Bab 5

Dosa Semalam

Bab 5

Rasa mual kini datang lagi, aku berlari ke dalam kamar mandi, berkali-kali aku muntah hingga tubuhku lemas dan terduduk di lantai kamar mandi.

Fajar datang dan membantuku berdiri kemudian dia memapahku ke tempat tidur.

"Saya ambilkan air hangat dulu." Fajar pun pergi.

Fajar kembali dengan segelas air hangat yang ternyata merupakan rendaman jahe.

"Menurut info dari google, jahe dapat mengurangi gejala mual di pagi hari saat hamil muda atau trimester pertama. Selain jahe, kue kering, buah pisang dan buah lemon juga dapat mengurangi rasa mual." 

Aku hanya meliriknya, rasa tidak percaya saja. Padahal dia tahu ini bukan anaknya. Akan tetapi, kenapa dia tetap peduli.

"Selain yang saya sebut di tadi, ternyata makanan dan minuman dingin juga bisa mengurangi rasa mual," sambung Fajar sambil mengambil gelas yang aku sodorkan.

"Contohnya apa?" Aku benar tidak tahu apa saja yang termasuk makanan dan minuman  dingin yang bisa menghilangkan rasa mual sialan ini.

"Contohnya, jelly, salad buah, es krim dan yoghurt." 

"Eh, kenapa kamu dekat-dekat gini?" aku mendorong tubuh Fajar dan hampir saja terjatuh.

"Maaf, jika saya salah." Fajar berdiri dan meletakkan gelas di atas meja rias.

"Kita harus pindah hari ini juga! Aku nggak mau mama mengetahuinya," seruku.

"Terserah kamu saja!" Nada bicaranya begitu tenang.

*** 

Kehidupanku baru akan dimulai di rumah ini. Rumah yang dibeli dari hasil kerja kerasku sendiri. Betapa sempurnanya aku jadi wanita. Sudah cantik juga kaya raya. Tentu saja lelaki kampung seperti Fajar mau  menikahiku walaupun aku menjadikannya sebagai tumbal dalam masalah yang aku bikin.

"Yuk masuk! Ibu hamil nggak boleh berdiri di depan pintu," ajak Fajar.

"Ih, kampungan. Masih percaya mitos." Aku mencemooh ucapan Fajar.

"Orang kota saja yang tidak pakai logika. Orang hamil berdiri depan pintu menghalang orang keluar masuk  kalau tersenggol, lalu jatuh. Bahayakan!" Fajar menjawab dengan argumen yang masuk di akal. Hal itu membuat aku terdiam.

Rumah ini terdiri dari satu lantai saja. Namun, memiliki tiga kamar tidur. Aku menyuruh Fajar membawa barang-barangku ke kamar utama. Sedangkan Fajar aku suruh tidur di kamar satunya lagi yang letaknya saling hadap dengan kamar utama.

"Kamu istirahat aja!" suru Fajar kepadaku.

Aku duduk di sofa ruang tengah. Aku hanya melihat Fajar bolak-balik membawa barang-barangku. 

"Makanlah dulu! Aku udah pesan makanan. Bentar lagi juga datang." Entah kenapa aku tiba-tiba baik kepada dia.

"Tinggal di kota ini enak. Apa aja ada dan tinggal pesan," gumam Fajar saat ojek online datang mengantarkan pesanan. "Ngomong-ngomong ini sudah dibayar?" sambung Fajar lagi sambil membukakan bungkusan makanan untukku.

"Sudah," ketusku lalu menyuap steak ke dalam mulut.

"Mana nasinya?" Fajar mencari-cari nasi dalam bungkusan.

Aku terkekeh mendengar Fajar menanyakan nasi padahal yang aku pesan adalah steak daging sapi. Di dalam steak tersebut sudah terdapat kentang pengganti nasi yang kandungannya sama-sama karbohidrat.

Akhirnya Fajar pergi ke dapur mengambil secangkir beras lalu dimasaknya. 

"Saya makan tunggu nasi masak aja. Perut saya perut orang kampung. Tak bisa kalau tak makan nasi," gumam Fajar.

Aku mengangkat bahu saja, menandakan itu terserah dia. Toh, kalau lapar,dia yang merasakan.

Selesai juga barang-barangku dimasukkan ke kamar dan nasi di magicom juga sudah masak. Aku lihat Fajar mengambil piring dan memasukkan beberapa sendok nasi ke dalam piringnya. Daging steak yang aku beli tadi langsung saja dia letakan di atas nasi yang masih hangat. Begitupun dengan sausnya, langsung saja dia siram di piring yang sama. 

Melihat Fajar makan aku sampai menelan ludah sendiri, dia makan begitu berselera. 

"Mau?" Dia mengarahkan piring yang dia pegang ke dekatku.

"Nggak," jawabku selalu ketus.

Selesai makan, dia menyampaikan bahwa seminggu lagi akan pulang kampung karena akan panen tomat. Dia juga mengatakan alasannya, jika tidak ditunggui saat panen, mana tau ada pekerja nakal yang memangkas hasil panen. Dalam hatiku membenarkan juga, tetapi aku tidak akan menampakkan bahwa aku bersimpati kepadanya.

"Nggak kembali lagi pun, nggak apa-apa," ketusku.lalu meninggalkan dia sendirian di ruang keluarga.

Pukul sepuluh malam, aku merasa bosan sudah beberapa hari ini di rumah saja. Mengenakan mini dress aku keluar dari kamar.

"Mau kemana?" Suara Fajar hampir saja membuat jantungku copot.

"Bosan di rumah."

"Ini udah malam, besok aja keluar!" 

Sebenarnya Fajar berbicara cukup lembut tetapi, aku saja yang kesal menanggapinya.

"Kenapa, sih, ngatur-ngatur?!" bentakku.

"Saya ini suami kamu, wajar saya melarang kamu."

"Suami di atas kertas. Ingat! Kamu bukan siapa-siapa di hati aku." Aku menunjuk jari telunjuk di depan wajah Fajar.

Fajar langsung mundur, dan mengangkat kedua tangannya. Tanda dia membiarkan aku pergi.

Hangout dengan kawan-kawan di diskotik membuat aku happy, tidak ketinggalan minuman beralkohol menjadi pelengkap kami. Tubuhku memiliki kadar tolerin alkohol cukup tinggi sehingga minum sebotol dua botol tidak membuatku mabuk.

Pukul dua malam aku memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba aku merasa bosan saja. 

"Entar suaminya marah kalau pulang lama-lama," ledek Karina dan disambut dengan gelak tawa yang lainnya.

Tawa mereka seakan mengejekku yang telah menikah ini. Dengan menyetir sendirian akhirnya aku sampai juga di rumah dengan selamat.

Belum aku membuka pintu, ternyata pintu sudah dibuka oleh Fajar. Aku lihat dia memakai sarung dan baju Koko dengan tasbih di tangan kanannya. 

"Belum tidur?" tanyaku basa basi

"Selesai tahajud." 

Aku sedikit menyenggol badannya yang menghalangi jalanku.

"Kamu minum alkohol?" tanya Fajar sambil mengekori aku.

"Iya kenapa?" ucapku lantang dan membalikkan badan ke arah Fajar. "Biar anak ini cepat keluar dan kita cepat pisah." sambungku lagi.

"Iya, kalau dia keluar. Kalau dia tetap lahir di sembilan bulan tapi, terlahir cacat karena alkohol kamu. Apa kamu tak kasihan sama dia?" Sekarang Fajar meninggikan nada bicaranya. "Kamu jangan egois!"

Aku terdiam, bagaimana jika dia terlahir cacat? Apa tidak membuat malu aku?

"Dia tak ada salah sama kita. Dia tak minta ada di dunia ini. Kita manusia dewasa inilah yang melakukan sehingga dia ada."

Aku diam, tidak menjawab ucapan Fajar.

"Pergilah istirahat! Jangan ulangi lagi. Cukup sekali ini saja!" 

"Suka-suka aku." Aku masih saja membantah. Aku hanya menutupi, aku tidak ingin terlihat kalah di hadapan Fajar.

Fajar masuk ke kamarnya dan aku masuk ke kamarku. Aku pusing, aku tidak tahu siapa ayah biologis anak ini, bagaimana jika dia besar nanti. Jika aku jujur tidak mengetahui siapa ayahnya, anakku akan tahu betapa bobrok kelakuan ibunya.

Aku memukul-mukul perut karena kehadiran dia hidupku jadi kacau. Yang paling parah, aku harus menikah dengan orang yang baru aku kenal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!