Dosa Semalam
Bab 4
Fajar keluar rumah menyusul aku yang duduk sendiri di pondok-pondok di atas kolam ikan.
Saat Fajar mendekat, aku menyukai aroma sabun yang masih menempel di tubuh Fajar. Akan tetapi, dengan cepat aku menepisnya. Tidak ada satupun yang boleh aku sukai dari diri Fajar.
"Ada apa jauh-jauh kemari, Mika?" tanya Fajar dengan nada suara yang begitu lembut.
"Aku menanyakan perihal perjodohan itu," ujarku tanpa menatap Fajar.
Fajar tidak menjawab. Sehingga aku harus menanyakan lagi apa perjodohan itu masih berlaku.
"Saya tidak mengenal siapa ayah kamu. Saya mendengar kebaikan ayah kamu kepada ibu saya. Tidak ada alasan untuk saya menolak perjodohan ini. Mungkin dengan cara ini saya membalas kebaikan ayah kamu."
Jawaban Fajar terdengar sok bijaksana. Bilang saja dia tidak dapat menolak perjodohan ini karena aku cantik dan juga kaya. Sehingga dia dan ibunya bisa bergantung hidup dengan keluargaku.
"Tapi, seandainya kamu tahu bahwa sekarang saya sedang hamil, apa kamu masih mau menerima perjodohan ini?" Aku berbicara dengan sedikit merendahkan volume suara agar tidak ada yang mendengar.
Ada sepuluh menit aku dan Fajar hanya diam. Hingga satu hal yang mengejutkan membuat aku benar-benar tidak percaya.
"Jika ini jalan Tuhan dan takdir Tuhan untuk saya. Saya terima dengan ikhlas."
Aku tidak menyangka Fajar mau saja menerima aku. Dasar mau numpang hidup.
"Siapa bapak dari anak itu?"
Aku terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Fajar. Aku menggeleng, tentu saja aku tidak tahu siapa ayah dari bayi yang aku kandung.
Fajar melihatku, tatapannya begitu membuatku salah tingkah.
"Saya tahu, niat kamu datang menemui saya dan menerima perjodohan ini hanya karena ingin menutup kesalahan kamu."
Aku terdiam mendengar perkataan Fajar. Kenapa dia bisa tahu niatku yang sebenarnya.
Aku tidak menjawab, karena tidak ada yang perlu dijawab. Saat itu mataku tertuju pada pohon jambu air yang sedang berbuah, buahnya begitu menggoda dengan warna merahnya tersebut.
"Kamu mau?"
Kali ini Fajar juga tahu maunya aku.
Aku mengangguk dengan semangat. Fajar turun dari pondok dan berjalan menuju pohon jambu air. Setelah mencoba untuk menggapainya tetapi, tidak bisa diambil. Akhirnya Fajar memanjat pohon jambu tersebut demi buah yang agak asam itu.
Saat itu aku melihat ada seorang gadis desa yang cukup cantik datang ke rumah Fajar sambil membawa tentengan.
"Itu pacar kamu?" ledek aku kepada Fajar yang sedang duduk menghadap kolam ikan
Fajar menoleh ke arah gadis itu. "Saya belum pernah pacaran."
"Jadi dia siapa?" tanyaku penasaran.
"Anak pak haji. Juragan sapi di kampung sini."
"Sepertinya dia suka sama kamu. Dari tatapan matanya, dia cemburu," jelasku kepada Fajar.
Fajar tertawa kecil mendengar ucapanku. "Mana ada perempuan yang suka sama petani macam saya ini."
Saat itu juga aku menyampaikan bahwa pernikahan ini hanya sampai anak yang aku kandung lahir.
"Setelah anak ini lahir kamu boleh mentalak aku!"
Fajar hanya melirik ke arahku yang tengah asik mengunyah jambu air.
Hari pun mulai sore, aku pamit pulang. Dengan alasan tidak enak dengan tetangga di sini jika harus menginap sedangkan aku belum ada hubungan dengan Fajar. Begitu yang aku katakan kepada Ibu Rahmi agar beliau tidak tersinggung.
Sebenarnya mana bisa aku tidur di rumah seperti rumah mereka ini. Rumah yang kecil besar rumah mereka hanya sebesar ruang keluarga di rumahku.
***
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, aku meminta mama mempersiapkan pernikahan itu selama satu Minggu. Tidak perlu ada pesta, cukup saja sah di mata agama. Toh, aku juga tidak ingin teman-teman tahu bahwa aku sudah menikah dengan lelaki seperti itu.
Hanya lelaki miskin yang memberikan mahar satu cincin emas seberat satu emas.
Hari ini kami masih tinggal di rumah mama sampai aku selesai membereskan pakaian. Aku berusaha sesegera mungkin memindahkan barang-barang dari rumah mama ke rumahku. Aku tidak tahan harus berpura-pura manis kepada Fajar jika ada mama.
Aku melihat Fajar mengambil baju kaos oblong dan sarung yang akan dipakainya saat tidur. Jangan harap ada malam pertama. Tidur seranjang dengan dia saja aku merasa jijik.
"Tidur di bawah!" Aku melempar bantal dan selimut ke lantai.
Fajar tidak menjawab. Dia hanya memungut bantal yang aku lempar asal ke lantai.
Diambilnya selimut bedcover, selimut itu yang dijadikannya alas untuk dia tidur di lantai.
Biarlah, mana aku peduli itu. Makanya aku ingin cepat pindah dari rumah mama ke rumah pribadiku. Biar kami bisa pisah kamar.
"Mika bangun!" Sayup-sayup aku mendengar suara.
Kaki terasa ada yang menggoyangkan.
"Apa sih?" bentakku setelah tahu itu ulah Fajar.
Mataku masih perih, sulit untuk dibuka.
"Salat Subuh dulu!"
"Apaan, sih? Orang masih ngantuk. Salat aja sendiri!" Kembali aku menarik selimut. Menutupnya hingga ujung kepala.
Ih, suara Fajar membaca Al-Qur'an membuat aku tidak bisa meneruskan tidur. Kesal sekali rasanya. Aku ambil lagi bantal dan kututup ke telingaku.
"Berisik tau nggak?!" teriakku sembari bangkit dan kini tengah duduk di atas kasur menatap tidak suka kepada Fajar.
"Maaf, kalau kamu terganggu," Fajar menutup Al-Qur'an dan melipat sajadah.
"Nggak tau masih pagi, ganggu orang tidur aja," makiku.
Aku mendengar pintu kamar dibuka. Mungkin lelaki kampung itu yang keluar kamar. Terserah dia mau kemana asal tidak mengganggu tidurku.
Sialan, aku sudah tidak bisa tidur lagi. Ini semua karena lelaki kampung itu yang berisik subuh-subuh.
Aku mencari-cari ponsel yang terhimpit oleh bantalku. Di sana sudah ada pesan masuk dari Om Bram.
Om Bram juga tidak tahu bahwa aku sudah menikah.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka lagi, ternyata Fajar masuk.
"Dari mana?" tanyaku ketus.
"Nyiram tanaman di belakang," sahut fajar lalu duduk di ujung tempat tidur.
"Mirip pembantu aja!" ketusku.
"Saya bingung, nggak tahu harus mengerjakan apa."
Aku turun dari tempat tidur hanya mengenakan hotpants dan tanktop. Aku sengaja menggoda Fajar. Lucu saja jika melihat lelaki sedang menahan nafsunya.
Ternyata aku salah, tidak sedikitpun Fajar melirikku walaupun aku sengaja mondar mandir di hadapannya. Kesal sekali aku melihat lelaki kaku ini.
"Boleh saya meminjam laptop kamu?"
"Emang kamu bisa?" Pertanyaanku seolah meremehkan.
Bukan tanpa alasan aku seperti itu. Lihat saja, Fajar masih menggunakan ponsel lama yang hanya bisa untuk menelepon dan berkirim pesan singkat.
"Pakai saja kalau kamu bisa," ketusku.
Rasa mual kini datang lagi, aku berlari ke dalam kamar mandi, berkali-kali aku muntah hingga tubuhku lemas dan terduduk di lantai kamar mandi.
Fajar datang dan membantuku berdiri kemudian dia memapahku ke tempat tidur.
"Saya ambilkan air hangat dulu." Fajar pun pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments