Feli Maura menoleh ke belakang, di mana asal suara Jeremy yang terkejut terdengar. Ia lalu tersenyum dan melambai agar Jeremy menghampiri dan duduk di hadapannya. Jeremy tidak menunggu lama, Feli adalah sahabatnya sejak kecil, dan begitu ia melihat Feli tentu saja ia langsung menghampiri wanita itu dan memberikan pelukan hangat seperti biasanya.
"Apa kamu merindukanku?" tanya Feli, yang sekarang sedang menenggelamkan wajah di pundak Jeremy.
Jeremy menepuk punggung Feli dan berkata, "Tidak sama sekali."
Feli tertawa, lalu keduanya saling melepaskan rangkulan dan duduk di kursi masing-masing.
"Tentu kamu tidak rindu padaku, karena kudengar dari mama kalau kamu sudah menikah, benar?" tanya Feli, yang berusaha terdengar biasa saja walaupun ia ingin menangis dan marah pada Jeremy saat ini.
Jeremy tersenyum lebar. "Benar, dan aku sangat tidak sabar ingin memperkenalkan istriku padamu. Dia baik sekali dan juga cantik."
Feli menghela napas panjang. "Sungguh tidak berperasaan. Padahal jelas-jelas kalau aku ini adalah calon istrimu," ujar Feli sambil tertawa.
Jeremy terkekeh. "Perjodohan yang dilakukan kedua orang tua kita tidaklah seserius itu, Feli, aku yakin mereka hanya iseng karena melihat hubungan kita yang begitu dekat, padahal baik aku atau pun kamu tidak saling jatuh cinta. Mamaku dan mamamu hanya sok tahu dan mengira kalau kita ini memiliki perasaan khusus."
Feli menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, ia lalu berkata, "Sama sepertimu saat ini yang sok tahu tentang perasaanku. Kamu tidak pernah bertanya padaku apakah aku menyetujui perjodohan itu. Kamu juga tidak bertanya padaku apakah aku mencintaimu atau tidak. Padahal jika kamu berusaha untuk mencari tahu sedikit saja, kamu akan menemukan fakta bahwa aku mencintaimu lebih dari apa pun di dalam hidupku."
Jeremy terdiam, ia tidak tahu harus menanggapi ucapan Feli seperti apa.
"Feli, aku--"
Feli Maura kemudian tertawa sebelum Jeremy menyelesaikan ucapannya. "Aku hanya bercanda. Kenapa wajahmu jadi tegang begitu? Dasar kaku! Kamu tidak memiliki selera humor sama sekali, Jeremy."
***
Menjelang sore adalah saat-saat yang paling disukai oleh Bianca. Biasanya wanita tua itu akan menghabiskan waktu di teras atau di ruang keluarga untuk bersantai sambil berbicara melalui telepon dengan sang suami atau teman-teman sosialitanya. Dan sore ini ia memilih untuk menelepon Antonio Dermawan, sang suami yang telah menjadi pasangan hidupnya selama puluhan tahun.
"Jalan-jalanlah, Sayang, atau adakan pesta di rumah jika kamu memang merasa bosan," ujar Antonio di seberang panggilan, memberi saran pada Bianca yang sejak tadi mengeluh karena bosan dan tidak bersemangat.
Bianca menghela napas, kemudian ia berkata, "Jujur saja aku sangat malu jika bertemu dengan teman-temanku, Pa, bagaimana kalau mereka tahu tentang pernikahan Jeremy? Bagaimana kalau mereka juga tahu jika istri Jeremy bukanlah Feli, tapi wanita murahan yang Jeremy pungut dari kedai minum? Ah, aku malu sekali, Pa. Aku yakin kalau Amara Smith pasti telah menyebarkan berita tentang pernikahan Jeremy, dia sangat marah dan kecewa atas keputusan Jeremy." Bianca mengakhiri ucapannya dengan dengkusan kesal.
"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, Sayang, Jeremy memang keterlaluan sekali. Tapi, ngomong-ngomong tentang Feli, Jeremy dan Feli sekarang sedang bertemu di sebuah restoran dekat sini."
Bianca menegakkan duduknya. "Yang benar? Feli sudah kembali dari Kanada kalau begitu?"
"Benar. Feli meneleponku siang tadi dan menanyakan kabarku. Karena dia sudah kembali, sekalian saja aku atur pertemuannya dengan Jeremy, toh mereka sudah lama tidak bertemu."
Bianca menjadi bersemangat begitu mendengar ucapan Antonio, dan mendadak sebuah gagasan muncul di dalam kepalanya. Gagasan yang akan membuat kepercayaan diri Alula menghilang, lebih bagus lagi jika Alula menjadi sakit hati.
"Di restoran mana Feli dan Jeremy bertemu, Pa?" tanya Bianca.
"Paris Resto, kenapa?"
"Ah, tidak apa-apa. Ya, sudah kalau begitu, aku tutup dulu teleponnya. Selamat bekerja, Sayang dan I love you."
Setelah memutuskan panggilan telepon dengan sang suami, Bianca lalu bangkit berdiri dan melangkah dengan cepat menuju kamarnya, mengambil sebuah tas berisi laptop dan memasukan beberapa kertas tidak berguna ke dalam tas tersebut.
Bianca tersenyum puas sambil menutup tas laptop tersebut dan segera melangkah menuju kamar Alula dan Jeremy yang ada di lantai atas. Ia bahkan menapaki tangga sambil bersenandung riang.
Begitu tiba di depan pintu kamar Jeremy, Bianca langsung membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, membuat Alula yang sejak tadi mondar-mandir di dalam kamar dengan gelisah karena menunggu kedatangan Jeremy menjadi terperanjat.
"Ma," ujar Alula, bingung. "Ada apa, Ma?" tanyanya lagi, karena tidak biasanya Bianca datang ke kamarnya dalam keadaan tenang. Biasanya Bianca datang sambil berteriak dan melontarkan caci maki yang menyakitkan.
"Ini, antar ini ke kantor, dan langsung antar ke ruangan Jeremy. Isinya laptop dan berkas-berkas penting. Jika kamu tidak tahu ruangannya di mana atau kamu tidak tahu cara menggunakan elevator, mintalah seorang sekuriti untuk mengantarmu," perintah Bianca, sambil meletakan tas jinjing yang ia bawa di atas meja rias Alula.
Mendapat perintah demikian dari Bianca tentu saja membuat Alula menjadi senang, seperti ada angin segar yang berembus masuk ke kamarnya yang pengap tanpa di sengaja.
"Baik, Ma, baik, aku akan ke sana," ujar Alula dengan riang, "Kebetulan sejak tadi juga aku menunggu Jeremy datang. Entah kenapa dia belum datang, padahal Jeremy bilang padaku kalau dia akan pulang lebih awal hari ini."
Bianca tersenyum miring. "Benarkah? Ya, semoga saja kalian bisa bertemu di sana." Bianca kemudian berbalik memunggungi Alula dan keluar dari dalam kamar.
Setibanya di ujung anak tangga, Bianca mengeluarkan ponselnya dari saku dress yang ia kenakan, lalu ia menelepon salah seorang petugas kebersihan yang ada di kantor Jeremy.
"Halo, Rina, aku punya tugas untukmu."
***
Perjalanan menuju kantor Jeremy tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Jika sedang tidak terjadi kemacetan lalu lintas, hanya membutuhkan sekitar 45 menit dari kediaman keluarga Dermawan. Namun, sore ini keberuntungan tidak berpihak pada Alula, mobil yang dikendarai oleh sopir yang mengantar Alula tiba-tiba saja mengalami mati mesin.
"Ada apa, Pak?" tanya Alula, pada sopir yang sedang memukuli roda kemudi dengan gemas.
"Mogok, Nyonya, entah apa yang terjadi. Saya harus memeriksanya terlebih dahulu," ujar si sopir, sembari keluar dari dalam mobil dan segera membuka bagian depan mobil.
Alula menyusul dan memperhatikan si sopir yang sibuk mengutak-ngatik mesin. "Kelihatannya akan lama. Seberapa jauh lagi kita dari kantor, Pak?" tanya Alula dengan tidak sabar.
"Tidak terlalu jauh, Nyonya, hanya beberapa blok lagi dari sini. Jika ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 sampai 15 menit."
Alula mengeluarkan ponsel dari dalam saku cardigan yang ia kenakan, dan segera membuka aplikasi Maps yang ada pada ponsel tersebut. Setelah memastikan bahwa ia bisa datang ke kantor Jeremy hanya dengan berjalan kaki, Alula pun berkata, "Aku akan ke sana dengan berjalan kaki saja, Pak. Biar nanti aku pulang dengan Jeremy saja."
"Jangan, Nyonya, Anda tidak boleh berjalan kaki. Pak Jeremy bisa marah pada saya."
Alula tersenyum. "Tidak, Pak, aku akan memastikan agar Jeremy tidak marah pada Anda. Lagi pula, mama bilang semua berkas di dalam sini sangat penting, siapa tahu Jeremy membutuhkan berkas ini sekarang juga."
Si sopir terlihat ragu untuk sesaat, tetapi kemudian ia mengangguk. "Berhati-hatilah di jalan, Nyonya. Saya akan berusaha memperbaiki mobil ini secepat yang saya bisa."
Alula mengangguk, kemudian ia segera melanjutkan perjalanan menuju kantor Jeremy.
Kedua mata Alula tidak henti menjelajah, berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain. Ia terlihat takjub pada semua yang dilihatnya, gedung-gedung yang tinggi menjulang, butik, pertokoan, hingga toko-toko roti yang berjejer di sepanjang jalan terlihat begitu indah dan memesona. Wajar saja jika ia begitu terpesona, karena saat tinggal di desa ia tidak pernah melihat pemandangan mengagumkan seperti yang dilihatnya sekarang.
Setelah melewati beberapa blok, langkah Alula mendadak terhenti. Ia terpaku di tempatnya berdiri saat kedua matanya menangkap sosok tidak asing yang dikenalnya. Sosok itu adalah Jeremy, suaminya, dan Jeremy tidak sendirian. Jeremy bersama dengan seorang wanita. Keduanya duduk berhadapan sambil tertawa satu sama lain. Sesekali wanita yang duduk di hadapan Jeremy itu memukul pundak Jeremy, dan Jeremy balas menarik pelan rambut si wanita sambil tertawa.
"Jeremy, apa yang kamu lakukan?" gumam Alula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments