Bab 16

Dosa Semalam

Bab 16

Hampir tiga puluh menit menunggu, aku melihat ada cahaya motor dari kejauhan mengarah ke rumah. Pasti itu Fajar. Benar sekali terkaanku.

Saat motor berhenti di halaman aku langsung berlari mengejarnya.

"Eh, jangan lari-lari!" teriak Fajar.

Aku langsung saja memeluk Fajar. "Habisnya, Mika rindu."

Fajar melepaskan pelukanku. "Malu, orang lewat-lewat. " Lalu Fajar  lembut puncak hidungku.

Satu ciri khas Fajar yang sering dia lakukan kepadaku.

Fajar mengajakku masuk ke dalam rumah, dia menggelengkan kepala setelah tahu aku menyetir sendirian. 

"Tidur aja di kamar kakak! Tapi, kamarnya jelek."

Aku menurut saja perintah Fajar. Fajar membantuku membawa masuk tas pakaian.

"Mau pindahan, ya. Bawa pakaian sebanyak ini."

Aku hanya tertawa mendengar Fajar protes.

"Kalau Mika pindah ke sini, boleh?" tanyaku malu-malu.

Fajar menoleh, dia langsung melompat ke atas tempat tidur. Kini posisinya tepat di belakangku yang tengah duduk di ujung tempat tidur. 

"Boleh banget, Sayang." Kini Fajar sudah memelukku dari belakang.

Kini kepala Fajar sudah mantap berada di celung leherku. Sesekali dia memberikan ciuman pada leherku.

"Kak, apa ibu sudah tau?" tanyaku dengan suara berbisik.

Kini jari telunjuk Fajar mendarat di bibirku. "Jangan bahas itu, lupakan saja. Kakak tetap ada untuk Mika dan anak ini."

Aku memutar duduk, kini kami saling berhadapan, aku memeluk Fajar erat. Aku sungguh beruntung menemukan lelaki seperti ini. Tidak perlu dia marah, dengan sikapnya begini saja sudah membuat aku merasa paling berdosa.

"Tidur saja dulu! Nanti baru kita besuk ibu." 

Untuk kesekian kalinya aku menuruti saja ucapan Fajar. Lagian aku juga ngantuk dan lelah. Aku berbaring dengan posisi miring. Fajar mengusap-usap punggungku tanpa aku suruh. 

Aku terbangun karena hangatnya sinar matahari terasa di kamar ini melalui celah jendela. Aku meraba-raba ponsel yang tadi aku letakkan tepat di sebelah bantal. Ternyata sudah pukul sepuluh pagi.

Aku bergegas turun dari tempat tidur dan mencari Fajar. Rumah ini tidak besar, tidak perlu waktu lama untuk menemukan seseorang. 

"Kak … kak …," panggilku.

Tidak ada aku temukan Fajar. Saat aku membuka pintu depan, aku melihat wanita yang sama dengan terakhir aku datang dulu, jalan ke arah rumah ini sambil membawa rantang tiga susun.

Dia terlihat terkejut saat mengetahui aku datang. 

"Hmmm, ibu ada?" tanyanya entah kepada siapa.

Aku diam saja. Toh, dia tidak memakai embel-embel sapaan.

"Ibu ada, Mbak?" ulangnya lagi.

Kali ini baru aku jawab, bahwa ibu sedang di puskesmas. 

"Bang Fajar ada?" tanyanya lagi.

Untuk apa dia menanyakan suamiku.

"Nggak ada. Tau, tuh. Kemana." sahutku dengan nada kurang senang.

"Jangan sombong! satu kampung sudah tau bobroknya kamu." Wanita itu semakin ngelunjak aku rasa.

"Memangnya kamu tau apa tentang aku?" Aku tidak mau kalah.

"Yakin mau tau? Jangan malu, ya!" ucapnya lembut tetapi, lebih tepatnya mengejek.

"Ini bukan anak Fajar." Wanita itu mendekatkan mulutnya ke telingaku.

Aku terkejut, langsung saja aku mendorongnya hingga terjatuh. Dari jauh aku mendengar Fajar berteriak memanggil namaku.

"Mika jangan!" 

"Lihat, ya, kamu akan membayar mahal semua ini," ancam wanita itu sambil menunjuk jari telunjuk ke arah wajahku.

"Turunkan tanganmu, Yu!" Fajar menepis tangan Ayu yang berjarak beberapa sentimeter dari wajahku 

"Tolong pulang, Yu!" sambung Fajar kembali.

Ayu membawa kembali rantang yang dijinjingnya tersebut. Aku lihat tampak kesal dari cara berjalan Ayu. 

"Dia suka sama Kakak, tu," sindirku.

"Mungkin aja. Siapa, sih, yang tak suka sama orang ganteng gini." Fajar menaikan kerah baju kaos dengan kedua tangannya.

"Ke pede an," sahutku sambil mencolek pinggangnya. 

Fajar pun langsung saja merangkul dan mengacak-acak rambutku. Sehingga ada beberapa orang lewat memandang kami sinis.

"Apa yang terjadi di sini, Kak?" Aku sadar pasti ada sesuatu yang tidak beres.

"Tak ada." jawab Fajar dengan tenang.

"Bohong."

Fajar melepaskan rangkulannya, dia menarik nafas lalu menghembusnya kembali. Seolah dia ingin menenangkan dirinya sejenak.

"Istri ke dua Brahmana datang menemui ibu …."

"Lalu dia cerita?" Aku langsung saja memotong ucapan Fajar.

Fajar mengangguk. 

"Ibu?" 

"Meminta kita pisah. Mana mungkin kakak membesarkan anak dari ayah kandung kakak." 

Hatiku tiba-tiba hancur mendengar ucapan Fajar. Aku membalikkan badan, kembali masuk ke dalam rumah. Kamar merupakan tempat terbaik untuk merenungkan kesalahan.

"Tapi, kakak yakin ini bukan anak Brahmana," bisik Fajar saat dia menyusulku ke kamar.

Aku langsung memeluk Fajar. Menangis dalam pelukannya, entah untuk yang keberapa kali. Benar kata pepatah, penyesalan datangnya belakangan. Kini menyesal tiada berguna.

"Setelah anak ini lahir, kita tes DNA, ya!" desis Fajar di telingaku.

"Berapa murahannya Mika, ya, Kak. Hingga anak saja nggak tau ayahnya yang mana."

"Lupakan! Dan berubah! Mulai sekarang jadilah istri yang baik untuk kakak!" Aku sandarkan kepalaku di dada bidang Fajar.

Sekitar sepuluh menit kami terdiam menikmati suasana tenang. Sebelum akhirnya Fajar menyuruhku bersiap-siap untuk membesuk ibu. 

Saat Fajar hendak berdiri, tiba-tiba tubuhnya oyong. Untung saja aku bisa menyambar tangannya sehingga Fajar tidak jatuh ke lantai 

"Kakak kenapa?" tanyaku panik.

Fajar kini duduk di ujung tempat tidur sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. Tepatnya menekan kepalanya.

Fajar memintaku mengambilkan obat warung yang ada di atas meja. 

"Kakak sakit apa?" Kembali aku bertanya.

"Cuma sakit kepala biasa." Jawab Fajar setelah dia meminum obat dan air putih yang kusodorkan.

"Sekalian aja periksa nanti, yuk!"

"Nggak usah. Ini sebentar lagi hilang."

Aku menumpuk dua bantal, agar saat berbaring kepala Fajar lebih tinggi. "Baring dulu, Kak!" 

Fajar menurut saja. Aku menyeka keringat dingin yang membasahi wajah Fajar. Firasatku mengatakan bahwa Fajar sedang sakit.

Aku lihat mata Fajar mulai terpejam, sepertinya dia tidur. 

"Bangunkan Kakak satu jam lagi, ya. Kakak istirahat sebentar," gumam Fajar dalam tidurnya.

Sesekali aku letakkan jari di bawah lubang hidung Fajar untuk memastikan dia masih hidup. Entah kenapa pikiranku buruk saja.

"Fajar! Fajar!" 

Terdengar suara laki-laki memanggil Fajar dari luar rumah. Aku pun berjalan ke arah pintu, melihat siapa yang datang. Ternyata seorang laki-laki paruh baya dengan peci putih di kepala.

"Assalamualaikum, Fajar!"

"Waalaikumsalam," sahutku sambil membuka pintu. "Kak Fajarnya tidur, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" ucapku dengan sopan.

"Kamu siapa?" Nada bicara lelaki ini sungguh angkuh.

"Saya istrinya Kak Fajar."

"Oh, yang selingkuh dengan ayah kandung Fajar." 

Tidak menyangka aku, orang di sini setajam itu mulutnya. Aku langsung saja masuk dan menutup pintu dengan keras. Di balik pintu aku tersadar dan menangis. Perlahan tubuhku melorot ke bawah hingga kini  aku bersimpuh di lantai. Sebegitu hina aku di mata mereka.

"Sayang kenapa?" Suara Fajar mengagetkanku.

Ternyata Fajar sudah berjongkok di hadapanku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!