Dosa Semalam
Dosa Semalam
Bab 1
Umurku telah menginjak dua puluh delapan tahun, sudah cukup tua bagi orang-orang dulu dan sudah disebut perawan tua. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan itu. Hanya saja mama–orang tuaku yang masih hidup sibuk menyuruhku menikah. Sementara bagiku, menikah adalah pilihan kesekian karena dengan menikah sudah pasti aku tidak akan bisa sebebas ini lagi.
"Sampai kapan kamu begini terus, Mika?" Suara mama mengagetkan saat aku mencoba masuk rumah secara diam-diam.
"Udah kayak maling saja, mengendap-endap," sambung mama lagi.
"Belum tidur, Ma?" Aku terpaksa tersenyum bak kuda sedang menyengir.
"Sampai kapan kamu seperti ini, Mika? Hura-hura pulang malam," omel Mama di pukul satu dini hari.
"Aku butuh hiburan, lah, Ma. Seharian penat kerja di kantor. Apa salahnya aku pergi cari hiburan?" Aku masih saja mencari pembelaan atas perangaiku.
"Ya, salah. Anak gadis mana yang pulang jam segini?" Intonasi suara mama semakin meninggi.
"Kamu nggak bisa dibiarin. Secepatnya kamu harus punya suami." Mama melanjutkan omelannya.
Aku yang tidak mempedulikan omelan mama langsung saja menghentikan langkah.
"Menikah?"
Kulihat mama hanya mainkan kedua alisnya.
"Nggak, ah. Apa-apaan menikah." Seperti biasa aku akan menolak jika disuruh menikah.
"Nggak, nggak. Pokoknya aku belum mau menikah." Langsung saja aku masuk ke kamar dan menutup pintu.
Aku biarkan mama mengomel di luar kamar sendirian. Siapa suruh sudah tengah malam masih juga mengomel.
Aku lempar tas bermerk mahal pemberian Om Bram ke atas tempat tidur. Tanpa mandi, hanya berganti baju tidur langsung saja aku menjatuhkan badan ke atas tempat tidur berukuran besar.
Semenjak papa meninggal saat usiaku sepuluh tahun, aku kehilangan cinta pertamaku. Saat itulah aku mengalami patah hati terberat yang akhirnya saat berhubungan dengan laki-laki aku memilih lelaki dewasa yang usianya hampir sama seperti papa.
Seperti saat ini, aku sudah menjalin hubungan dengan Om Bram yang telah beristri dan mempunyai anak tiga. Om Bram sudah dua kali menikah. Dengan istri pertama Om Bram bercerai. Istri pertaman memilih berpisah dan sekarang entah di mana karena Om Bram ketahuan nikah sirih dengan istrinya yang sekarang ini.
Jika aku ingin dinikahi, aku adalah istri ke tiga Om Bram. Aku saja yang belum mau dinikahi. Dalam hubungan ini aku hanya ingin senang-senang.
***
"Kamu harus menikah. Mama sudah pilihkan jodoh yang cocok untuk kami," ucap mama saat kami sarapan.
"Sudahlah dipaksa menikah, calonnya pilihan mama juga. Apa, sih, mau mama?" Aku menggerutu mendengar ucapan mama.
"Mau tau mau mama?" Mama meletakkan sendok yang tadi dia pegang. "Mama mau kamu menikah. Mungkin dengan menikah kamu bisa berubah."
Wanita yang masih terlihat muda di usia lima puluhan ini terlihat sangat marah.
Aku mengangkat bahu bertanda tidak peduli dan meneruskan sarapan mie goreng kesukaanku.
"Mama mau pulang kampung tiga hari, kamu ikut?" tanya mama di sela kami sarapan.
Pulang kampung? Oh, tentu tidak. Sudah terbayang bagiku betapa membosankannya di kampung. Yang dilihat hanya hamparan sawah dan kebun-kebun sayur.
"Nggak, ah. Ngapain ke kampung. Ogah," bantahku dengan cepat.
Aku kira, mama akan membatalkan rencana pulang kampungnya jika aku tidak ikut. Ternyata, mama tetap berangkat. Terpaksa aku tinggal berdua Mak Ngah di rumah.
"Mama kenapa tiba-tiba pulang kampung?" selidikku penasaran.
"Mau jemput calon suami buat kamu."
Aku langsung terbatuk-batuk karena makanan yang aku masukkan ke mulut, tertelan sebelum dikunyah.
Langsung saja aku sambar minuman di atas meja dan tanpa sadar aku semburkan lagi, ternyata itu teh hijau punya mama.
"Baru dengar kata-kata calon suami saja sudah bikin aku tercekik. Itu bertanda suami itu hanya beban," gerutuku.
"Jangan membuat asumsi sendiri! Makanya disuruh sekolah itu, sekolah dengan baik. Biar pintar dikit." Mama berdiri dan mendorong pelan kepalaku dengan jari telunjuknya.
Aku cemberut dan menggaruk-garuk kepalaku yang nyatanya tidak gatal. Aku segera menyelesaikan sarapan. Lalu berangkat ke kantor peninggalan papa adalah rutinitas sehari-hariku.
Walaupun aku suka hura-hura tetapi, untuk urusan pekerjaan aku cukup baik. Dari awal aku mengambil alih perusahaan, secara signifikan kemajuan perusahaan terlihat jelas.
Berarti aku tidak sebodoh yang dibilang mama.
Sore hari, selepas jam kantor aku putuskan untuk pulang ke rumah. Bukan karena aku berubah, aku hanya ingin memastikan apa benar mama sudah bernagkat ke kampungnya. Jika sudah, untuk tiga hari ini aku bebas.
[Om, week end, yuk!]
Aku mengirim pesan kepada Om Bram.
[Maaf sayang. Week end ini, Om nggak bisa. Anak Om wisuda.]
Balasan pesan dari Om Bram membuat aku kesal. Kenapa, sih, aku hanya dijadikan selingan, bukan prioritas.
"Lihat aja, Om, ya. Aku nggak mau lagi muasin nafsu om," gerutuku di dalam hati.
Malam ini aku lewati bersama teman-teman baik itu wanita maupun pria, kami membuka room di salah satu club malam. Malam ini aku merasa bebas karena tidak harus mikirkan pulang.
Beberapa botol berkadar alkohol tinggi sudah pada kosong di atas meja kami. Kami pun sudah setengah mabuk. Terutama aku, semua terasa ringan hingga tubuh aku juga terasa melayang.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, keesokan paginya aku sudah mendapati tubuhku hanya ditutupi selimut tanpa sehelai sebenang pun.
"Dengan siapa aku tidur tadi malam?" Aku berusaha mengingat-ingatnya tetapi tidak ingat juga.
Aku ambil ponsel lalu mengirim pesan di grop pertemanan kami.
[Woi, anjir. Siapa yang niduri gue?] Pesanku kirim.
Tidak lama banyak balasan masuk dengan emotikon ketawa ngakak. Nggak ada satupun yang ngaku dan memang iya. Mereka saja masih dengan pasangannya.
[Nggak pakai pengaman lagi, kalau gue hamil gimana?] Kembali aku menggerutu di grop.
[Resiko ditanggung sendiri] Karina teman baikku membalasnya.
Yang lain pada membenarkan.
[Dasar teman-teman nggak ada akhlak] balasku lagi.
[Kalau kami punya akhlak, nggak mungkin berteman dengan iblis macam lu.]
Balasan itu sungguh tajam.
Sudahlah. Aku turun dari tempat tidur dan menguntip pakaianku yang sudah bertebaran di lantai.
Aku sudah kehilangan keperawanan sejak usia tujuh belas tahun. Dengan pacarku kala sekolah menengah atas yang kini dia sudah menikah dan punya anak satu.
Mama hanya tau aku suka dugem, dia tidak tahu bahwa anak kesayangannya ini sudah tidak perawan lagi. Senjata ini yang aku pakai untuk menolak laki-laki pilihan mama. Mana ada pria baik-baik mau sama wanita seperti aku.
Sinar matahari sudah masuk dari celah-celah gorden. Saat aku lihat jam di ponselku ternyata sudah pukul sepuluh pagi. Baiklah aku harus pulang ke rumah. Melanjutkan weekend di rumah saja dengan tidur sepanjang hari.
Pekanbaru, 27 Januari 2023
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Asphia fia
mampir
2023-04-18
0