Bab 3

Dosa Semalam

Bab 3

Sebelum papa meninggal. Papa menitip pesan jika nanti Mika dewasa dan sampai usia dua puluh tujuh tahun belum juga menikah, maka jodohkan dia dengan anak dari sahabat papa. Begitulah kira-kira isi wasiat yang ditulis papa pada selembar foto aku dan papa.

"Jangan bawa-bawa nama papa, Ma!" Intonasi bicaraku meninggi. 

Aku tinggalkan ketiga orang tersebut. Aku berlari menuju kamar dan menghempaskan pintu kamar keras sekali. Semoga saja orang kampung itu pulang. 

Biarlah mama menghadapi kedua orang tersebut. Aku putar musik di ponselku dan dihubungkan ke speaker bluetooth. Kuputar dengan suara yang begitu keras. Aku yakin suara ini akan sampai keluar.

Esok pagi saat aku bangun, sudah tidak aku temui kedua orang itu. Hanya mama yang menatapku penuh amarah. 

"Penat mama mendidik kamu, ternyata kamu tidak ada akhlak!" marah mama kepadaku.

"Akhlak itu urusan agama, kan, Ma?" aku lontar pertanyaan kepada mama. "Apa pernah mama mengajariku itu? Mama masukkan aku ke sekolah internasional, apa ada pelajaran agama yang benar-benar mendalam? Sekarang mama salahkan aku." Aku tidak mau kalah. Aku tidak mau disalahkan mama dan menganggap ini semata-mata salahku.

Ponselku kembali berdering, ternyata panggilan dari Om Bram. Oh, sekarang sudah Senin, berarti dia sudah lepas dari keluarganya. Pasti ini dia sedang di mobil menuju kantor. Aku pura-pura tidak peduli saja. Bukannya marah sama Om Bram. Aku hanya takut mama marah seandainya dia tahu kelakuanku di luar sana.

Kalau ditanya untuk apa aku menjalin hubungan dengan suami orang, sementara aku sudah memiliki banyak harta. Aku lebih merasa nyaman saja dan tidak usah dipungkiri, untuk hasrat seksualku, sangat terpuaskan oleh dia.

Sebulan berlalu, semakin hari semakin aku malas untuk beraktifitas. Selera makanku semakin berkurang. Kadang aku banyak menghabiskan waktu di rumah dari pada ke kantor. Untuk hangout dengan teman saja sudah malas. Entah sakit apa yang aku derita. Setiap pagi perutku mual. 

"Mbak Mika kenapa?" tanya Mak Ngah.

Sepertinya hanya Mak Ngah yang peduli dengan kesehatanku. Mama saja mungkin tidak tahu aku begini. Mama sibuk juga dengan urusannya.

"Nggak tau, Mak Ngah. Setiap pagi mual banget," jawabku polos.

Mak Ngah terlihat menghela nafas.

"Kenapa Mak Ngah?" aku melihat dengan heran.

Aku langsung menutup mulutku yang terbuka dengan kedua tanganku. Aku teringat sesuatu.

Aku ambil ponsel dan membuka folder kalender. Ternyata aku baru ingat, aku sudah telat datang bulan selama dua Minggu.

"Mak Ngah, gimana ini?" Aku merengek ketakutan.

"Siapa?" Satu kata yang keluar dari mulut Mak Ngah.

Aku menggeleng dan tidak tahu siapa yang menjadi bapak anak ini. 

Mak Ngah menangis, dia merasa gagal mendidik ku karena memang dari kecil aku menghabiskan waktu dengan Mak Ngah. Akan tetapi, selepas aku sekolah menengah atas, aku kuliah di luar negri. Dari situ kelakuan bejat yang awalnya sudah ada semakin merajalela di diriku.

"Aku punya cara, Mak," jawabku penuh keyakinan.

"Jangan menambah dosa dengan digugurkan, Mbak!" ujar Mak Ngah.

"Tenang aja. Nggak, kok, Mak Ngah." Aku memeluk Mak Ngah. 

Aku poles wajah dengan riasan tipis, agar tidak terlihat pucat saat menemui mama. Jika aku terlihat sakit, mama akan memaksa aku untuk berobat ke dokter.

"Ma, minta alamat Fajar!" pintaku tanpa basa-basi.

Mama langsung saja melongo seakan tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan.

"Aku terima perjodohan ini. Tapi, aku harus bertemu dia langsung aku juga mau lihat pekerjaan dia apa."

"Serius?" Mama tampak tidak percaya.

"Buruan, Ma! Sebelum aku berubah pikiran."

Mama menyuruh Pak Jo mengantarku. Aku memanggil Mak Ngah untuk menyiapkan satu pasang pakaian ganti saja. Karena aku hanya ingin bertemu satu hari dan balik lagi ke rumah setelah selesai apa yang ingin aku sampaikan.

Perjalanan delapan jam demi lelaki kampung itu aku tempuh. Ah, bukan. Bukan demi dia. Demi menutup maluku. 

Sesampai di kampung yang cukup jauh dari pusat kota nya, gunung menjulang tinggi dengan udara sejuk khas pegunungan sudah menyapa kami. Mobil terus mendaki seakan hampir ke pinggang gunung. 

Pak Jo mengarahkan mobil ke sebuah rumah berhalaman luas. Rumah dengan sebuah kolam ikan di depannya, dan beberapa tanaman apotik hidup tumbuh di halaman rumah. 

Aku lihat dari dalam mobil, Tante Rahmi sedang menyapu halaman. Kebetulan kami sampainya pagi di kampung ini. 

"Assalamualaikum, Buk," ucap Pak Jo dari dalam mobil dengan posisi kaca terbuka.

"Waalaikum salam, Pak Jo. Mari masuk! Mari!" Tante Rahmi menyandarkan sapu pada pohon jambu air yang terlihat menggoda dengan warna merahnya.

Aku turun setelah pintu dibukakan. Kali ini aku harus bersikap ramah. Aku mengulurkan tangan, untuk menyalami Tante Rahmi.

"Ada apa, jauh-jauh datang kemari?" Tante Rahmi menyuguhkan kami teh hangat dan singkong goreng yang dilihat begitu menggoda karena merekah-rekah.

Aku harus pandai bersandiwara dan berpura-pura menyesali sikap aku kemarin saat mereka bertamu ke rumah.

"Saya mau minta maaf atas sikap saya kemarin." Aku memasang muka memelas. "Paginya, saya mau minta maaf tetapi, saat saya bangun. Tante dan Fajar sudah pulang."

"Itu tidak apa-apa. Kami tahu, mungkin kamu kaget dengan perjodohan ini. Tapi, kami sudah melupakan kejadian itu. Nggak perlu minta maaf, ya! Kemarin kami pulang subuh karena jangan sampai kemalaman di jalan. Fajar masih ada kerjaan yang menunggunya."

Sepertinya orang-orang ini masih bisa dibohongi. 

"Tante …." Aku bingung harus melanjutkan perkataan apa tidak.

"Iya, ada apa, Nak?"

"Saya pikir-pikir, betapa berdosanya saya tidak mau menjalankan  amanah papa."

"Lalu?"

Sialan kenapa dia bertanya seperti itu. Bukannya dia menangkap maksud omonganku. Dasar, pasti tidak berpendidikan.

"Sa-saya te-terima perjodohan itu." Aku harus menebalkan muka.

Sudah aku yang membatalkan  sekarang aku yang menarik lagi ucapan. Menjijikan sekali aku ini "menjilat air ludah sendiri".

"Alhamdulillah." Wajah Tante Rahmi terlihat senang. "Tak telepon Fajar dulu, ya, suruh pulang."

Aku juga harus belajar memanggil "ibu", begitu kata Tante Rahmi. Karena jika aku menikah dengan Fajar, dia bukan orang asing lagi. Dia menjadi orang tua ke dua buatku.

Lima belas menit aku menunggu, Fajar pulang dengan sepeda motor bututnya.

"Sudah lama datang?" tanya Fajar kepadaku.

"Sekitar satu jam, ya, Bu?" Ih, malas sekali mengucapkannya. Tetapi demi harga diri aku rela bersandiwara.

"Saya mandi sebentar, bersihkan badan dulu. Tadi lagi bersihkan kebun tomat."

Fajar keluar rumah menyusul aku yang duduk sendiri di pondok-pondok dekat atas kolam ikan.

Saat Fajar mendekat, aku menyukai aroma sabun yang masih menempel ditubuh Fajar. Akan tetapi, dengan cepat aku menepisnya. Tidak ada satupun yang boleh aku sukai dari diri Fajar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!