Dosa Semalam
Bab 20
"Nanti kamu ikut mandikan, Ya!" ujar sepupu Fajar lagi.
Aku cukup kenal dengan sepupu Fajar yang ini, karena Fajar sudah mengenalkanku dengan dia beberapa hari tinggal di sini.
"Apa boleh sama ibu?" Aku takut ibu marah dan kembali memalukan ku.
"Boleh, lah. Kamu istrinya. Ibu yang nggak boleh ikut memandikan Fajar," jelas sepupu Fajar lagi.
Ibu sempat melarangku tetapi, orang-orang yang berpikiran maju malah melarang ibu marah-marah kepadaku. Aku yakin mereka tahu gosip yang beredar tetapi, mereka seolah tidak ingin ikut campur. Secara agama aku sah istri Fajar. Sehingga aku masih ada hak atas Fajar.
Karena tidak ada lagi yang ditunggu, dari proses memandikan, mengafani dan menyolatkan semua berjalan begitu cepat. Jenazah Fajar dibawa ke masjid di kampung ini untuk dilaksanakannya Salat Jenazah.
"Bagaimana cara salatnya?" tanyaku pada sepupu Fajar.
"Cuma berdiri saja. Tanpa rukuk dan sujud. Nanti kamu tinggal ikuti imam." Dia berusaha memberi penjelasan singkat agar aku mengerti
Inilah saat terakhirku melihat Fajar sebelum tubuh itu ditutup papan dan dihimpit tanah. Semua terjadi sangat cepat kini Fajar benar-benar hilang dari pandanganku. Tinggallah gundukan tanah basah dan nisan yang terbuat dari papan itu.
"Pulang, yuk!" ajak sepupu Fajar.
"Saya ingin di sini dulu, boleh?" jawabku tanpa melirik. Aku masih saja mengusap-usap papan nisan Fajar.
"Kami pulang duluan, ya?" ujar sepupu Fajar.
Aku hanya mengangguk, pandanganku tetap tertuju pada unggulan tanah yang masih basah tersebut.
"Kak, kakak jahat. Kakak tinggalkan Mika sendiri. Mika benci sama kakak." Aku kembali menangis.
Kini aku duduk di sebelah kuburan Fajar sambil memeluk nisan tersebut. Aku benar-benar tidak rela kehilangan Fajar.
Satu-satu tetesan air hujan mengenai wajahku. Aku tidak ada sedikitpun niat untuk pergi dari kuburan.
"Hujan, Kak. Kakak dingin? Mika peluk, ya, Kak." Semakin erat aku memeluk nisan Fajar.
Hujan pun turun dengan deras. Aku tidak juga beranjak dari kuburan Fajar hingga seluruh tubuhku basah kuyup.
Aku mendongak saat air hujan tidak lagi membasahi tubuhku. Ternyata mama sudah berdiri dengan sebuah payung di belakangku.
"Pulang, yuk, Mika!" ajak mama.
"Nggak, Ma. Nanti Kak Fajar sendirian," jawabku dengan polosnya.
"Mika, Fajar sudah bersama malaikat. Dia sudah bahagia di sana. Fajar nggak sendirian lagi." Aku tahu mama pasti bohong.
"Ayuk Mbak Mika, kasihan anaknya. Mas Fajar pasti sedih melihat Mbak." Ternyata ada Mak Ngah juga di sini.
"Pulanglah dulu, Ma! Mika masih mau di sini," gumamku.
"Mika, lihatlah hujan deras begini. Yang ada kamu bisa sakit. Pulanglah dulu, Nak!" Mama masih berusaha membujukku."Fajar pasti sedih melihat Mika seperti ini."
Setelah beberapa kali mama menyebut-nyebut nama Fajar akhirnya aku luluh juga dan mau pulang bersama mama.
Namun, aku memilih untuk jalan kaki daripada naik mobil. Aku ingin menikmati suasana kampung ini sebelum aku pergi meninggalkannya. Mama dan Mak Ngah ikut menemaniku.
Tidak lama, tibalah aku di rumah ibu. Aku lihat ibu masih duduk di ruang depan ditemani Ayu. Aku permisi masuk untuk mandi dan berganti pakaian.
Saat aku sudah di kamar, aku mendengar mama memohon maaf kepada ibu atas kesalahan yang aku bikin.
"Hubungan kita telah berakhir."
Aku mendengar ibu berkata seperti itu. Tubuhku kembali lemah, aku terduduk di tepi tempat tidur.
"Mbak Mika sudah selesai, Mbak?" panggil Mak Ngah dari balik pintu kamar.
Aku sekah air mata. Aku berdiri di depan cermin, melihat wajah yang begitu jelek ya dengan mata sembab tanpa polesan make up sedikitpun.
"Iya Mak Ngah." Aku keluar dan menutup pintu kamar kembali.
Mak Ngah menunjuk ke arah ibu.
"Iya, Bu." Aku duduk di dekat ibu.
"Fajar sudah tidak ada dan anak ini juga bukan anak Fajar. Jadi mulai saat ini hubungan kita selesai, ya!" Ibu mengatakan itu seolah tidak punya hati. "Silahkan pergi sekarang!"
"Bu, apa nggak bisa nunggu tiga hari saja?" Aku mencoba memohon kepada ibu.
Akan tetapi, ibu tetap dengan keputusannya. Dia menyuruhku untuk pergi sekarang. Baiklah, tidak ingin membuat keributan. Aku berdiri dan beranjak menuju kamar. Aku ambil tas yang memang sudah siap untuk dibawa.
"Mika pamit, Bu. Maafkan Mika sudah membuat Ibu malu." Aku mengulurkan tangan tetapi, tidak disambut oleh ibu.
Berkali kali aku menoleh ke arah rumah tersebut. Dalam bayanganku, ada Fajar sedang berdiri di depan pintu yang melarang aku pulang.
"Ayuk Mika! Tidak seharusnya kamu dihina-hina seperti ini." Mama kesal melihat sikap ibu sekarang.
"Kita ke kuburan Kak Fajar lagi, ya, Ma! Mika mau pamit dulu." Sekarang aku berusaha tegar ada anak yang dititipkan Fajar kepadaku.
Teringat akan ucapan Fajar yang menyuruhku tetap menjaga anak ini.
Ternyata pikiran mama panjang, saat berangkat tadi mama membawa sekalian supir pribadiku yang berguna untuk membawa mobilku pulang.
"Mau kemana?" Aku melihat sepupu Fajar sedikit berlari mengerjakan saat aku akan masuk ke dalam mobil.
Begitu juga dengan Arif, dia mempercepat langkahnya. Arif dan sepupu Fajar itu merupakan suami istri.
"Pulang, Mbak," jawabku dengan suara parau sisa nangis.
"Tunggulah sampai tiga hari!"
"Mika sudah disuruh pergi sama mertuanya." Kali ini mama yang menjawab.
"Seandainya di sini ada penginapan, biarlah kami menginap menunggu tiga hari itu," sambung mama lagi.
"Nginap di rumah kami aja. Iya, rumahnya tak besar." Fajar menyambung pembicaraan kami dan dibalas anggukan oleh Mbak Titi.
"Emang boleh, Mbak?" Aku senang mendengarnya.
"Ya boleh. Yuk kita ke rumah. Kami datang ke sini memang mau mengajak kamu tinggal di rumah kami."
Akhirnya rombongan menuju ke rumah Arif dan Mbak Titi.
"Jika suatu saat mau ziarah tapi, takut ke rumah bibi, datang saja ke rumah ini."
Ternyata masih ada orang baik di kampung ini.
Hari ke tiga, waktunya aku pulang dan melanjutkan hidup demi anak ini. Sebelum pulang aku sengaja mampir ke kuburan Fajar.
"Assalamualaikum, Kak. Kak, Mika pulang dulu, ya! Sebenarnya Mika masih mau lama di sini tapi, Mika harus bisa tegar tanpa kak. Mika akan kuat seperti yang kakak mau. Terimakasih, ya, Kak. Sudah mengajarkan Mika banyak hal, sudah bisa merubah Mika. Sekarang Mika janji, Mika nggak akan ninggalin salat lagi. Tunggu Mika di surga, ya, Kak." Aku mencium nisan Fajar.
Aku rindu. Benar-benar rindu. Aku meninggalkan kampung ini dengan hari yang tidak utuh lagi, separuh hatiku sudah dibawa oleh Fajar.
Betapa sayangnya Allah kepada Fajar, hingga Dia memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak ingin membuat Fajar bingung dalam pilihan antara aku dan ibu sehingga dibuat-Nya Fajar yang mengalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments