Bab 14

Dosa Semalam

Bab 14

Setelah berganti kartu akhirnya rindu ku berkurang juga sedikit. 

"Bentar ya, Kak. Mika ke kamar Mika dulu."

Ternyata dia di kamar mama.

Setelah di kamarnya sendiri, Mika semakin nakal menggodaku.

"Makanya cepat pulang, ya, Kak!"

"Iya dua hari lagi Kakak pulang," bujukku untuk Mika. 

Keesokan hari terdengar cerita-cerita miring yang beredar di tengah masyarakat karena Ayu menginap di rumah kami. 

Wajar mereka berpikiran negatif. Aku lelaki beristri pulang ke kampung sendirian, lalu gadis itu menginap di rumahku. 

Aku pun mendengar mereka menerka-nerka bahwa aku dan Ayu sudah nikah siri. 

"Apa yang Fajar takutkan, terjadilah, Bu?" 

"Kalau memang Ayu lebih baik, kenapa tidak."

Aku yang kesal meninggalkan ibu di ruang tamu. Aku pergi ke kebun, melihat para pekerja yang sedang bekerja. 

Aku sudah mulai tidak nyaman berada di kampung halaman sendiri. Tidak lain karena desas-desus itu.

"Apa yang terjadi sama kau dan Ayu, Jar?" tanya Rudi–sahabatku.

"Tak tau aku. Anak itu tak pulang-pulang. Aku suruh pulang, ibu bela-bela," keluhku dengan sedikit nada kesal.

"Saran aku. Kalau urusan kau sudah siap. Baliklah ke kota lagi. Nanti sampai berita ini ke istri kau, jadi masalah lagi."

"Makasih teman atas perhatiannya. Besok malam rencana aku belik. Nunggu pupuk datang dulu. Jadi aku balik semua udah beres."

"Aku percaya sama kau." Rudi menepuk bahuku dan dia melanjutkan pekerjaannya lagi.

Matahari sudah mulai terbenam, aku putuskan untuk pulang ke rumah. Dari kejauhan aku melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman rumah. Kupercepat langkahku. Dalam pikiranku, Mika datang menyusul. Lima hari tidak bertemu dia, membuat aku rindu.

"Jadi? Dia mengandung anaknya Brahmana?" 

Dari luar rumah sayup aku mendengar suara ibu.

"Ya Allah, dosa apa yang telah aku perbuat, sehingga engkau beri aku cobaan seperti ini." Aku berlari ke dalam rumah, saat mendengar ibu meraung.

Dadaku naik turun melihat yang datang adalah istri Brahmana. Tidak lain adalah perusak rumah tangga ibu dan Brahmana. Wanita yang membuat aku kehilangan indahnya masa kecil. Sekarang dia akan membuat aku kehilangan indahnya berumah tangga.

"Apa tujuan anda seperti ini?!" bentakku.

"Fajar, jujur nak. Jujur sama ibu. Apa benar yang dia katakan?" 

"Tidak," jawabku mantap.

Aku bingung, jika aku menceritakan yang sebenarnya, bertambah jelek Mika di mata ibu.

"Anda juga, nyonya Brahmana. Apa tujuan anda? Siapa yang ingin anda hancurkan?" Aku tatap matanya penuh amarah.

"Mika." Dengan angkuh dia menjawab.

"Asal anda tahu. Yang hancur bukan saja Mika. Bisa anda lihat yang terjadi sekarang? Apa anda tak puas sudah membuat hidup kami susah? Sampai sekarang pun anda bikin kami seperti ini!?" bentakku.

"Saya tak pernah mengusik anda. Jadi jangan usik saya!" Aku kesal. Tidak tahu bagaimana lagi cara melampiaskan kekesalan ini.

"Tinggalkan! Tunggakan ****** itu!" Raung ibu.

Hal itu membuat wanita iblis itu tersenyum puas. 

"Bu, nanti. Setelah anak itu lahir." 

Aku duduk di lantai. Para tetangga sudah berdatangan karena mendengar keributan yang terjadi di rumah kami. 

Tanpa ada rasa bersalah, iblis itu pun pergi meninggalkan semua yang telah dia perbuat.

Tetangga yang berdatangan, berbisik-bisik seperti lebah.

"Fajar besok pulang, Bu," aku membuka suara setelah mereka bubar dengan sendirinya.

"Lakukan jika Fajar tidak menganggap ibu lagi!" Aku lihat ibu sangat marah. Baru kali ini, ibu seperti ini.

"Bu, janganlah begitu. Fajar mohon."

Aku beringsut mendekati di mana ibu duduk. 

"Maafkan ibu. Yang memaksa kamu masuk dalam perjodohan ini." 

"Ibu sudah melakukan hal yang benar. Fajar bahagia, Bu. Fajar bahagia dengan pernikahan Fajar." Aku berusaha meyakinkan ibu.

Aku tahu rasa sakit yang ibu rasakan. Sudah dikhianati suami, kini mantan suami menanam benih dalam janin menantu ibu. Apa cinta membuat aku buta? Aku masih berharap itu bukan gen yang sama denganku.

"Tinggalkan dia!" Hanya itu yang selalu ibu ucapkan.

Ibu tidak ada makan sama sekali, dia hanya mengurung diri di kamar. Berapa kali aku membujuk ibu tidak peduli. Aku menyerah. Dengan berat hati aku meminta bantuan Ayu agar ibu mau makan.

"Bu, Fajar harus bagaimana?" tanyaku dari luar kamar.

"Tinggalkan dia! Mana mungkin kamu membesarkan anak yang seharusnya jadi adik kamu." Suara ibu terdengar lemah.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Tidak mungkin juga aku melawan ibu yang selama ini berjuang membesarkan aku.

"Bu, keluarlah dulu. Kita bicara baik-baik." Ayu membantuku membujuk ibu.

Aku mendengar ibu membuka kunci pintu. "Jika kamu masih ingin membela dia, lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan hiraukan Ibu."

"Bu, jangan bicara gitu!" Potong Ayu.

"Baiklah, Bu. Fajar ikut mau ibu. Asalkan biarkan Fajar menemui Mika dulu."

Aku pasrah, aku serahkan semuanya kepada Tuhan. Tuhan pasti sudah punya rencana yang indah untuk kami.

Belum selesai masalahku, ibu dan Mika, datang lagi masalah baru yang membuat kepalaku sakit. 

Bukan, bukan masalah baru. Ini masalah lama yang aku tahan sendiri. Ya, masalah kesehatanku. Semenjak lama aku sudah mengidap sakit kepala yang aku sendiri tidak tahu sakit apa. Bukan tidak ditemukan sakitnya. Aku saja yang tidak melakukan pengobatan lanjutan.

"Fajar  ke kamar dulu," pamitku kepada ibu yang sudah berdiri di luar kamar.

Aku buka laci dimana aku menyimpan obat. Ya, hanya obat warung yang aku konsumsi di kala sakit ini menyerang.

Ya Allah, kenapa Mika menelepon pada saat aku kesakitan seperti ini. Panggilan pertama aku abaikan. Sampai tiga kali panggilan video call, barulah aku menjawabnya. Terpaksa aku menjawabnya dengan senyum yang aku terpaksa aku buat.

"Sayang, chat aja ya, sinyal putus-putus." Terpaksa aku berbohong kepada Mika.

Setelah sakit kepalaku mulai menghilang, telingaku bisa menangkap pembicaraan ibu dan Ayu di ruang tamu karena letak kamarku tidak jauh dari situ.

"Kalau Ibu sudah tua dan sakit-sakitan. Kamu mau jadi pendamping hidup Fajar? Aku mendengar ibu mengatakan itu.

"Bu, Bang Fajar sudah menikah."

"Itulah kesalahan terbesar ibu. Menjodohkan Fajar dengan orang yang salah." 

Jantungku berdetak tidak karuan. Aku mendengar ibu mengatakan itu. 

"Setelah anak itu lahir dia akan bercerai. Kamu dengar sendiri, kan, Ayu?"

Ya Allah, kenapa ibu bisa menjadi tega seperti ini.

Bu, bagaimana harus Fajar katakan bahwa anak itu belum tentu anak Brahmana. Kalau Fajar katakan, bertambah buruk ibu menilai Mika.

[Kakak kapan pulang] satu pesan masuk dari Mika.

[Besok kakak pulang. Berangkat malam. Nanti sampai subuh. Mika jangan nginap rumah mama, ya!] Aku membalas pesan dari Mika.

Tes DNA adalah jalan paling tepat. Enam bulan bukan waktu yang lama. Sabar, Ma. Enam bulan lagi kita tahu siapa ayah dari anak itu. 

Semoga dalam enam bulan ke depan, ibu bisa menerima Mika seperti dulu lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!