertawa. "Tanggal kadaluarsa?!"
Alula dan Dave kemudian terlibat obrolan selama beberapa saat. Dave bahkan berulang kali menepuk pundak Alula agar Alula menjadi lebih tegar. Keduanya tidak menyadari bahwa saat itu ada sepasang mata yang mengawasi dan sibuk memotret kebersamaan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments