Bercinta dengan Bang Anggara adalah seperti pemerkosaan bagi Indira. Hatinya merintih seolah tak rela tiap kali Bang Anggara menyentuh bagian tubuhnya.
Tapi Indira hanya bisa pasrah, dirinya tak pernah mampu untuk melawan kehendak suaminya. Hatinya menangis pilu walaupun ia sedang bercinta dengan suaminya. Baginya ini bukanlah bercinta tapi lebih pantas disebut sebagai pemerkosaan! Sikap Bang Anggara yang kasar benar- benar telah mengoyak diri nya plus dengan hati nya.
Malam itu, Indira mengira semua nya akan berlangsung cepat dan singkat. Tapi di luar dugaan! ban Anggara terus menerkamnya. Perkataan nya yang mengatakan dia akan segera kembali ke Jakarta untuk menemani malam istri pertama nya, bagaikan dia lupakan begitu saja.
Dia terus menerkam Indira sepanjang malam. Tidak memberikan Indira untuk beristirahat hingga sang mentari tiba.
"aku akan pulang ke Jakarta pagi ini untuk mengambil beberapa dokumen pekerjaan ku. Setelah itu aku akan menjemput mu. Kita akan pindah dari rumah Ridwan." Ucap nya sambil mengenakan kemeja nya di depan cermin besar di dalam kamar nya dan Indira.
Indira yang masih berada di atas tempat tidur tidak menjawab apapun. Pikiran nya masih kacau karena mimpi buruk yang dia alami malam tadi. Ya! Percintaan nya dengan bang Anggara benar- benar bagaikan mimpi buruk bagi Indira. Rasa sakit penyatuan tanpa pemanasan memberikan trauma tersendiri pada diri nya yang baru pertama kali melakukan se k seumur hidup nya.
Apalagi Anggara tidak hanya melakukan nya sekali, melainkan berkali- kali seolah tak pernah merasakan puas menikmati tubuh nya.
***
Dua bulan pun berlalu sejak kejadian malam itu. Indira dan Anggara tinggal di rumah mereka sendiri di Bandung meninggalkan rumah Ridwan sejak ritual malam pertama mereka.
Ngomong- ngomong soal Ridwan, seperti nya Ridwan sudah bisa menerima keadaan kalau kini istrinya sudah tiada. Dia kembali seperti Ridwan yang dahulu. Dan semangat nya untuk sang anak pun telah berkali - kali lipat.
Ridwan juga kerap mengunjungi Indira dan Anggara. Kadang - kadang Ridwan juga menitipkan Dodo karena memang jarak rumah Indira dan Ridwan tidak seberapa jauh.
Hanya saja satu bulan ini Dodo Ridwan antar kan ke rumah orang tua nya jadi Dodo. Hari ini Dodo sudah Ridwan jemput tapi dia tidak membawa Dodo ke rumah Indira karena Dodo sedang tidur.
Ridwan datang untuk mengantarkan oleh- oleh ayah dan ibu mertua nya untuk Indira.
Saat Ridwan masuk ke dalam ke perkarangan rumah Indira dan Anggara, Ridwan melihat Indira termenung seorang diri di beranda rumahnya. "Apa dia termenung karena masalah yang dia cerita kan waktu itu pada ku? Atau jangan - jangan dia termenung karena tidak ada lagi canda Dido mengisi hari-hari nya satu bulan ini?"batin Ridwan saat melihat Indira.
Tapi saat Ridwan akan mendekat, Indira yang tidak menyadari kedatangan Ridwan karena saking fokus nya dengan lamunan nya main masuk saja ke dalam rumah.
Di dalam rumah Indira mengambil foto diri nya dan Dodo yang terpajang di ruang tengah. Jujur di dalam hati Indira, dia merasa rindu dengan tawa dan tangis anak kecil itu.
"Apa ini arti nya aku sedang menginginkan seorang anak??" Gumam Indira sangat pelan.
Segera Indira tepis semua hayalan gila itu. Walaupun dia berkewajiban untuk melahirkan seorang anak bagi Anggara dan Silvia, tapi dia sama sekali tak pernah bermimpi untuk punya bayi mungil dari benih Bang Anggara.
Hal ini karena Indira merasa Bang Anggara bukanlah suaminya. Indira bahkan tetap menganggap Bang Anggara sebagai orang yang sudah mengoyak - ngoyak impian nya.
Saat pikiran nya terpusat pada kata Impian, kenangan akan masa- masa bersama Dikta muncul dan di saat itu lah sebuah perasaan rindu yang menyelusup tiba-tiba ke dalam hati nya. Rindu itu menghampirinya bersamaan dengan sekelebat bayangan Dikta di benaknya. Semakin terasa erat membungkus ruang hatinya. Indira rindu pada ayang nya itu. Rindu pada kecupan Dikta di keningnya. Pada belaian lembutnya. Dan tak terasa buliran bening itu kembali mengalir di pipinya. Satu-persatu menetes membasahi hingga ke dalam hati.
"Dikta..," panggilnya lirih.
Indira tersentak dengan suara handphone nya yang berdering keras. Ada satu panggilan masuk dari Bang Ridwan.
"Bang Ridwan?" ujar Indira sambil menghapus air mata nya. Dia tidak tahu kalau orang yang menelpon nya saat ini ada di luar rumah nya.
"Ya, halo Bang?" sapa Indira.
"Hai, kamu sedang di rumah Ra?" tanya Bang Ridwan.
"Aku sedang lihat- lihat foto Dodo ini. Udah lama dia tidak kesini. Oh iya! Tumben nelpon, ada apa?"
"Nggak apa. Aku hanya ingin tahu kaba kamu aja. Tadi Dodo nanyain. Dia sudah pulang. Tapi sekarang sedang tidur.." Ujar Ridwan sambil mengintip dari pintu masuk.
"Ooh-" jawab Indira singkat tidak bersemangat.
"Kamu baik-baik aja kan, Ra?" tanya Bang Ridwan tapi tidak langsung di respon oleh Indira. Dia terdiam sejenak.
"Apa aku harus kembali cerita pada bang Ridwan?" Batin Indira. Selama ini tanpa Indira sadari Ridwan telah menjadi tempat nya untuk mengadu segala keluh kesah nya. Dia sering ceritakan sikap Bang Anggara dingin dan terkadang tempramen pada nya.
"Hallo Ndira kamu masih di sana kan?" tanya Bang Ridwan cemas.
"Iya Bang.. aku masih dengar suara Abang," jawabnya dengan suara gemetar. Ada haru yang ia tahan di dadanya. Tapi Indira tak ingin orang lain tahu.
"Ada apa Ra? Apa Bang Anggara masih bersikap dingin pada mu? Tapi dia tidak memukulmu kan?" pertanyaann Bang Ridwan terdengar semakin cemas.
"Gak apa-apa Bang," jawab Indira lirih. Selama ini tak ada yang memperhatikan perasaan dan keadaannya selain Bang Ridwan.
"Jangan bohong pada abang, Ra? Bagaimana bisa kamu bilang gak apa-apa sementara kamu menangis? Ceritakan aja padaku, jangan kamu pendam sendiri!! itu tidak baik untuk kesehatanmu.”
Mendengar kata- kata bang Ridwan, akhir nya Indira tak dapat lagi membendung air matanya. la menangis terisak. Namun walaupun begitu belum ada satu patah kata yang keluar dari mulut. Semua tertumpah hanya dalam bentuk isak tangis yang pilu. Tapi suara isak tangis itu cukup bagi Ridwan untuk tahu apa yang Indira rasakan.
"Menangislah Indira, kalau itu bisa mengurangi rasa sesak di dalam hati mu. Menangis lah jika itu akan membuatmu lebih baik," Ucap Bang Ridwan lembut.
Lima belas menit lama nya Indira menangis, yang mana setiap detik nya suara tangis itu makin jadi dan semakin terisak..
Bang Ridwan yang merasa ini tidak lah saat yang tepat untuk mengantar oleh - oleh ke Indira akhir nya pulang setelah menemani Indria melepaskan sesak di dada.
Tapi setelah telpon dari bang Ridwan mati dan bang Ridwan pergi walau tanpa Indira sadari, tangis Indira semakin pecah. Berulang kali ia mencoba untuk menerima takdirnya. Dan mencoba menerima Bang Anggara sebagai suaminya. Tapisikap Anggara yang begitu dingin plus dengan kata- kata kasar yang kerap di tujukan ke Inidra membuat Indira secara tidak sadar kerap membandingkan Anggara dengan DIkta. Dan hal itu membawa semua perasaan cinta yang Indira kunci rapat jauh di dalam hati nya pelan- pelan kembali muncul ke permukaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Vyrne S W
apa indira mulai punya rasa kpd anggara
2023-03-02
1
Apit Latif
lanjut kak
2023-02-21
1
Nia Kurnia Luphdeatmangenyang
benang yg sangat kusut
indira ayo bangkit dan lawan tub si anggara
2023-02-21
1