Bab 8

Dosa Semalam 

Bab 8

"Kak …." Aku tidak sanggup meneruskan perkataanku

"Kenapa?" tanya Fajar yang posisinya sekarang sedang menyandarkan badannya di sandaran sofa.

"Mika, Mika minta maaf," ucapku lirih. "Selama ini Mika udah nggak sopan dengan. Sudah nggak anggap Kakak sebagai suami." Aku tidak sanggup lagi meneruskan perkataanku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Fajar melihatku lalu tersenyum. 

"Jauh sebelum semua ini terjadi, Kakak sudah maafin kamu." Fajar memegang tanganku.

Fajar mengatakan semenjak ibu menunjukkan fotoku kepadanya, dia sudah langsung tertarik. Setiap malam hanya berdoa agar dia dan aku memang berjodoh. Ternyata Allah menjawab doa yang telah satu tahun Fajar langitkan.

Apapun yang terjadi tadi, kami berangkat juga ke rumah mama, kami tidak ingin mama berpikir macam-macam karena kami tidak ada main ke rumahnya.

Sepulang dari rumah mama, Fajar langsung masuk ke kamarnya untuk istirahat. Sedangkan aku masuk ke kamarku. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan Om Bram. Tetapi, Om Bram sangat licik. Ternyata dia menyimpan video aku tanpa sengaja yang diam dia rekam saat aku mandi.

[Temani Om malam ini, Cantik]

Aku tahu ini sebagai ancaman untukku. Bagaimana jika benar-benar video itu disebarkannya. Ponsel ku lempar ke lantai, keringat bercucuran. Aku takut, sungguh takut.

"Mika? Mika kenapa sayang?" Suara Fajar memanggilku dari luar kamar. 

Segera aku turun dan membuka pintu. Saat pintu kubuka. Langsung aku memeluk Fajar. "Mika takut, Kak."

"Mika kenapa?" Fajar terlihat cemas. 

Fajar membimbingku ke tempat tidur. Menyuruhku duduk sedangkan Fajar keluar kamar mengambil air putih.

Setelah Fajar memberiku minum, dia mengutip ponsel yang dilempar tadi. Dia melihat video yang masih menyala tersebut. Aku tahu dia sedang menahan amarah dengan wajahnya yang memerah. 

"Kak, Mika minta maaf," rengekku. Hampir saja aku berlutut tetapi, Fajar menahanku. 

"Tolong jawab pertanyaan kakak jujur!" 

Aku mengangguk tanda bersedia.

"Video ini diambil sebelum kita menikah apa sesudah kita menikah?" 

"Sebelum, Kak."

Fajar memelukku. Pelukan ini begitu nyaman, pelukan tulus tanpa ada terselip nafsu birahi. 

"Kita hadapi bersama."

Aku terkejut dengan ucapan Fajar.

"Apa Kakak malaikat yang diturunkan ke bumi?" 

Fajar melepaskan pelukannya kini kami saling berhadapan, hidungku yang mancung langsung dicubitnya.

"Kakak nggak marah sama Mika?" Aku heran, kenapa Fajar bisa setenang ini.

"Semua orang punya masa lalu. Kalau semua ini hanya masa lalu,kenapa harus marah. Tapi, kalau mika lakukan semua ini saat sudah menjadi istri kakak. Ya, kakak akan pilih pisah." 

Sekarang aku takut kehilangan Fajar. Entah ini rasa sayang, entah ini hanya rasa kagum karena masih ada lelaki yang sebaik ini.

"Mika nggak pergi kerja?" Sepertinya Fajar mengalihkan pembicaraan agar aku tidak membahas itu lagi.

"Mika takut."

"Takut apa?"

"Hari ini ada rapat sesama investor. Pasti ada Om Bram." Aku tertunduk lesu.

Perusahaan ku bergerak di bidang pembibitan sawit yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan sawit terbesar di negara ini. 

"Kakak temani, mau?" 

"Serius?" Aku sangat senang mendengar tawaran itu. Tentu saja aku mau.

"Siap-siap deh." Fajar keluar kamar, aku langsung saja mencari pakaian terbaikku. 

Perutku belum kelihatan seperti orang hamil. Aku masih bebas memakai pakaian yang mana aku suka. 

Kali ini aku mengenakan celana panjang dengan atasan kemeja berwarna cream.

Saya bersamaan, Fajar juga keluar dari kamar, mengenakan kemeja perpotongan slim dengan celana berbahan jeans. Ternyata Fajar bisa juga bergaya lelaki kantoran. Gaya yang cukup membuat aku tercengang makin sempurna dengan sepatu pantofel.

"Jangan pakai hak tinggi!" larang Fajar saat melihat aku mengambil sepatu bertumit tujuh sentimeter. "Pakai yang ini!" Sebuah sepatu flat dia tunjuk.

"Kok, ini, Kak?" protesku.

Fajar mengatakan, sepatu flat lebih aman untuk wanita hamil. Takut nanti terpeleset atau apalah jika memakai sepatu bertumit tinggi dan dapat membahayakan janin.

Aku menurut saja, sudah syukur ada yang peduli dengan anak ini.

Sesampai di kantor, aku dan Fajar langsung menuju ruang meeting. Saat itu aku lihat Om Bram belum hadir. Aku berbisik kepada Fajar bahwa dia belum datang. 

"Kakak tunggu di luar, ya?" tanya Fajar kepadaku.

Aku melarang dia menunggu di luar. Aku akan mengamalkan  kepada investor dan rekan bisnis bahwa Fajar adalah suamiku.

Fajar izin keluar ruangan karena ponsel miliknya berdering. Dia harus menjawab telepon tersebut. Tentu saja aku mengizinkan jika hanya untuk menjawab panggilan telepon.

Saat Fajar sudah keluar ruangan, tidak lama Om Bram datang. "Maaf saya terlambat."

Om Bram merupakan investor terbesar, rapat sepenting apapun tidak bisa dimulai jika dia belum datang.

Om Bram akan duduk di sebelahku. Dengan cepat aku meletakkan tas di atas bangku tersebut. Aku lihat Om Bram memandangku tajam. Dia duduk di bangku yang sudah disediakan.

 

Tidak lama, saat rapat akan dimulai Fajar kembali. Ada tatapan tidak suka di mata Om Bram. 

Aku tidak menyangka Fajar bisa memberi masukan tentang pembahasan kami. 

"Kok paham, Kak?" bisikku.

"Kakak S1 pertanian." 

Aku menelan air liurku. Ternyata dia bukan lelaki kampung biasa. 

 

Rapat Pun usai. Kami sudah setuju dengan proyek baru yang akan kami kerjakan. Budidaya sawit yang akan menembus pasar internasional. Kami saling bersalaman satu sama lain. Kulihat, Fajar tidak mau menyalami Om Bram. 

Setelah semua keluar ruangan tinggallah Om Bram aku dan Fajar. Om Bram masih tenang duduk di bangkunya sambil memain-mainkan pulpen.

"Kak, Om Bram kenapa nggak pergi juga," bisikku di telinga Fajar sambil menggandeng tangannya.

Fajar menoleh, sepertinya dia terkejut. "Itu Om Bram?" 

Aku bingung, jadi kenapa dia tidak mau menyalami Om Bram jika dia tidak tahu Om Bram yang mana.

"Di suami kamu?" Suara Om Bram membuat aku terkejut.

"Iya. Dia suami saya." Semakin erat aku menggandeng Fajar.

Om Bram tertawa, tawanya penuh arti penghinaan. "Kamu tahu dia bekas Papa, Nak?"

Aku terkejut, hampir saja aku pingsan. Om Bram menyebut dirinya "papa"

"Lepaskan dia!" Hanya itu yang terucap dari mulut Fajar.

Fajar menarikku untuk meninggalkan ruangan tersebut.

"Kak …."

"Kalau tidak ada urusan lagi, kita pulang!" Ada nada kesal dari kata yang terlontar.

Di dalam mobil kami hanya diam. Aku lihat Fajar beberapa kali mengacak-acak rambutnya. 

"Pantesan kakak tidak asing dengan wajah wanita yang ke rumah kita."

"Siapa Om Bram itu, Kak?" Aku beranikan diri bertanya kepada Fajar.

"Brahmana Adi Yaksa."

Fajar menyebut nama lengkap Om Bram. 

"Lelaki biadab." 

Aku semakin terkejut mendengar ucapan Fajar. Ada apa Fajar dan Om Bram? Ya Tuhan. Jangan sampai mereka bapak dan anak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!