Dosa Semalam
Bab 11
"Kak, jangan ceraikan Mika!" Kali ini aku bermohon kepada Fajar.
Tidak sanggup aku membayangkan jika harus kehilangan malaikat seperti Fajar.
"Mana bisa menceraikan orang hamil," jawab Fajar yang terkesan ambigu.
Apa nanti setelah anak ini lahir dia akan menceraikanku?
Seketika teringat atas perjanjian tertulis yang pernah aku bikin dulu.
Malam ini aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Aku rasa Fajar juga sama. Namun, cara Fajar menghabiskan malam sangatlah elegan. Aku lihat dia habiskan malam dengan salat, berzikir dan mengaji.
"Kak," panggilku pelan.
"Iya." Fajar menoleh. "Belum tidur?"
"Ajarin Mika ngaji, boleh?" tanyaku ragu-ragu.
"Alhamdulillah." Fajar mengulurkan tangan ke arahku.
Aku sambut uluran tangan Fajar lalu turun dari tempat tidur. Hal paling romantis yang aku rasa saat ini ketika Fajar mengambilkan mukenah dan memakaikannya untukku. Dengan lembut, dia merapikan rambut-rambut yang keluar dari balik mukenah.
***
Tuhan, pintaku hanya satu. Janganlah semua ini hilang dariku. Baiklah aku rengkuh kebahagiaan hakiki ini.
"Kamu jangan banyak pikiran, ya! Kasihan anak kita."
Darahku langsung mengalir kencang, akibat jantung memompa menjadi kuat karena terkejut oleh kalimat yang Fajar katakan.
"Anak kita?" Ulangku dengan nada bicara sedikit haru.
"Iya. Kita yang menjaganya, kita yang akan membesarkannya. Dia nggak salah." Fajar mengusap perutku yang mulai membuncit. "Tidak akan aku izinkan siapapun mengambilnya."
"Tunggu bentar, Ya, Kak." Aku berdiri mengambil sesuatu dalam laci meja kerjaku.
Sebuah ponsel terbaru aku belikan untuk Fajar.
"Tapi, ini masih bagus, Kok. Tahan banting lagi." Fajar menunjukkan ponsel poliponik miliknya.
"Ya, udah. HP lama untuk kerja. HP baru khusus untuk berkirim pesan dengan Mika aja!"
"Kakak terima, ya," ujar Fajar.
Uji coba pertama, kami gunakan untuk saling berfoto.
"Nah, dengan HP ini, Kakak juga bisa foto-foto hasil panen kakak," ujarku.
Fajar mengatakan bahwa sayang kalau pakai HP android. Nanti cepat rusaknya, siapa tahu saat di kebun, hp nya jatuh atau kena air.
Sedang asyik bercengkrama di Minggu pagi. Aku harus dikagetkan dengan telepon dari mertuaku yang mengatakan dia menyuruh Fajar pulang kampung. Beliau mengatakan ada hal penting yang harus diurus.
Akan tetapi, firasatku berkata lain. Hal penting ini tidak akan jauh dari masalah yang aku hadapi.
"Mika ikut ke kampung?" tanya Fajar kepadaku setelah panggilan telepon dimatikan.
"Apa boleh?" jawabku ragu.
"Kamu istri Kakak, kenapa tidak boleh?"
"Kakak saja yang berangkat tapi, pulang lagi, ya!" Aku mengalah, aku tidak mungkin pergi.
"Nggak mungkin kakak ninggalin kamu sendirian di rumah. Urusan kantor curi aja dulu!" Fajar terus memaksaku untuk tetap ikut.
"Mika takut ibu tahu masalah ini dan mengusir Mika." Seandainya Fajar tahu betapa besar rasa takut ada di dalam diriku.
***
Saat mereka akan berangkat, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Mak Ngah yang mengabarkan mama sakit dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Mengetahui kabar itu Fajar langsung saja mengajakku untuk menyusul mama ke rumah sakit.
Keadaan jalan masih sunyi, karena kami mendapat kabar itu sesaat setelah kami selesai melaksanakan Salat Subuh.
Sesampai di rumah sakit aku melihat mobil mama terparkir di depan ruang ICU. Aku berlari melihat kondisi mama. Kata dokter yang memeriksa mama saat ini. Mama mengalami vertigo.
Vertigo merupakan rasa pusing yang menimbulkan sensasi palsu bahwa seseorang atau lingkungan di sekitarnya berputar atau bergerak. Salah satu pemicu vertigo adalah stres.
"Kakak kalau mau berangkat, berangkat aja. Bajunya sudah siap di mobil. Tas Mika aja turunkan!" ujarku kepada Fajar.
"Pulang kampung bisa ditunda, kok. Kita tunggu mama sehat saja." Mendengar jawaban Fajar hati ini tenang.
Satu jam di ICU mama akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Mama sadar, dia tahu atas kedatanganku tetapi, mama tidak mau untuk melihatku sejak di ruang ICU tadi.
Seandainya mama tahu, Fajar adalah anak dari laki-laki yang aku pacari, mungkin mama akan sangat membenciku.
"Capek?" tanya Fajar kepadaku.
Kami hanya menunggu di luar ruangan. Karena mama tidak mengizinkanku masuk.
"Nggak, Kak."
"Mika yang kuat, ya. Kita hadapi semuanya berdua." Fajar menggenggam tanganku.
"Ibu bagaimana, Kak?"
"Kakak tahu ibu, biarlah Kakak yang menghadapinya."
Fajar mengabari bahwa dia tidak jadi pulang hari ini karena mama sedang sakit. Aku mendengar pembicaraan mereka, terdengar ibu sangat marah dan mengharuskan Fajar berangkat hari ini juga.
"Pulanglah, Kak!"
Fajar melihatku dengan tatapan tidak enak. "Kamu bagaimana, Mik?"
"Ada Mak Ngah yang Nemani Mika."
Dengan sedikit paksaan. Akhirnya Fajar mau juga pulang berangkat sendiri. Aku menyuruh dia membawa mobil saja. Akan tetapi, dia tidak mau membaca mobil jika hanya berangkat sendiri.
Akhirnya aku mengantarnya ke terminal. Sepanjang jalan dari rumah sakit, aku tidak berhenti memandangi Fajar, aku takut ini kali terakhir aku melihat Fajar.
"Kak, kakak pulangkan?" Aku benar-benar takut Fajar tidak kembali lagi.
"Ya, pulang, lah. Ada istri di sini, kok." Fajar mencium puncak kepalaku dan segera turun dari mobil.
"Kak …," panggilku sebelum pintu mobil ditutup.
"Iya?" Fajar kembali melihat ke dalam mobil.
"I love you."
"I love you," balas Fajar.
Aku kembali ke rumah sakit dan mama masih belum mau menerimaku. Mak Ngah menyuruh aku untuk istirahat saja di rumah. Aku menurut saja dan pulang ke rumah.
Selain menuruti ucapan mereka, apalagi yang bisa aku lakukan.
Sesampai di rumah, sudah menunggu istri Om Bram. Dia tersenyum penuh kemenangan saat melihat aku turun.
"Ngapain ke sini?" bentakku.
"Mau menertawakan nasib kamu." Dia tertawa. "Sebentar lagi kamu juga akan merasakan sakit seperti yang aku rasakan. Mungkin lebih parah. Dasar pelakor!"
"Pelakor teriak pelakor," sinisku.
"Rahmi sudah mengetahui semua ini. Sebentar lagi kamu akan menjadi janda." Wanita itu tertawa dan berjalan menuju mobilnya.
Aku kembali tidak berdaya. Aku paksa melangkahkan kaki menuju pintu. Membuka pintu dan menutupnya kembali setelah aku masuk. Kamar dan berbaring di tempat tidur merupakan tujuanku sekarang.
Aku coba mengirim pesan kepada Fajar menanyakan posisinya di mana, pesan yang aku kirim hanya centang satu mungkin dia sedang berada di jalan lintas yang tentu saja tanpa jaringan seluler.
Dadaku sesak, sesak sekali saat teringat ucapan istri Om Bram. Mengapa dia begitu jahat memberitahu semua ini kepada mertuaku. Padahal aku sudah tidak mengganggu Om Bram lagi. Akhirnya aku tertidur menunggu kabar dari Fajar.
Entah berapa lama aku tidur, bangun-bangun suasana begitu gelap, ternyata sudah malam dan lampu di rumah belum ada yang menyala satu pun.
Aku lihat ponsel. Ternyata pesan masih centang satu. Jika aku hitung-hitung seharusnya Fajar sudah tiba di rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
gaby
Aq baru gabung baca marathon. Aq suka smua novel Othornya, karena slain bagus, ceritanya singkat smua. Tapi walau bab nya singkat2 tapi alurnya menarik, konfliknya ga maksain bgt
2023-02-25
1