Bab 6

Dosa Semalam

Bab 6

Suka-suka aku." Aku masih saja membantah. Aku hanya menutupi, aku tidak ingin terlihat kalah di hadapan Fajar.

Fajar masuk ke kamarnya dan aku masuk ke kamarku. Aku pusing, aku tidak tahu siapa ayah biologis anak ini, bagaimana jika dia besar nanti. Jika aku jujur tidak mengetahui siapa ayahnya, anakku akan tahu betapa bobrok kelakuan ibunya.

Aku memukul-mukul perut karena kehadiran dia hidupku jadi kacau. Yang paling parah, aku harus menikah dengan orang yang baru aku kenal.

Aroma nasi goreng sampai ke kamar, sehingga dapat membangunkan ku. Betapa terkejutnya saat melirik jam di dinding. Ternyata sudah pukul setengah tujuh. 

Aku langsung bergegas ke kamar mandi, bisa-bisa aku terlambat untuk menghadiri pertemuan dengan investor terpenting pagi ini.

Dengan memakai setelan kerja dengan rok di atas lutut, aku bergegas keluar kamar. Mencari sepatu mana yang cocok aku pakai.

"Aku pergi dulu," ujarku saat melewati Fajar yang sedang menyiapkan sarapan.

"Sarapan dulu!" 

"Nggak sempat," teriakku.

Aku mencoba menyalakan mobil, berkali-kali aku putar kunci mobil tetapi, mesinnya tidak juga mau menyala.

"Sialan," aku baru menyadari ternyata bahan bakarnya habis.

Dengan kesal aku turun dari mobil dan menghempas pintu mobil. 

"Anterin aku ke kantor!" perintahku kepada Fajar. 

Di rumah, ada motor yang dipakai Fajar untuk berkeliling mengenal kota ini.

"Naik motor dengan tampilan begitu?" Fajar memandang dari atas ke bawah. "Ganti rok kamu!" perintah Fajar.

Anehnya aku menurut saja mengganti rok mini dengan celana panjang. 

Saat aku keluar dari kamar, Fajar sudah menunggu di atas motor, dengan sesuatu tergantung pada gantungan motor.

"Pakai ini." Fajar menyodorkan helm.

"Lihat, nih!" Aku menunjukkan bahwa tanganku penuh Kiri dan kanan bagaimana caranya memakai helm dengan kondisi seperti ini.

Akhirnya Fajar membantuku memakai helm, jarak kami sangat dekat. Ternyata Fajar itu manis juga. Bisik hatiku.

Memotong dan menyalip kendaraan di depan, itulah yang Fajar lakukan agar aku sampai di kantor tepat waktu.

Setelah aku turun dari motor dan Fajr kembali membantuku membuka helm, dia menyodorkan sesuatu yang menggantung di motor tersebut.

"Sarapanlah jika sempat!" ujar Fajar dan dia pergi.

Aku segera menuju ruangan untuk meletakkan bekal sarapan yang dibawakan oleh Fajar.

"Diantar dengan siapa itu, hayo?" ledek Om Bram yang ternyata salah satu investor di proyek yang perusahaanku pegang.

"Supir."

"Supir kok tatapannya beda."

"Tatapan siapa?"

"Tatapan laki-laki itu. Ada tatapan rasa sayang dari matanya."

"Itu urusan dia, bukan urusanku." Aku harus berbicara sedikit formal di depan orang.

Sehingga tidak ada yang  boleh tau aku ada hubungan khusus dengan Om Bram.

Selesai rapat, Om Bram ikut ke ruanganku. Aku mencoba melihat sekeliling. Aku ingin berbicara perihal kehamilan ini.

"Hamil?" Om Bram terlihat terkejut. "Kita nikah!"

Sekarang aku yang terkejut mendengar ajakan Om Bram.

"Kita bisa nikah siri!" Kembali Om Bram bersuara.

"Nggak bisa." Dengan spontan aku menjawabnya.

"Why?"

"Bisa-bisa aku dicoret dari kartu keluarga jika ketahuan hamil apa lagi dengan suami orang."

Walaupun aku tidak yakin, apa benar Om Bram ayah biologis bayi ini.

Pembicaraan kami terhenti karena ada ketukan pintu dari luar. Saat sekretaris ku masuk, Om Bram keluar ruangan. 

Sekarang tinggal aku sendiri di ruangan. Tidak lama seorang office girl datang membawa minuman dan kue basah ke ruanganku.

"Ini untuk kamu." Aku memberikan bekal yang disiapkan Fajar kepada office girl tersebut.

Aku tidak suka sarapan seperti ini. Dan aku juga tidak suka menerima kebaikan Fajar.

Sore harinya aku terpaksa pulang menggunakan ojek online. Mau menghubungi Fajar, aku saja tidak tahu nomor ponselnya.

Sesampai di rumah, pintu terkunci. Untung saja aku membawa kunci cadangan. Keadaan rumah sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan. 

Berkali-kali aku memanggil nama Fajar tetapi, tidak ada jawaban. Hanya secarik kertas yang aku temui tertempel di pintu kulkas.

"Maaf saya berangkat sekarang, mau memberi tahu tapi saya tak punya nomor ponsel kamu. O iya, itu ada susu hamil, jangan lupa diminum setiap malam ya. Jaga diri kamu dan anak kita."

"Anak kita?" cemoohku setelah membaca isi surat yang ditinggalkan fajar.

Yes, aku bebas. Tidak ada yang mengatur dan melarang-larang aku mau keluar dan pulang jam berapa 

Pesanku kirim ke grup whatsapp, mengajak teman-temanku menghabiskan malam di rumahku. Ternyata mereka setuju.

Malam pun tiba, satu persatu mereka datang membawa bermacam-macam makanan dan minuman. Sudah pasti tidak ketinggalan  minuman beralkohol.

Dentuman musik membuat hidup suasana malam ini. Gelas di depanku sudah terisi penuh alkohol. Ingin aku meneguknya. Namun, soalnya aku teringat ucapan Fajar agar aku jangan egois. Aku letakkan kembali gelas tersebut, aku juga takut jika anak ini terlahir cacat. Betapa malunya aku.

"Kenapa lu letak lagi? celoteh salah satu dari temanku.

"Gue lagi hamil, anjir."

Mereka pada tertawa.

"Katanya nggak mau dijodohkan, nyatanya hamil juga."

"Bukan anak dia keles," sahutku.

Semua terdiam. Aku menjelaskan bahwa aku hamil sebelum menikah dan dia juga tahu tetapi, masih saja mau menikahiku.

"Sisakan satu seperti itu, Tuhan!" gumam Salah seorang teman perempuanku.

"Bekas Mika mau lu?" tanya Karina.

"Bukan bekas kali, masih original itu."

Satu ruangan tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, kenapa aku jadi tidak senang mendengar teman-temanku membicarakan Fajar.

"Tapi, setelah anak lu lahir, lu harus tes DNA, deh!" Saran mereka.

"Anjing, Lu!" Emosiku mulai naik.

"Kan benar. Gue yakin bukan Om Bram aja yang pernah tidur dengan lu," sambung mereka lagi.

"Kalian, kalau mau lanjut. Lanjut aja. Gue tidur dulu." 

Tiba-tiba semangatku sudah hilang, saat mereka mengolok-olok Fajar tadi. Walaupun, aku tidak menyukai dia, sebenarnya dia tidak ada salah sedikitpun kepadaku.

"Ya, ibu hamil sekarang tidurnya cepat, ya?" ledek mereka lagi.

"Whatever." Aku pun masuk kamar, meninggalkan mereka.

"Selesai beresin langsung. Gue nggak punya pembantu," teriakku setelah beberapa langkah menjauh dari ruangan yang penuh asap rokok.

"Tau gue. Pembantu lu lagi pulang kampung, kan?

"Enak, ya. Punya suami sekalian pembantu."

Dadaku tiba-tiba sesak mendengar mereka mengatakan itu. Kenapa aku begini. Masa sih, satu bulan menikah membuat aku berubah baper. Apa ini hormon saat hamil.

Mereka semakin menjadi-jadi menertawakan Fajar. Mereka menertawakan orang yang tidak mereka kenal.

Aku urungkan niat ke kamar. Aku berbalik arah, mendekati mereka.

"Sudah malam, silahkan pulang!" ucapku pelan tetapi dengan nada ketus.

Semua pada terkejut, rasa tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Sepertinya Karina mengerti bahwa aku sedang benar-benar marah, dia mengajak teman-teman yang lain pulang. 

Setelah yang lain sudah keluar rumah, Karina balik lagi menemuiku yang kini sedang duduk di sofa.

"Lu baik-baik aja, Mik?" Karina memegang pundakku.

"Gue nggak tau. Tapi, hati gue sakit saat mereka mengolok-olok Fajar." Aku mengatakan itu sambil menangis.

Terpopuler

Comments

momnaz

momnaz

jangan pernah meremehkan The power of ijab qobul....

2023-02-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!