Bab 19

Dosa Semalam 

Bab 19

"Kenapa nggak langsung ke rumah sakit?" tanyaku heran karena Fajar dibawa ke puskesmas.

"Ke sini saja dulu, nanti kalau memang harus ke rumah sakit, biar pakai ambulance lagian ambulance jalannya cepat–bebas hambatan."

Aku mengangguk dan ikut keluar bersama Fajar yang langsung berlari mencari perawat. Mereka kembali dengan mendorong brankar.

Fajar Fajar semakin pucat, tangannya semakin dingin. Aku sempat memegang tangan Fajar sebelum ibu melihat dan menepisnya. 

Dokter piket langsung memeriksa pergelangan tangan Fajar. Mengambil stetoskop untuk mendengar detak jantung. 

Aku lihat dokter itu berbisik kepada perawat yang membantunya. Gestur tubuhnya menggambarkan sesuatu yang tidak menyenangkan. 

Dokter tersebut menarik nafas, dia berjalan mendekati kami yang menunggu dengan penuh harapan.

"Keluarga pasien," ujar Dokter.

"Iya saya ibunya." Langsung ibu menyahut dan mendekat.

"Yang sabar, ya, Bu! Pasien sudah meninggal dunia. Waktu kematiannya sekitar dua sampai tiga jam yang lalu."

Ibu menjerit tidak percaya, dia berlari memeluk tubuh kaku Fajar. Sedangkan aku tersandar saja di dinding. 

Dokter wanita tersebut, menghampiri dan memelukku. "Yang sabar, ya, Kak! Maut, jodoh, rezeki semua ketetapan Tuhan. Kita tak ada yang tahu kapan  datangnya."

"Penyebabnya apa? Kenapa bisa mendadak begini?" Aku coba bertanya dengan suara terbatah-batah.

"Kalau itu, pihak rumah sakit yang tahu. Karena di sini alat tidak lengkap," jelas dokter.

"Kalau saya minta autopsi, bisa?" tanyaku lagi.

"Tentu bisa. Akan kami antar dengan ambulance kami."

Ternyata ibu mendengar, langsung saja ibu membantah dan menolak untuk mengotopsi jenazah Fajar. Dengan alasan dia tidak ingin Fajar semakin menderita. Tubuh Fajar akan dibelah, organ-organ dalam tubuh akan diperiksa satu persatu untuk mengetahui penyebab kematian mendadak seperti ini. Setelah didapatkan hasil, organ tersebut dimasukkan kembali dan tubuh Fajar akan dijahit untuk menutupi luka bekas sayatan pisau otopsi.

"Sama saja kamu menyiksa anak saya!" Tajam mulut ibu kepadaku.

"Sudahlah! Ikuti saja apa kata ibu." Arif berusaha menjadi penengah.

Kain panjang sudah menutup tubuh Fajar. Aku mencoba mendekat tetapi, dibentak ibu. Aku ingin memeluk Fajar untuk terakhir kali saja tidak boleh.

"Bu, izinkan Mika memeluk Kak Fajar terakhir kali."

"Kamu kotor. Jangan sentuh-sentuh Fajar!" 

Aku tahu, para perawat langsung melirikku. Aku hanya bisa melihat Fajar dari jarak dua meter.

Untung saja, dokter tadi mengerti dengan apa yang aku rasa, dia membujuk ibu untuk mengizinkan aku mendekati Fajar. 

"Dia istrinya almarhum, kan, Bu?" tanya dokter.

"Dia iblis! Dia menjijikkan! wanita pendosa!"  maki ibu.

Arif berusaha menenangkan ibu. Dia membawa ibu keluar.

Arif memberi isyarat untuk aku mendekati jasad suamiku.

"Kak, kenapa kakak tinggalkan Mika sendiri, Kak? Bukannya tadi malam kakak janji sama Mika, apapun yang terjadi kita hadapi berdua." Aku meletakkan kepalaku di atas dada Fajar.

"Kak, hari ini kita mau pulang ke kota, kan, Kak? Kenapa kakak pulang sendiri? Mika gimana, Kak? Mika nggak punya siapa-siapa di sini, Kak. Semua orang mencaci Mika, semua orang menghina Mika. Bangunlah, Kak!"

Aku menumpahkan semua tangisku di atas dada Fajar. Dada yang dulunya hangat saat memelukku. Kini dada itu dingin tidak berdetak. 

"Sabar, Kak! Kasihan anak kakak kalau Kakak seperti ini." Seorang perawat menenangkanku. Seorangnya lagi kembali menutup wajah Fajar.

Aku harus memberi tahu mama. Aku harap ada mama di sini menemaniku. Setelah menghubungi mama, dia berjanji akan langsung berangkat bersama supir pribadinya dan mama juga mengatakan akan mengajak Mak Ngah.

"Sudahlah Mika! Fajar biar dibawa pulang lagi," bentak ibu.

Setelah semua prosedur aku tandatangani termasuk surat keterangan tidak bersedia diotopsi, Fajar diantar pulang dengan ambulance. Saat aku ingin ikut di mobil ambulance, ibu mendorongku. Hampir saja aku terjatuh. Untung ada Fajar yang menahan punggungku.

"Jangan ngelunjak!" hardik ibu.

"Naik mobil saja!" ajak Arif kepadaku.

Di dalam mobil aku tidak berhenti menangis. 

"Fajar itu sebenarnya sakit," gumam Arif.

Aku langsung menoleh ke arahnya yang sedang menyetir.

"Sakit? Sakit apa?"

"Sudah lama sekali, waktu masih kuliah di kota. Aku pernah menemani Fajar berobat karena dia memang sering mengeluh sakit kepala. Hasil pemeriksaan Fajar terkena kanker otak." Arif diam sebentar, aku lihat matanya mulai berkaca-kaca. "Sejak saat itu, Fajar tidak mau lagi periksa-periksa ke rumah sakit."

Aku memejamkan mata, semua ini begitu berat bagiku. Aku kehilangan malaikat tanpa sayap.

"Dia sangat menyayangi kamu Mika. Sudah lama dia suka sama kamu. Mungkin inilah jodoh. Akhirnya kalian dipertemukan oleh perjodohan," sambung Arif.

"Sudah lama? Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Aku heran.

Arif menyebutkan nama universitas tempat dia dan Fajar kuliah. Sama seperti universitas tempat aku berkuliah juga.

"Kamu anak bisnis manajemen. Sedangkan kami anak pertanian," terang Arif.

Iya, gedung kami letaknya bersebelahan. 

"Dia takut mendekatimu karena beda kelas ekonomi. Kami kuliah dengan beasiswa sedangkan kamu salah satu anak dari orang tuanya  pemberi beasiswa."

Kenapa tidak dari dulu aku mengenal Fajar, mungkin  nasibku tidak seburuk ini.

"Urus saja anak itu dengan baik!" Arif menoleh ke arah perutku.

"Tapi, anak ini …."

"Aku tau. Dan  aku juga tau, Fajar sangat menyayangi anak itu seperti anaknya sendiri."

Tanpa terasa kami sudah sampai di depan rumah, iring-iringan bersama ambulance yang membawa jenazah.

Di depan rumah sudah ramai. Kursi-kursi sudah keluar. Di dalam rumah sudah terbentang tikar dan kasur ukuran single.

"Sombong, ya. Suami di ambulance dia tetapi di mobil cantiknya," gumam salah seorang warga terdengar jelas di telingaku.

"Kalau tak tau ceritanya, jangan berkomentar!" bentak Arif.

Fajar dibawa masuk ke dalam rumah oleh petugas puskesmas. Saat aku hendak masuk. Ibu langsung membentakku. Aku tidak diizinkan masuk.

Aku benar-benar merasa ditelanjangi di depan orang ramai. 

"Istri Kak Fajar itu saya, Bu. Bukan Ayu," protesku. 

Beberapa orang membujuk ibu, dan beberapa orang membawaku masuk. Walaupun duduknya tidak bisa terlalu dekat ke Fajar. 

"Kamu sabar, aja, ya! Maklum saja, Fajar anak satu-satunya. Ibu masih terkejut itu," ujar salah seorang sepupu perempuan Fajar.

Lalu dia menyodorkan surat Yasin kepadaku. Aku sudah bisa membacanya, dulu Fajar sudah mengajariku. Setiap malam Jumat kami sering membaca Yasin di rumah.

"Fajar pasti bangga sama kamu, Mik. Lihat saja dia pergi sambil tersenyum. Dia sudah berhasil merubah kamu," gumam Arif yang duduknya tidak begitu jauh dariku.

"Semoga saja, Bang."

"Nanti kamu ikut mandikan, Ya!" ujar sepupu Fajar lagi.

Aku cukup kenal dengan sepupu Fajar yang ini, karena Fajar sudah mengenalkanku dengan dia beberapa hari tinggal di sini.

"Apa boleh sama ibu?" Aku takut ibu marah dan kembali memalukan ku.

"Boleh, lah. Kamu istrinya. Ibu yang nggak boleh ikut memandikan Fajar," jelas sepupu Fajar lagi.

Terpopuler

Comments

Evi Sugianto

Evi Sugianto

Inalillahi utk kak Fajar, nangis aku ga pake bombay air mata basah dipipi di lap keluar lg good story thor bikin hati mata termehek-mehek 😩😢😥😭😭😭😭😭👏👍🌷🌹🌹🌹🌹🌹

2023-06-04

0

gaby

gaby

Geregetan sm Ayu. Apa bedanya dia sm Mika, nginep drmh pria bersuami bahkan terang2an dgn lancang menjawab panggilan tlp org lain. Kalo Mika pelakor, terus apa dong sebutan buat Ayu?? Pelakor ga laku2

2023-02-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!