Bab 12

Dosa Semalam 

Bab 12

Aku sudah tidak ada lagi semangat untuk bangkit dari tempat tidur. Pikiranku sudah macam-macam. Aku berpikir akan kehilangan Fajar selamanya. Tadi itu aku mengantar dia untuk pergi tanpa kembali.

Di saat kerisauanku, ponselku berdering. Ternyata telepon masuk dari Fajar. Seperti ABG yang sedang jatuh cinta, segera aku jawab panggilan tersebut dengan hati berbunga-bunga.

Fajar mengingatkanku untuk minum susu dan vitamin yang direspi dokter. Asam folat sangat dibutuhkan oleh bayi di dalam kandungan.

"Ibu apa kabar, Kak?" 

"Alhamdulillah sehat. Mama gimana keadaanya. Sudah membaik?"

"Nggak tau, Kak. Mak Ngah nyuruh Mika pulang aja."

"Sayang yang sabar, ya. Jangan banyak pikiran. Jaga anak kita baik-baik."

Saat itu aku mendengar suara ibu menggerutu. "Anak kita, anak kita. Sadar kamu Fajar cuma dibohongi."

Langsung saja panggilan telepon diputuskan oleh Fajar.

Aku usap air mata yang mengalir begitu saja. Aku harus kuat. Turun dari tempat tidur, menuju dapur membuat susu hamil yang diingatkan oleh Fajar tadi. 

Aku foto secangkir susu dan sepotong roti. Lalu aku kirim pesan gambar kepada Fajar.

Tidak perlu waktu lama, Fajar melihatnya tanpa ada balasan. Aku lihat jam di layar ponsel, ternyata sudah pukul sembilan.

Ponselku berdentin.

[Setelah ini, tidur. Jangan tidur larut malam, Sayang!]

[Kakak sayang Mika]

Dua pesan dari Fajar langsung merubah suasana hatiku.

Tiga hari sudah berlalu, mama juga sudah diizinkan pulang. Aku tahu kabar ini dari Mak Ngah. Atas saran Mak Ngah, aku beranikan untuk mengunjungi mama. 

Aku menemui mama yang sedang berbaring di kamarnya. 

"Mika?" sapa mama.

Aku masih berdir di ambang pintu kamar. Belum berani melangkahkan kaki mendekati mama.

"Sini, Nak!" Mama merentangkan tangan Inging memelukku.

Aku berlari mendekati mama. "Ma, maafin Mika," isakku dalam pelukan mama.

"Mama yang salah, Mika. Mama tidak membekalimu dengan agama yang bagus. Kalau ada yang harus disalahkan ini semua salah mama." 

Kami pun saling berpelukan dan menangisi dosa-dosa yang telah kami lakukan.

"Di mana suamimu, Mika?" Mama melepaskan pelukan kami.

"Kak Fajar pulang kampung, Ma. Ibu menelepon ada ada masalah dengan kebunnya."

Mama lalu menggenggam tanganku erat. Terlukis senyuman yang terkesan berat.

"Apapun yang terjadi, Mama ada untuk kamu."

Apa ibu sudah mengetahui ini semua. 

"Apa istri Om Bram sudah memberitahu ibu tentang ini?" 

Mama menatapku penuh arti. "Dari mana istri Brahmana mengenal Rahmi?" tanya mama sedikit heran.

"Om Bram, ayah kandung Kak Fajar." Aku katakan semua itu dengan kepala tertunduk, nafas terasa sesak, dan suara bergetar.

"Kamu serius, Mika?" Mama memutar posisi tubuhku agar menghadap dia.

Aku tidak sanggup lagi berkata. Hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan.

"Mika!?" teriak mama. 

"Maafin Mika, Ma!" Kembali air mataku mengalir membasahi pipi yang dari tadi sudah sembab.

"Tidurlah, Mika! Kamu pasti lelah. Malam ini tidur dengan mama, ya?"

Kasih sayang seorang ibu tidak akan ada habisnya. Mama masih saja mau memaafkanku walaupun begitu besar dosa yang telah aku lakukan. Kesalahan yang mencoreng nama baiknya.

Aku mencari baju tidur di lemari mama. Setelah berganti pakaian dan membersihkan wajah menggunakan peralatan milik mama. Aku coba membaringkan tubuhku yang mulai cepat lelah. 

Berkali-kali aku melihat ke layar ponsel, berharap Fajar mengirim kabar untukku. Seharian ini Fajar tidak ada mengirim pesan. Aku coba mengirim pesan kepada tetap tidak masuk. Aku tidak tahu nomor telepon yang ada di ponsel lama miliknya. Sehingga aku tidak bisa menghubungi Fajar melalui telepon biasa.

"Kenapa belum tidur?" gumam mama yang mungkin melihatku dari tadi hanya melihat-lihat layar ponsel.

"Kamu rindu Fajar?" Mama sudah tahu apa yang aku rasakan, sehingga aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaannya.

"Iya, Ma." Ponsel kuletakkan, lalu kupeluk guling. "Mika merasa jatuh cinta dengan sikap Kak Fajar, Ma. Bagi Mika, Kak Fajar itu malaikat tanpa sayap kedua."

"Loh, kok, kedua?" tanya mama penasaran.

"Karena malaikat tanpa sayap pertama itu, Mama."

Kami tertawa sejenak. Hingga aku teringat sesuatu.

"Ma, kalau ini anak Om Bram." Aku memegang perutku yang mulai membuncit. "Berarti ini adeknya Kak Fajar?" Hatiku sakit mengatakannya.

"Fajar tahu?" Mama memiringkan tubuhnya, menghadapku.

"Tau, Ma." Aku memejamkan mata sebentar.

Dan kembali aku bertanya kepada mama, apa istri yang sedang hamil apa bisa diceraikan. Mama mengatakan bahwa dia tidak mengetahui hal itu. Aku disuruh bertanya langsung kepada ustad atau ustadzah yang tinggal di dekat rumah mama.

Rasa penasaranku mendorong aku berselancar di dunia maya. Mencari referensi apakah istri yang sedang hamil bisa diceraikan.

Ternyata jawabannya membuat aku tambah bergidik ngeri. Sebagian ulama sepakat bahwa dibolehkan menceraikan istri di saat hamil.

Sudah tengah malam, belum juga pesan yang aku kirim terkirim. Aku lihat mama sudah tidur,  pelan-pelan aku ambil ponsel mama. Mencari nama fajar di kontak teleponnya.

Ternyata benar, di kotak mama ada tertulis "Fajar menantuku"

Aku coba menghubungi ke nomor tersebut. Panggilan pertama tidak dijawab. Panggilan kedua juga sama. Hingga sampai panggilan ketiga barulah telepon dijawab. 

Akan tetapi yang anehnya, suara perempuan yang menjawab panggilan telepon tersebut

 Padahal sudah pukul sepuluh malam.

Aku terkejut. Namun, aku coba bermanis mulut terlebih dahulu.

"Kak Fajar mana? tanyaku dengan tahan emosi.

"Kak Fajar sudah tidur."

Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana fajar tidur tetapi, wanita sundel ini masih di rumah fajar. Dan, satu hal lagi. Fajar selalu meletakkan ponsel di bawah bantal tidur.

"Kamu siapa nyari-nyari Fajar?"  Wanita ini bertanya dengan nada nyolot.

"Saya istrinya Kak Fajar. Saya Mika," jawabku tidak kalah nyolot.

Terdengar dari ujung telepon sama ucapkan bahwa wanita itu memanggil ibu dan mengatakan bahwa aku mencari Kak Fajar.

"Kalau yang menghubungi Mika, tutup saja telepon itu." Terdengar cukup jelas  pari mertua ku.

Aku meletakkan lagi ponsel dengan air mata meleleh. Apa yang sebenarnya terjadi di sana aku tidak tahu. 

Padahal sudah pukul sepuluh malam, kenapa masih ada suara wanita muda di sana. Bukanya Fajar hanya tinggal berdua saja sama ibu. 

Kalau sudah begini baru rasa sesal melanda jiwa. Kenapa tidak dari dulu aku bersikap baik kepada dia. Jangan pernah menyia-nyiakan apa yang kita punya sebelum semua pergi.

Baiklah, kalau sampai lima hari Fajar tidak ada kabar, apa ada baiknya aku susul ke kampung?

Ah, apa yang aku pikirkan itu. Apa Fajar masu menerimaku? Buktinya saja dia sudah berusaha menghindar.

Tiba-tiba ponselku berdering, saat aku lihat ternyata panggilan dari Fajar. Segara saja aku tarik tombol hijau.

"Kak …." Panggilku.

"Mika nelpon tadi, ya?" tanya Fajar dari sana.

"Iya. Tapi, cewek yang angkat. Pacar kakak, ya?"

Aku dengar Fajar tertawa. "Kakak sudah punya istri. Hatinya nggak menerima untuk yang lain." Fajar mulai menggombal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!