"Kenapa diam saja? Ayo masuk," perintah Candra.
"I-iya."
Masuk ke pintu Villa itu lagi, sempat membuat Rania ragu. Sudah lumayan lama tidak ke tempat ini, walaupun hanya tinggal beberapa hari saja tapi banyak kenangan yang ditinggalkan di sini. Dan kenangan yang paling membekas itu ya kenangan buruk.
"Tuan, saya--"
"Tuan?" tanya Candra menghentikan langkah, kepalanya pun menoleh ke belakang.
"Hah?"
"Rania, kok kamu manggil saya Tuan?"
"Terus apa?"
"Saya kan suami kamu, masa manggilnya Tuan."
Habisnya Rania bingung harus memanggil apa, memang sih sebutan itu tidak cocok sekali untuk pasangan suami istri. Kalau pun menyebut dengan panggilan lain, takutnya dianggap tidak sopan.
"Kamu maunya manggil saya siapa?" tanya Candra balik, "Yang nyaman untuk kamu saja."
"Saya tidak tahu," jawab Rania pelan.
"Bagaimana dengan sebutan Mas?"
"Memangnya boleh?"
"Boleh lah, kan kamu istri saya. Tapi sayang juga boleh, itu lebih enak didengar."
Rania sedikit merona mendengar sebutan akhir itu, membuatnya jadi malu sendiri. Sepertinya Candra sedang menggodanya, terbukti pria itu yang tersenyum-senyum ke arahnya. Tetapi Rania berpikir tidak mungkin untuk menyebut Candra dengan panggilan itu.
"Mas saja," ucap Rania.
"Ya sudah terserah kamu."
Candra lalu mengajaknya ke suatu ruangan, Rania dari tadi hanya mengikuti saja di belakang. Tetapi saat berdiri di depan pintu ruangan itu, langkahnya langsung terhenti. Rania bisa merasakan detak jantungnya yang menjadi cepat, dengan keringat dingin di pelipis.
"Rania?" tanya Candra yang tidak melihat nya ikut masuk, Ia sampai mengecek keluar lagi, "Kenapa? Ayo."
"Sa-saya tidak mau."
Candra yang melihat ekspresi wajah tidak nyaman itu, membuatnya mengerti dan mendekati. Tetapi Candra terkejut saat tangannya yang akan menyentuh malah Rania tepis kasar. Sungguh Candra tidak tersinggung, Ia malah semakin khawatir dengan serangan panik yang dirasakan perempuan itu.
"Rania tenang lah, saya tidak akan apa-apa kan kamu," ucap Candra berusaha meyakinkan.
Rania menggeleng pelan dengan kedua mata berkaca-kaca seperti menahan tangis. Rasanya Ia tidak sanggup sekali untuk masuk ke kamar itu, kamar yang sangat Ia kenali. Di dalam sana lah Ia diperkosa, Rania tidak mau bayangan-bayangan kelam itu kembali menghantuinya.
"Kamu jangan takut pada saya Rania, saya sudah bilang waktu itu."
"Hiks!"
"Hei Rania tenang lah, jangan menangis."
Tanpa ragu Candra membawa perempuan itu ke pelukannya. Awalnya Rania sempat memberontak minta dilepaskan, tapi Candra tahan dan terus mengusapi punggung dan belakang kepalanya. Candra bahkan bisa merasakan tubuh perempuan itu bergetar.
Sebegitu takutnya?
"Maafkan saya Rania, saya tidak tahu kamu se takut ini pada saya," ucap Candra pelan.
Sebenarnya rasa takut Rania pada Candra sudah mengurang, sikap pria itu selalu baik dan berusaha membuatnya nyaman. Tetapi ini adalah kepindahannya lagi ke Villa, tempat yang cukup banyak meninggalkan kenangan buruk baginya.
"Ya sudah, kita sementara tidur berpisah ya?" tanya Candra.
"Gak papa?"
"Gak papa, dari pada lihat kamu gemeter ketakutan gini, saya gak tega."
Rania mengangguk pelan, "Makasih," gumamnya.
"Tidak perlu berterima kasih. Malahan kamu yang bersedia ikut saya kembali kesini lagi, itu membuat saya sedikit lega. Saya akan pastikan, kejadian buruk itu tidak terulang dan saya akan berusaha buat kamu senyaman mungkin tinggal di sini."
"Hm."
"Ada kamar kosong dekat ruang tamu, kamu sementara tidur di sana dulu ya."
"Iya."
Candra juga sampai mengantar dan membawakan kopernya menuju kamar itu. Ukuran kamarnya sedang, dan bagi Rania tetap nyaman. Pria itu kembali keluar, ternyata membawakan minum. Rania menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
"Makasih," ucap Rania pelan.
"Sama-sama."
Sambil minum, Rania melirik Candra yang sedang membuka lemari. Pria itu menjelaskan beberapa hal, bahkan menawarkan diri untuk merapihkan baju-bajunya ke lemari. Perlahan senyuman Rania kembali, hatinya merasa tersentuh saja dengan sikap manis pria itu.
"Tidak usah, aku bisa merapihkan sendiri," tolak Rania.
"Ya sudah, kamu ini memang malu-malu ya."
"Tidak kok, tapi saya tidak mau merepotkan."
"Saya suami kamu loh Rania, harusnya kan kamu merepotkan saya terus."
"Nanti Mas tidak nyaman."
"Kata siapa? Malahan saya senang loh kalau direpotkan perempuan, jadi mereka bergantung pada saya."
Benarkah? Batin Rania.
Tetapi mereka masih awal-awal berhubungan, jadi masih sedikit canggung dan malu. Mungkin kalau Rania sudah nyaman pun, Ia bisa bertingkah manja dan merepotkan Candra. Tetapi kapankah itu?
"Saya mau ke kebun dulu, kamu mau ikut? " tanya Candra.
"Saya tidak tahu."
"Kamu pasti masih capek ya, ya sudah tidak apa. Nanti lain kali saja ikutnya ya."
"Iya."
"Kalau gitu saya pergi dulu, mungkin nanti pulang agak sorean. Gak papa saya tinggal?"
"Iya." Malah mungkin kalau Candra tidak ada, Rania akan lebih sedikit tenang.
"Nanti saat pulang, saya pengen makan malam sudah siap. Kamu bisa masak lagi untuk saya?"
"Boleh, Mas mau makan sama apa?"
"Saya lagi pengen gulai ikan, kayanya enak seger-seger gitu."
Rania mengangguk, "Iya nanti aku buatkan."
"Makasih Rania, saya kangen masakan kamu."
Sebelum keluar, Candra mendekat dan mengusap kepalanya sebentar. Setelah itu mengucap salam dan pergi dari sana. Rania langsung menghembuskan nafasnya lega, kenapa Ia jadi berdebar begini ya hanya karena usapan tadi? Jangan bilang Ia baper?
Rania melirik jam dinding yang masih menunjukan pukul tiga sore, Ia tidak tahu kapan Candra pulang. Tetapi sepertinya sekarang Rania harus mengecek bahan makanan dulu di dapur. Untung saja ternyata bahan makanan lengkap, jadi tidak perlu belanja.
"Masak sekarang atau nanti ya? Kalau sekarang takut Mas Candra pulang lama dan dingin, tapi kalau nanti takut gak keburu."
Rania lalu memilih berkeliling Villa itu dahulu, sekalian nostalgia saja. Sepertinya di sini hanya dirinya seorang, suasananya sepi dan sunyi tapi sangat nyaman bagi dirinya. Rania lalu duduk di sisi kolam renang, memainkan air kolamnya yang segar.
"Dulu aku di sini cuma jadi pembantu, tapi sekarang malah jadi Nyonya nya. Seperti mimpi," gumamnya.
Memang sih hubungannya dengan Candra bersama pun bukan atas dasar cinta, tapi karena aksiden. Tetapi tetap saja sekarang posisi Rania sudah naik, walau begitu tidak membuatnya terlalu bangga. Banyak yang bilang dirinya beruntung karena menjadi istri konglomerat muda seperti Candra, tapi Rania pikir itu tidak sepenuhnya benar.
"Huft dari pada terus melamun dan memikirkan banyak hal, sebaiknya aku masak sekarang saja."
Hal lucu lainnya, Rania dan Candra bahkan belum sempat bertukar nomor ponsel, jadi sekarang Rania tidak bisa menanyakan kapan suaminya itu pulang. Sepertinya nanti saat makan malam, akan banyak topik obrolan yang mereka bicarakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments