BAB 09 ~ Hebatnya Lastri ~

Lastri lajukan truknya lebih kencang dari biasanya. Ia mengejar waktu pengiriman buah sawit ke pabrik. Maklum Lastri baru saja bereskan petugas lapak yang pongah itu. Tidak hanya dia saja, tapi berikut dua orang buruh dodos bawaannya.

Itulah sebab Lastri khawatir telat mengirim buah sawit ke pabrik. Lastri takut mutu buah kirimannya menurun. Ia ingin pihak pabrik terkesan pada hasil bawaannya dan tepat waktu dalam hal pengiriman. Ia ingin pihak manajemen pabrik percaya penuh, seperti masa Wasis dulu.

Lastri melihat seorang polantas berdiri di persimpangan pintu masuk pabrik. Terlihat tangannya berikan perintah stop. Lastri hentikan truk tiga meter menjelang polisi lalu lintas itu berdiri.

"Selamat siang!"

"Siang Pak! Salah saya apa ya?"

"Hanya pemeriksaan saja!" ujar Gianto, "ibu terlalu kencang membawa kendaraan berat!"

"Tapikan tidak terjadi kecelakaan kan?"

"Belum Ibu!" Gianto katakan setelah ingat truk berikut supir yang telah ia kenal. 

Lastri ingat betul siapa polisi itu. Ya, Bripka Gianto. Petugas lantas yang antarkan truk milik ayah angkatnya. 

Rupanya Gianto tengah jalankan tugas jaga di sana. Biasanya memang ada polisi bertugas di jalan sepi daerah dekat pabrik. Selain melakukan fungsi jaga keamanan, juga tugas pengawasan kendaraan ODOL,  Over Dimension/ OverLoading. Kendaraan dengan ukuran tak lazim atau bermuatan melebihi kapasitas angkut dari jalan yang dilalui.

"Tolong surat-surat Bu!"

"Saya tidak melanggar lalu lintas kan?"

"Kita belum tahu!"

"Kenapa saya diminta berhenti?"

"Hanya pemeriksaan Bu!"

"Saya juga tidak kelebihan muatan kan?"

"Yang bilang melanggar siapa?"

"Tonase saya masih sesuai!" 

"Itu dari pihak lain Ibu!"

"Ayolah Pak, tinggal belok sedikit lagi saya sudah tidak di atas jalan aspal lagi!"

"Silahkan surat suratnya!"

Lastri tahu persis apa kesalahannya. SIM yang tidak sesuai dengan jenis kendaraan yang ia bawa. Jadi ia hanya berharap jika diberi permakluman saat itu.

Gianto sangat yakin bahwa ibu muda yang tidak sopan itu pasti melanggar lalu lintas. Ia sempat melihat Lastri tengah membuat SIM A saat itu. Gianto sempat tercengang ketika tahu ibu muda itu berhasil dapatkan nilai sempurna hasil tes dalam waktu yang sangat singkat. Lebih kaget lagi Lastri berani membawa mobil yang tidak sesuai dengan surat izin mengemudi miliknya.

Gianto sepertinya masih ingat betapa tak sopannya Lastri. Lebih tepatnya arogan. Tak pernah Lastri memanggilnya dengan sebutan Pak, saat ia antarkan truk milik almarhum Wasis.

Lastri memanggilnya hanya menggunakan nama saja. Gianto tidak tahu ada sesuatu dalam diri ibu muda itu tidak setuju Lastri gunakan panggilan "Pak". Sepertinya Ruh Gema merasa Gianto masih terlalu muda untuk disebut Pak. Tidak hanya Gianto, Armen dan Roy juga mengalaminya. Jelas mereka berdua lebih berumur jika harus dibandingkan dengan Gianto.  

"Ini Pak surat-suratnya!"

"Tolong SIM-nya juga Bu!"

Waduh, kenapa bisa tepat langsung ke sasaran gini Lastri membatin.

Layaknya polisi lainnya, Gianto membawa surat-surat itu ke arah motornya. Ia butuh jok motor sebagai pengganti meja sebagai tempat menaruh dokumen pengendara. Bahkan bisa jadi Gianto akan mengambil buku bukti pelanggaran. 

Lastri gelisah. Ia sangat khawatir jika mesti dikenakan tilang. Akan sangat merepotkan jika harus mengikuti sidang di pengadilan. Sedangkan tempat tinggalnya sangat jauh di pelosok dari tempat persidangan. 

Lastri pun turun hampiri Gianto di dekat motor patroli. Lalu berkata," Saya juga  pasang jaring di atas sesuai himbauan polisi!" 

"Ya saya sudah lihat Bu!" jawab Gianto dengan entengnya, "hei, muka ibu lebam kenapa?"

"Saya barusan berantem!"

"Ibu dipukul atau berkelahi?" 

"Berantem, Sama calo buah!"

"Ibu nggak mau bikin laporan."

"Buat apa saya menang kok! Harusnya mereka saja yang bikin laporan?"

"Apa alasan ibu berkelahi?"

Lastri ceritakan tentang kebun sawit milik orang tua angkatnya telah diganggu oleh calo buah. Juga cerita bagaimana Wagiso telah diperdaya mereka hingga akhirnya alami tekanan psikis. Karena itulah Lastri berkelahi dengan tiga orang serakah itu.

"Jadi karena itu Ibu bawa truk ngebut?"

"Iya Pak saya ngejar waktu!" jawab Lastri, "Saya masih baru gantikan almarhum ayah Saya!"

"Ya, saya tahu itu!" Gianto sangat paham dengan kondisi Lastri, "ini surat-surat Ibu!"

"Terima kasih Pak!"

"Tolong SIM Ibu dinaikkan statusnya!"

"Belum bisa Pak, harus tunggu genap satu tahun dulu

"Oke, jika Ibu sudah mengerti letak salah Ibu!"

"Saya paham sekali Pak!"

Gianto serahkan semua dokumen yang sempat ia minta tadi. Lalu ia ikut dampingi Lastri berjalan ke arah truknya. Ia ingin melihat kondisi fisik truk. Ia bermaksud beri masukan agar Lastri tak lagi disetop oleh petugas lain.

"Jaring jangan pernah lupa ya Bu!"

"Iya Pak, terima kasih!"

"Ibu melawan orang-orang itu pakai tangan kosong?"

"Ya nggak Pak! Jago sekali Saya?"

"Ibu pakai apa?"

"Pakai ini Pak!" Lastri tunjukkan tongkat yang biasa dipakai oleh petugas sekuriti.

Gianto Ingin sekali tahu alat apa yang digunakan Lastri. Jika itu senjata api atau senjata tajam maka tak segan ia akan lakukan proses sita. Gianto tak Ingin ada kejadian yang tidak diinginkan. Memegang dua jenis itu jelas-jelas melanggar aturan dan undang-undang.

"Ibu mahir gunakan Tongkat T itu?"

"Sudah tiga minggu ini Saya berlatih!"

"Oke Bu, hati-hati dalam memakai tongkat itu!"

Gianto peringatkan Lastri dalam gunakan tongkat yang berasal dari sebuah wilayah Okinawa, Jepang. Itu sebabnya tongkat itu pada mulanya disebut tongkat Okinawa. Jika tidak terlatih atau terlampau bernafsu jatuhkan lawan, dapat mengakibatkan luka yang fatal bahkan berujung kematian.  

Di akhir percakapan Gianto sempat beri informasi pada Lastri. Bahwa ada pabrik sawit baru yang ada di dalam. Sehingga tak perlu untuk naik ke jalan besar. Info itu setidaknya berikan sebuah referensi baru bagi Lastri. Setidaknya akan jadi alternatif baginya di hari-hari ke depan. 

Lastri sampai di rumah lebih telat sedikit dari biasanya. Ketika ia memasukkan truk dalam pekarangan, ia melihat motor milik Wagiso terparkir depan rumah. Lalu Murni pun terlihat keluar dari rumah setelah truk itu diparkir di tempat biasanya.

"Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Murni.

"Tidak apa-apa Bu!" jawab Lastri, "ada Pak Wagiso ya di dalam?"

Tak biasa Murni bertanya seperti itu pada Lastri. Biasanya ia berpura-pura berkata pada Gya, beritahu ibunya telah pulang'. Sekaligus lakukan serah terima menimang bayi berumur enam bulan itu.

Wagiso pasti telah menceritakan tentang perkelahian di kebun tadi pagi. Lastri tahu persis tujuan mandor buruh dodos datang untuk menemui Murni. Juga ingin jelaskan mengapa ia gunakan jasa lapak yang lebih mirip dengan calo buah sawit itu. Mereka lebih cenderung lakukan pungli dibanding berdagang.

"Iya Pak Wagiso sudah cerita semua!" 

"Iya Mbak Lastri saya juga sudah mau pulang sekarang," ujar Wagiso yang tiba-tiba telah berada di luar.

"Kok buru-buru Pak?" tanya Lastri.

"Sudah mau hujan, lagi pula saya sudah ceritakan semua ke Ibu!"

Wagiso pun pulang. Praktis mereka pun tinggal bertiga lagi. Lastri ambil Gya dari gendongan Murni. Mereka masuk kembali ke dalam rumah.

"Benar kamu nggak kenapa-napa?"

"Benar Bu, pasti Pak Wagiso ceritakan kalau Lastri yang menang?"

"Iya!" jawab Murni, "bukan itu aja, tetangga kebun juga minta kamu yang bantu jual buah mereka."

"Susah Bu, mereka minta uang duluan terus!"

"Kamu tahu darimana?"

"Bapak pernah cerita!"

"Tapi Wagiso kok beda ceritanya sama Ibu ya?"

"Bedanya?"

'Mereka ngarep betul lho buahnya kamu yang bawa!"

"Kok bisa gitu Bu ya? Kita kan nggak punya uang untuk bayar duluan buah mereka!"

"Mungkin selama ini mereka ditekan habis harganya sama lapak jahat itu!"

"Bisa jadi sih Bu, tapi kata Bapak uang duluan itu apa!"

"Mungkin kasbon Las?" Murni menduga, "kalau bayar semua siapa yang sanggup nalangin uang sebanyak itu!"

"Mungkin mereka begitu karena lapak jahat itu kejam juga kasih harganya!"  Murni lebih seperti ulang pernyataannya tadi. 

"Betul itu Bu!"

Perkataan Murni ada benarnya. Lastri jadi mulai paham dengan masalah penjualan buah sawit dari kebun milik tetangga. Ada baiknya ia bicarakan dulu dengan Wagiso untuk susun rencana lebih lanjut. Wagiso pasti paham benar dengan kondisi hasil panen para tetangga.

Seperti biasa mereka habiskan waktu dari siang sampai malam bersama. Lastri suapi Gya dengan makanan pertamanya. Sesuai ajaran Murni seluruh makanan Gya kalau bisa dibikin sendiri. Nasi dihaluskan serta ditambah hati ayam adalah menu pertama yang diajarkan Murni untuk pertama kalinya. 

...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!