Keesokan harinya, aku pun memilih untuk menyapu halaman rumahku. Ibu sedang mencuci di belakang, sedangkan bapak sudah berangkat kerja di tempat barunya. Ku lihat seragam kerjanya sudah beda. Dia juga memakai tanda pengenal yang bertuliskan kepala gudang. Dia memakai sepatu bagus dan juga rambut yang kemarin malam disemir ibu. Semoga saja bapak tidak lupa daratan dan bertingkah aneh dengan gaya barunya. Karena melihat dirinya yang sekarang sudah memiliki uang, pasti banyak wanita yang ingin menggodanya untuk mendapatkan uangnya.
Tapi, aku percaya pada ayah, dia tidak akan melakukannya karena sejak dulu, dia hanya mencintai ibuku saja.
"Tumben nggak kerja, Ai?" tanya Susi yang juga sedang menjemur pakaian.
Aku lekas memperhatikan dirinya dari atas sampai ke bawah. Dih, ternyata dia sudah tidak per*w*n seperti aku. Dia juga memakai handuk di kepalanya yang berarti bahwa dia baru saja keramas.
"Aku sudah resign karena beberapa hari lagi akan bekerja di luar kota," ucapku berbohong. Itulah kalimat yang sudah diajarkan oleh orang tuaku jika ada orang yang bertanya padaku.
"Kerja apa? Dimananya?"
"Kerja di restoran, jadi waiter. Di kota B," sahutku. Kota itu adalah kota yang cukup jauh dari sini. Jadi aku yakin tidak ada keluarga sini yang akan mengetahui bahwa aku tidak benar-benar ke sana. Memangnya siapa yang mau jauh-jauh datang ke sana. Bahkan orang tuaku juga sudah menelusuri bahwa mereka tidak memiliki kerabat di kota itu. Jadi, tidak akan ada yang tahu jika kamu berbohong.
"Oh, kerja di restoran kenapa harus jauh-jauh? Di sana jaraknya sangat jauh dan kamu harus menanggung biaya makan sendiri. Lebih enak di sini, walaupun gajinya kecil, tapi kan bisa berkumpul bersama orang tua. Ya, walaupun rumahnya hampir roboh, tapi masih bisa dihuni, bukan?"
Astaga, pasti ada saja sindiran Susi terhadap keluargaku. Ibu dan anak memang sama saja.
"Ya biarin aja, Sus, dia kan nggak kuliah, nggak punya pendidikan tinggi, mana bisa kerja dengan gaji tinggi. Kayak kamu, dong, habis lulus pasti gampang dapat kerja," ucap Bu Dina seenaknya. Dia yang sedang memegangi keranjang sampah menandakan bahwa dirinya hendak membuang sampah di depan.
"Iya, Bu, hehe." Aku tak ingin berdebat dengan mereka. Hanya akan buang-buang waktu saja.
"Kamu itu harus belajar kayak Susi. Udah anak kuliahan, pendiam, nggak neko-neko, apalagi pacaran."
Apa? Tidak pacaran? Tidak neko-neko? Pendiam? Hahaha, ingin sekali aku tertawa keras di depan mereka. Ternyata ibunya ini sangat polos sehingga tidak tahu bahwa anaknya adalah wanita yang sangat liar. Berpakaian minim dan keluar tengah malam dengan seorang pria. Bahkan dia juga tak segan melakukan tindakan tak senon*h di samping rumahnya.
"Iya, Bu, saya akan berlajar dari Susi. Dia memang anak rajin, ya, Bu. Pagi-pagi sekali sudah keramas, pasti dia orangnya pembersih."
Ucapanku langsung membuat wajah Susi berubah sedikit pias. Ah, bisa ku tebak bahwa dia pasti takut dicurigai.
"Ya iyalah, dia memang sering mandi pagi. Katanya bagus untuk kesehatan." Bu Dina masih menyombongkan dirinya.
"Udah ah, Bu, ayo masuk," ajak Susi ketika ibunya baru selesai membuang sampah. Aku tahu bahwa dia pasti tidak nyaman dengan obrolan ini. Jelas saja, dia kan keramas karena tadi malam habis bertempur dengan kekasihnya. Tapi, aku masih penasaran siapa kekasihnya. Mengapa sepertinya tidak asing, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Welli Pare
kalimatnya agak ambigu ya, jangan di tambahin "seperti aku" yang baca jadi punya 2 konotasi berbeda
2023-06-24
0
վմղíα | HV💕
semangat Thor 💪
2023-03-19
0
Ayas Waty
wah siapa laki Susi semoga bukan bapakmu Aira
2023-03-04
1