Transmigrasi: Janji Gema

Transmigrasi: Janji Gema

BAB 01 ~ Miris ~

Mobil ambulan bertuliskan nama sebuah puskesmas kecamatan tetangga terlihat memasuki pekarangan rumah orang tua Lastri. Tidak ada bunyi sirine atau lampu yang menyala  Para tetangga yang melihat kejadian itu serta merta berkumpul tepat di halaman depan rumah itu. 

Tak berselang lama Lastri-pun keluar dari mobil ambulan. Tentu saja dengan cara dipapah. Mereka keluar melalui pintu belakang mobil ambulan. Perawat itu terdengar seperti berikan arahan pada Lastri, "Pelan-pelan saja turunnya!"

Tidak keluar suara sedikit pun dari mulut Lastri. Pandangan mata Lastri tampak kosong. Adapun gerakan tubuhnya seperti tidak punya keseimbangan, dan terkesan amat limbung  Tak hanya itu, wajah Lastri pun terlihat sangat pucat, seperti mayat hidup.

Enah, Ibunda Lastri terlihat cemas melihat keadaan putri satu-satunya itu. Sudah tiga hari ia mencarinya, tapi tak ada orang tahu atau melihat keberadaan Lastri, putrinya. Enah terlihat cukup histeris, berkali-kali ia keluarkan teriakan campur tangisan. "Ya ampun Lastri, kamu kenapa?" 

"Lastri nggak kenapa-napa kok, Bu," ujar Perawat wanita dari puskesmas itu seolah ingin tenangkan Enah.

"Duh Gusti!"

"Lastri nggak apa-napa kok Bu,"

Kembali Enah berputar-putar di sekitar Lastri. Layaknya lebah mengikuti lebah ratu yang dipindah ke kotak lain oleh peternak lebah. Enah terlalu bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya perawat itu berkata pada Enah, "Baiknya ibu siapkan tempat tidurnya saja dulu!"

Enah langsung bergegas ke dalam rumah, untuk siapkan tempat tidur bagi Lastri. Tak selang beberapa lama ia pun keluar lagi. Lalu menyuruh seorang anak laki-laki yang ada di dekat rumahnya untuk memanggil Madi, paman Lastri. 

"Ditaruh di ruang tengah saja nggak apa-apa, kan Bu Dokter," tanya Enah yang sudah masuk kembali ke dalam rumah.

"Tidak apa Bu, malah bagus bisa dilihat setiap saat!"  ujar perawat itu sambil memapah Lastri melewati ruang tamu.

Tempat tidur dari bahan kapuk itu ditaruh di atas selembar tikar. Dialas gunakan kain batik, dan diletakkan tepat di depan TV. Tak lupa sebuah bantal diletakkan pada sisi bagian atas kasur.

"Bisa bantu saya Bu!" ujar perawat itu.

"Bisa-bisa Bu dokter." jawab Enah cepat.

"Pelan-pelan ya Bu," Perawat itu berikan instruksi.

"Kenapa dengan Lastri Bu Dokter?" Enah coba tanyakan lagi saat mereka baringkan Lastri.

"Nanti saja ya, Bu," jawabnya.

Ibunda Lastri heran, ada apa orang yang disangkanya dokter itu tak kunjung beri penjelasan. Tentang apa yang terjadi pada Lastri. Terbit ketakutan yang sangat nyata di wajahnya. Enah hanya mampu melirik ke arah putri semata wayangnya itu. Adapun Lastri hanya terbujur diam dengan mata terbelalak. 

"Baiklah Bu, ini hasil visum Dek Lastri," ujar perawat itu pada Ibunda Lastri, " ini tanda terimanya."

"Nanti saja Bu Dokter!" jawab ibunda Lastri kali ini, "tunggu pamannya saja, sebentar lagi juga datang!"

Sungguh lucu. Enah tadi menggebu-gebu ingin tahu keadaan Lastri mendadak mundur. Sepertinya ia takut jika harus dituntut mengerti atas suatu dokumen. Terlebih soal tanda terima. Banyak orang kampung menganggap sebagai tanda lunas pembayaran. 

Terdengar suara salam dari luar pintu oleh seorang pria. Benar saja Madi, paman Lastri yang datang. Madi adalah orang yang diminta panggilkan oleh Enah lewat anak kecil tadi. Beruntung Madi masih berada di rumah ketika bocah lelaki yang disuruh memanggilnya tiba.

Madi adalah adik almarhum suaminya, sekaligus sebagai paman dan wali dari Lastri. Enah khawatir jika hal yang akan disampaikan tenaga medis itu tidak dapat dimengerti olehnya. Terlebih Enah sangat takut biaya tagihan yang akan dibayar atas layanan kesehatan yang telah diberikan.

Mengetahui Madi telah hadir di rumahnya, Enah langsung meminta agar segera duduk di dekat mereka. Madi pun turuti permintaan bekas kakak iparnya itu. 

"Bu Dokter, ini pamannya Lastri," Enah  berupaya untuk perkenalkan Madi pada perawat itu, "Bu Dokter bisa ngobrol sama adik saya ini saja!"

"Silahkan Bu Dokter bicara sama saya," Madi coba buka obrolan, "saya Pak Lek-nya Lastri."

"Maaf pak, saya bukan dokter!" jawab perawat itu.

"Oh ya.. ya, maaf Bu, jadi Ibu?" 

"Saya perawat dari puskes."

Mendengar keterangan perawat itu Madi kontan melihat ke arah Enah. Seolah ingin salahkan mantan kakak iparnya itu. Meski dalam suasana sedih, tetap saja ada sedikit rasa kesal karena sikap sok tahu Enah.

 "Ini Pak, saya mau berikan laporan visum," ujar perawat itu.

"Visum apa ya Bu?" tanya Madi.

"Visum bukti perkosaan!"

"Perkosaan? Maksudnya?"

Mendengar perkataan perawat, Enah yang turut dengarkan dari tadi menangis keras. Ia pun mengelus wajah dan rambut putrinya itu. Air matanya bercucuran, kemudian ia pun meletakkan kepalanya rebah tepat di atas bahu kiri Lastri.

Madi mulai mengerti apa yang terjadi pada keponakannya itu. Kini ia merasa wajar jika ia harus dilibatkan oleh mantan kakak iparnya itu. Terlebih ketika ia telah selesai membaca dan mengerti akan hasil visum yang diberikan oleh perawat itu.

"Emang belum lapor ke polisi ya Bu ya?" tanya Madi.

"Sudah Pak, justru kepolisian duluan baru puskes!"

"Lha terus?" Madi ingin tahu kelanjutannya.

"Pihak kepolisian bilang ada baiknya ditanyakan ke pihak keluarga dulu Pak!" jawab perawat itu.

"Lho kok bisa gitu ya Bu ya," Madi merasa heran terkait tindakan penegak hukum.

Tidak ada salah dengan tindakan pihak berwajib. Mereka telah lakukan sesuai prosedur. Bukti-bukti yang ada kaitan dengan peristiwa hukum telah juga diperiksa dan diamankan.

Satu-satunya saksi mata adalah korban, yaitu Lastri. Sedangkan gadis itu dalam kondisi yang tidak bisa bicara. Lebih-lebih untuk dimintakan keterangan.

Terdengar tangisan Ibunda Lastri semakin keras. Madi pun terpaksa harus menegur mantan kakak iparnya itu. Ia tidak mau keterangan dari perawat puskesmas tidak dapat dimengerti olehnya gara-gara suara tangisan itu. 

"Sudah mbak jangan menangis saja," ujar Madi. 

"Kalau dari pemeriksaan sudah jalan lima belas minggu, Pak!" Perawat itu beri tahu usia kehamilan Lastri pada Madi dan Enah.

"Bisa nggak Ibu ceritakan kejadiannya?" pinta Madi.

Perawat itu pun bercerita kejadian yang menimpa Lastri. Ia coba terangkan secara runut berdasarkan cerita yang ia ketahui. Kejadian bermula dengan Lastri ditemukan oleh seorang penderes karet di area perkebunan milik rakyat.

Lastri ditemukan dalam keadaan nyaris tak berbusana. Selain jejak perkosaan juga ditemukan bekas-bekas tindak kekerasan. Ada dugaan Lastri telah alami percobaan pembunuhan. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan aparat penegak hukum setempat.

Enah yang turut dengarkan penuturan dari perawat, kembali keluarkan teriakan. Kali ini ia menyebut nama adik iparnya sebagai bentuk penyesalan pada nasib yang harus diterima Lastri. Adapun Madi terlihat hanya diam terpaku sehabis dengarkan cerita perawat itu.

"Bapak sudah mengerti penjelasan saya ini kan?" tanya perawat wanita itu.

"Sudah Bu," jawab Madi lemas.

"Syukurlah," ucap perawat itu, "Mohon maaf Pak ada beberapa pembayaran yang harus diselesaikan!"

"Mbak … Mbak! Sini Mbak!" Panggil Madi pada mantan kakak iparnya itu.

Tak ada maksud dari Madi meminta Enah turut membayar tagihan. Tapi ia lebih takut jika terjadi kekurangan bayar. Kecemasan Madi dijawab oleh Perawat itu, "Kami dari pihak puskesmas mengerti kok Pak, kami cuma minta penggantian biaya visumnya saja!"

"Oh ya Bu," ujar Madi agak lega. Ia sangat khawatir jika diminta bayarkan semuanya. Untuk ambulan saja pastilah sudah mahal.

Perawat itu pun keluarkan selembar kertas berisikan rincian biaya. Tak ketinggalan selembar kwitansi sebagai tanda pembayaran khusus visum. Surat visum itu dikeluarkan oleh rumah sakit terdekat.

Setelah melihat angka yang tertera, Madi lakukan pembayaran. Tak lupa ia ucapkan terima kasih batas keringanan yang diterima oleh keluarganya. Perawat itu pun menerima ucapan terima kasih dari Madi.

Di akhir pembicaraan perawat itu berikan secarik kertas. Berisikan nomor telepon puskesmas mereka dan nomor kantor polisi yang menangani. Ia merasa wajib berikan kedua nomor kalau ada yang perlu ditanyakan lagi oleh keluarga Lastri.

Perawat itu akhirnya mohon diri. Hanya Madi yang antarkan ke depan. Adapun Enah lebih memilih bersama putrinya. 

Sepeninggal perawat itu Madi masuk kembali ke dalam rumah. Bergantian ia tatap keponakan dan mantan kakak iparnya itu. Madi dapat rasakan sedih yang mendalam dari keluarga almarhum kakak pertamanya itu. Namun, ia masih dapat bersyukur bahwa keponakannya itu masih hidup.

Beberapa tetangga yang kebanyakan jenis kelamin perempuan menyeruak masuk. Sepertinya mereka tadi tertahan oleh supir ambulan yang melarang mereka masuk. Terbukti setelah mobil ambulan itu keluar dari pekarangan rumah Lastri, serentak mereka berbondong-bondong masuk ke dalam rumah. Para warga dan tetangga itu sepertinya ingin berikan simpati pada keluarga Lastri.

Seminggu sudah setelah kejadian sejak upaya pembunuhan. Lastri hanya dapat berbaring. Tidak ada satu katapun yang terucap dari mulutnya. Bahkan Ibunda Lastri rasakan ada yang berbeda dengan pandangan juga sinar mata anaknya.

Sejak terkena musibah, hampir setiap hari Enah temani Lastri. Terkadang Ibunda Lastri itu tinggalkan pekerjaannya sebagai buruh deres karet. Otomatis tak ada uang yang didapat secara harian.

Beruntung Madi selalu ingat pada ipar dan keponakannya itu. Walau bukan petani kaya Madi selalu berusaha membantu mereka. Ia selalu menyisihkan uang untuk keluarga Lastri sejak kakak kandung tertuanya meninggal dunia lima tahun lalu. 

Seperti sore lainnya Lastri tengah disuapi oleh ibunya. Setiap di sela-sela suapan Enah selalu bicara pada putrinya itu. Yang dibicarakan saat itu adalah gunjingan dari tetangga. Terlihat benar bahwa Sang Ibu sudah tak tahan menjadi bahan gunjingan.

"Nanti kalau kamu sudah sehat, kita panggil Mbah Jum, biar diurut saja!" ujar Enoh membujuk Lastri agar mau gugurkan kandungannya.

"Biarkan dia hidup," terdengar lirih suara Lastri berikan penolakan pada ibunya.

Jawaban itu sangat tidak diharapkan oleh Enah, jelas-jelas bertentangan dengan maunya. Enah rasa ada yang aneh dari tata bahasa Lastri, seolah bukan putrinya. Tapi itu adalah kata-kata yang terlontar dari mulut Lastri, suara putrinya yang telah ia nantikan sejak seminggu lalu. 

Senang hati Enah pada akhirnya dapat dengarkan suara Lastri kembali. Namun, saat menatap mata Lastri terlihat  mata itu tetap kosong. Hanya menatap nanar. Lalu terdengar lagi tangisan Ibunda Lastri yang kembali pecah.

...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...

Terpopuler

Comments

francess

francess

Baru baca udah ikut sedih

2023-02-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!