Bab 7

Dosa Semalam 

Bab 7

Setelah yang lain sudah keluar rumah, Karina balik lagi menemuiku yang kini sedang duduk di sofa.

"Lu baik-baik aja, Mik?" Karina memegang pundakku.

"Gue nggak tau. Tapi, hati gue sakit saat mereka mengolok-olok Fajar." Aku mengatakan itu sambil menangis.

"Lu, mulai suka sama dia?" Kini Karina duduk di sebelahku.

"Gue nggak tau," jawabku sambil kepala digelengkan.

Mika menyuruhku istirahat. Ruangan berserakan ini biar besok pagi kita cari orang untuk membersihkan  rumah ini. Hal pertama yang aku lakukan, yaitu membuat susu hamil rasa cokelat yang sudah tersedia beberapa kotak di lemari dapur.

"Padahal gue nggak ada beli ini semua," gumamku.

"Jadi ini inisiatif Fajar?" Karina malah bertanya balik.

"Dapat uang dari mana dia, ya," tanyaku heran.

"Petani itu tidak semata-mata hidupnya susah, loh, Mik." 

Aku hanya mengangguk-angguk 

"Pertahanin, deh, Mik. Lelaki seperti itu! Lihat aja, dia nggak pernah mempermasalahkan kondisi lu. Dia tahu, itu bukan anak dia. Tapi, dia masih peduli, dia belikan lu susu hamil." Aku duduk di meja makan, dengan tangan menggenggam mug yang berisi susu hangat.

"Sebenarnya, dia nggak ada salah apa-apa sama gue. Cuma, gue aja gengsi."

"Besok setelah dia pulang. Lu minta .maaf, deh!" Karina memberi saran yang .masuk akal.

Hari ke empat kepergian Fajar, berkali-kali aku menoleh ke ponselku. Mana tau saja Fajar mendapatkan nomorku lalu dia menghubungi. Ternyata aku hanya berkhayal bodoh.

Aku yang mengibarkan bendera perang, sekarang aku yang ingin sekali mengibarkan perdamaian.

Pintu depan diketuk, aku berharap Fajar yang pulang, dengan semangat aku berlari ke pintu depan. Akan tetapi, setelah pintu dibuka yang datang bukan Fajar melainkan istri Om Bram beserta anak gadisnya yang kurang lebih berusia sama denganku.

"Ini dia wanita ******, Tu?" Pintu didorong dari luar sehingga aku tidak bisa menutupnya lagi 

Satu lawan dua, tentu saja kalah. Mereka mau menjambaku dan mendorong tubuhku. Untung saja aku tidak terjadi ke lantai. Saat itu aku berteriak bahwa aku sedang hamil, jangan lakukan itu!

"Matikan kameranya!" teriakku.

Aku tahu anak Om Bram sedang merekam pergulatan aku dan ibunya.

"Kau jauhi Bram! Kalau tidak, sebentar lagi reputasi kau akan hancur! ancam istri Om Bram sambil tersenyum menang.

Sumpah, ancaman dan rekaman itu membuat aku takut, bagaimana jika mama dan semua orang tahu bahwa aku pelakor.

"Fajar pulang, lah!" Aku memohon.

Padahal aku tahu, itu percuma. Fajar tidak akan mendengarnya. 

Tepat di hari minggu, aku mendengar ada yang mengucap salam dari luar rumah. Seperti suara Fajar. Aku segera berlari membuka pintu. Tidak mau mengulang kesalahan, sebelum pintu dibuka, aku mengintip terlebih dahulu dari balik tirai jendela. 

"Fajar pulang," bisikku.

Aku menarik nafas, aku malu mengakui bahwa aku senang dia pulang.

"Pulang juga?" sapaku ketus saat pintu rumah kubuka.

Aku lihat dia tersenyum sangat manis.

"Maaf, harus pergi mendadak. Karena waktu panennya dipercepat."

"Oh, nggak pulang pun, juga nggak apa-apa." Aku mengambil tas di tangan Fajar.

"Makasih," ucap Fajar saat tas susah berpindah tangan.

Aku meletakan tas di kamar Fajar sedangkan Fajar langsung saja ke dapur. Sepertinya banyak oleh-oleh yang dia bawa.

Setelah selesai dari kamar Fajar, langsung aku menyusul Fajar ke dapur.

"Minumlah!" Aku meletakkan segelas air putih hangat di hadapan Fajar.

Fajar mendongak, melihat wajahku lalu kembali dia mengucapkan terima kasih.

"Duduklah di sini!" Fajar menarik bangku menyuruhku duduk di dapur bersamanya.

Baiklah, duduk berdua tidak masalah. Hanya duduk saja.

Fajar mengeluarkan amplop dari dalam saku jaketnya.

"Ini ada sedikit uang bulanan untuk kamu." Fajar meletakkan amplop tersebut dan mendorongnya ke hadapanku. "Alhamdulillah, panen tomatnya cukup melimpah dan harga jual juga lumayan."

"Nggak usah. Aku ada uang, kok." Aku berusaha menolak pemberian Fajar.

"Uangmu, adalah uangmu. Memberi nafkah adalah kewajiban suami. Mungkin uang yang saya beri tidak sebanyak uang kamu. Tapi, tolong terima saja!"

"Baiklah, aku terima, ya." Aku mengambil amplop tersebut.

"Kita nanti ke rumah mama, yuk! Ngantar oleh-oleh," ajak Fajar.

"Memangnya kamu nggak penat?" 

"Saya boleh minta sesuatu?" ucapan Fajar terlihat serius. "Nanti di rumah mama, panggil saya "kakak"! Agar mama tahu, kita baik-baik saja."

Aku terdiam sebentar. Apa aku bisa?

"Baiklah, ka…ka…k."

"Terima kasih, sayang." Fajar beberapa kali mengelus punggung tanganku.

Aku rasa ini latihan itu di rumah mama nanti.

"Mika!?" Aku mendengar suara orang berteriak dari luar rumah.

"Siapa?" tanya Fajar kepadaku.

Aku menggeleng tidak tahu.

"Biar kakak buka."

Aku mengikuti langkah fajar. Saat pintu di buka, aku memilih bersembunyi di balik punggung Fajar.

"Cari siapa, Buk?" tanya Fajar ramah.

"Mana wanita ****** itu?" 

"Siapa maksud ibu? Pintu belum dibuka lebar oleh Fajar.

"Siapa lagi kalau bukan Mika si pelakor," celetuk anak Om Bram.

"Maaf, matikan rekaman di ponsel anda. Anda bisa saya tuntut balik dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan dengan UU ITE.

Aku sempat terkejut, ternyata Fajar bisa berkata seperti itu.

"Jangan kamu lindungi dia! Apa kamu teman kumpul kebo dia?" Istri Om Bram menuduh Fajar.

"Dia istri sah saya," jawaban Fajar langsung membuat mereka terdiam. "Saya akan membukakan pintu jika ibu bisa berbicara baik-baik."

Akhirnya Fajar mempersilahkan mereka masuk, karena tidak enak rumah kami menjadi pusat perhatian orang yang lewat.

"Ada urusan apa Ibuk datang ke sini? tanya Fajar kepada tamu tidak diundang tersebut.

"Tolong kamu didik istri kamu! Jangan suka mengganggu suami orang!" bentak istri Om Bram.

Jawaban Fajar sungguh bijaksana. Pekerjaan dia yang seorang petani, tidak berbanding dengan cara dia berkomunikasi. Fajar cukup bijaksana dan berwibawah menjawab tudingan-tudingan istri Om Bram.

"Setiap orang punya masa lalu. Dia tidak lagi berhubungan dengan suami ibu. Sekarang dia sudah menjadi istri saya. Bagaimanapun cara saya mendidik dia. Sudah pasti saya punya cara sendiri."

"Tunggu saja, aku akan bikin hidup kau hancur!" Anak gadis Om Bram menunjuk-nunjukku dengan telunjuk kirinya.

Aku masih duduk di sebelah Fajar. Tanpa sadar, tanganku dan tangan Fajar saling menggenggam.

Akhirnya kedua orang tersebut pulang dengan wajah kesal mungkin karena mereka tidak bisa memberi pelajaran lagi kepadaku.

"Wajah Ibu itu sudah tak asing lagi bagi kakak," gumam Fajar setelah pintu depan dia kunci. 

"Kak …." Aku tidak sanggup meneruskan perkataanku

"Kenapa?" tanya Fajar yang posisinya sekarang sedang menyandarkan badannya di sandaran sofa.

"Mika, Mika minta maaf," ucapku lirih. "Selama ini Mika udah nggak sopan dengan. Sudah nggak anggap Kakak sebagai suami." Aku tidak sanggup lagi meneruskan perkataanku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Fajar melihatku lalu tersenyum. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!