Hujan turun dengan lebatnya. Sesekali kilatan petir terlihat menyambar disusul bunyi gemuruh dibalik awan gelap. Terlihat Lastri tengah berteduh di sebuah rumah kecil. Bangunan rumah ukuran kecil itu lebih mirip bekas kios atau warung.
Sebagian pakaian dan tas sekolah yang disandangnya telah basah akibat terkena tetesan air dari atap berbahan rumbia. Sesekali Lastri ulurkan tangannya untuk rasakan sejuknya air hujan. Atau lebih tepatnya sekedar cari hiburan di tengah kemalangan yang harus ia alami.
Sebuah truk dengan warna kepala bercat kuning berhenti tepat di depan jalur masuk menuju warung. Lastri melihat seorang ibu lambaikan tangannya seolah memanggil dirinya. Lastri pilih untuk tidak menggubris panggilan itu dengan cara pura-pura tidak melihat.
Tak butuh waktu lama, seorang pria usia setengah baya turun dari mobil truk itu. Ia terlihat berjalan pelan-pelan sepertinya tak biasa memakai payung. Pelan tapi pasti ia datang menghampiri Lastri, "Sudah mau gelap Neng! Bisa bahaya disini sendirian kalau malam!"
"Terima kasih pak!" Lastri beri anggukkan, tanda terima kasih atas perhatian yang pria itu berikan.
"Sudah jangan takut, cuma saya dan istri yang ada di atas mobil," ujar pria itu coba berikan payung yang ada ditangan kirinya pada Lastri.
"Iya pak terima kasih!" Lastri lontarkan lagi ucapan terima kasih sebagai penolakan halus.
"Kalau sudah hujan dan gelap begini, nggak akan ada lagi angkutan umum yang mau jalan Neng!" ucapnya seolah berikan peringatan terakhir pada Lastri.
"Iya Pak terima kasih," kembali Lastri membalas ucapan pria itu dengan sopan.
Sekonyong-konyong Lastri melihat wanita yang dibilang istri dari sopir itu membuka pintu truknya. Seolah-olah meminta Lastri untuk tidak lagi menolak tawaran mereka. Terlihat hujan langsung menerpa ke dalam truk itu. Merasa tidak enak hati Lastri pun segera menyambut payung yang diberikan oleh supir truk itu.
"Maaf ya Bu, gara-gara saya jadi basah semua?" Lastri coba basa-basi setelah menutup pintu truk itu.
Istri supir truk itu pun berikan handuk kecil pada Lastri, sambil berkata, "Pakai ini Nak! Keringkan badan kamu!"
"Terima kasih Bu," Lastri gunakan handuk itu untuk menyeka wajah, tangan dan leher dengan handuk yang ia terima.
Panggilan "Nak" yang ia dengar, seketika membuat luluh hati Lastri. Ada kalanya panggilan itu digunakan oleh ibunya jika Lastri sedang bermanja-manja dan berperilaku manis, sesuai dengan keinginan ibunya. Kini saat-saat seperti itu telah lewat. Lastri pilih tinggalkan rumah demi kelangsungan janin calon bayi dan keselamatan dirinya.
Pada lima menit pertama mereka terlihat lakukan perkenalan bersifat umum. Kedua penolong Lastri itu, benar adanya adalah pasangan suami istri. Biasa dipanggil Pak Wasis dan Bu Wasis. Adapun nama gadis Bu Wasis adalah Murni.
"Bahaya sekali kalau kamu masih di sana, lihat tuh hujan nggak kunjung reda!" ujar Wasis sembari kendarai truk dengan penuh kewaspadaan.
"Sudah toh Pak, nggak usah dibahas lagi," jawab Murni, "handuknya kamu taruh di kepala saja, biar cepat kering rambut kamu!"
"Kamu kok bisa ada di sana tanya Wasis," tanya Wasis penuh selidik.
Ditanya seperti itu Lastri buat pengakuan bahwa telah salah dalam memilih trayek. Tadinya ingin ke kota pergi kabupaten malah ke naik angkutan menuju pasar kecamatan. Lastri pun mengaku akan ikut teman yang telah bekerja di ibukota kabupaten.
Jawaban Lastri mendapatkan respon dari Wasis. Ia berpendapat bahwa anak muda jaman sekarang cenderung lebih teledor dan banyak bengong. Akibatnya salah naik angkutan. Mudah bagi Wasis katakan itu, ia tidak tahu kejadian apa yang tengah mendera Lastri.
"Melencengnya sudah lumayan jauh kamu tadi!" ujar Wasis.
"Iya Pak, Kata kernetnya tadi sudah tiga kiloan saya salah jalan!" jawab Lastri.
"Masih muda kok banyak bengong," Wasis salahkan Lastri.
"Sudah toh Pak!" ujar Murni yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara membela Lastri.
Tak ingin ribut dengan istrinya, Wasis beri tawaran esok hari ia akan antarkan Lastri. Kebetulan ia juga ada perlu di sana Lastri berusaha perlihatkan penolakan. Namun, segera dicegah oleh Murni.
Telah lama jadi teman hidup Wasis, Murni paham sekali jika tawaran suaminya itu ditolak oleh Lastri. Untuk tenangkan situasi Murni pun katakan agar menunggu esok saja, tergantung situasi yang akan terjadi. Pendapat Murni langsung diaminkan oleh Wasis. tinggal tunggu esok berkata, "Sudah Lastri kita lihat saja besok!"
Sepanjang perjalanan Wasis banggakan truknya yang baru itu. Mulai dari tenaga, teknologi, tingkat kenyamanan. Tak heran tipe truk itu memang yang tertinggi. Wasis sengaja membeli truk itu untuk kegiatan panen sawit kebunnya. Juga ingin ajak Murni naik truk tanpa harus kehilangan kenyamanan.
Sesekali Murni komplain atas suhu AC yang terlalu dingin. Terlebih hujan tak berhenti ikuti perjalanan mereka. Dalam hati, Lastri setuju jika suhu udara dalam mobil truk perlu untuk dinaikkan. Tapi Lastri sudah dapatkan kehangatan yang lain. Hubungan hangat sebagai kesatuan keluarga yang pernah ia miliki.
Kurang dari dua jam truk yang mereka tumpangi tiba di rumah mereka. Lastri diminta untuk menginap. Keadaan ini tentu saja sangat menguntungkan Lastri. Ia pun tak kuasa menolak.
Lastri keluar dari kamar tamu dan berjalan ikuti Murni. Rupanya Lastri diajak Istri Wasis itu untuk duduk dan sarapan pagi di beranda rumah. Di atas meja kecil sudah tersedia pisang goreng dan teh manis.
Ada pula gelas berisi kopi yang telah berkurang setengahnya. Kopi hitam identik dengan minuman laki-laki itu milik Wasis. Sedangkan pemiliknya kopi itu kedapatan tengah kagumi truk barunya itu.
"Kamu hamil berapa bulan!" tukas Murni.
"Masuk bulan kelima Bu!" jawab Lastri gagap.
Lastri sempat terkejut dengan pertanyaan yang Murni ajukan. Lastri putuskan untuk jujur pada penolongnya itu. Lalu menjawab atas dasar omongan perawat puskesmas ditambah waktu berjalan ketika mengalami kejadian mengerikan itu..
"Maaf, saya mau tanya kok kamu minggat dalam keadaan hamil!" Murni bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Saya diminta gugurkan bayi ini Bu," jawab Lastri bersedih.
"Siapa yang suruh!" Terdengar ketus nada suara Murni.
"Ibu saya," jawab Lastri sambil tundukkan kepala.
"Lah Bapak kamu gimana?" tanya Murni kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Bapak meninggal empat tahun lalu," jawab Lastri.
Murni lalu tunjukkan rasa simpati sekaligus lega karena banyaknya kehamilan akibat inses akhir-akhir ini, "O.. Maaf, tapi kamu tahu siapa bapak dari calon bayi ini!"
"Tahu Bu," jawab Lastri.
"Terus kenapa nggak tanggung jawab dia!" tegas Murni.
"Dia kerjanya jauh, Dia nggak tahu kalau saya hamil!" jawab Lastri berbohong.
"Maksud kamu TKI?" tukas Murni.
"Iya.. iya Bu!" Buru-buru Lastri pakai pertanyaan Murni sebagai jawaban.
"Kenapa ibu kamu tidak setuju dengan kehamilan kamu!" Mantan bidan desa itu bertanya dengan penekanan yang amat terasa.
"Keluarga Yudi tidak mau menerima saya sebelum dapat jawaban dari anaknya," jawab Lastri tanpa sengaja menyebut ayah dari calon bayinya.
Agaknya Murni mulai paham terhadap alur dari cerita bebas Lastri. Jelas ada sebagian kebohongan di sana. Jika Murni tahu perasaan Lastri, penuh rasa terpaksa wanita muda yang baru ia beri pertolongan itu lakukan sebuah kebohongan.
Tapi pastinya akan lebih berat jika Lastri ceritakan sesuai kenyataan. Rasanya tidak mungkin Lastri ceritakan tentang adanya rencana lanjutan pembunuhan yang diarahkan pada dirinya. Cerita seperti itu tentu akan dapat timbulkan ketakutan tersendiri bagi pasangan suami istri itu.
"Apa kamu mau selamanya pergi dari rumah?" Murni coba tanyakan perasaan Lastri.
"Tidak Bu, saya cuma ingin selamatkan bayi ini," ucap Lastri sambil pegangi perutnya, "saya sudah berjanji!"
"Kamu janji sama siapa?" tanya Murni.
"Ee ... saya sudah janji dengan diri saya sendiri Bu dan anak ini," Seperti ada keraguan Lastri dalam menjawab kepada siapa ia telah mengikat janji.
"Jenis kelamin perempuan yang ada di dalam perut kamu!" Murni coba tutupi keraguan Lastri ketika bicara tentang kandungannya.
"Beneran Bu?" Lastri penasaran
"Iya, tergambar dari bentuk perut kamu!" tegas Murni.
"O.. begitu ya Bu!" jawab Lastri mulai yakin pada omongan Murni.
"Kalau pacar kamu nanti pulang tetap lepas tanggung jawab gimana?" Murni balik ke topik awal pembicaraan.
*Saya tetap akan merawat anak saya ini Bu!" tegas Lastri
"Bagus! Tegas kamu," puji Murni "Terus yang kamu bilang ada kawan yang di kota itu bagaimana?"
"Maaf Bu, saya sudah bohong sama ibu dan bapak?" ujar Lastri penuh rasa tidak nyaman akibat telah lakukan kebohongan.
"Ya sudah! Kalau itu urusan saya sama bapak nanti!" jawab Murni.
"Terima kasih Bu," Lastri merasa lega.
"Kamu masih sekolah?" tanya Murni.
Lastri paham, pastilah mudah bagi orang yang berpengalaman seperti Murni untuk buktikan ia adalah seorang pelajar. Dari jenis tas saja secara gamblang orang tahu bahwa ia adalah seorang pelajar. Tas yang dipakai Lastri pernah tren dipakai para pelajar wanita tahun lalu.
Lastri pun bercerita bagaimana ia harus diberhentikan dari sekolah oleh Dewan Guru. Praktis secara resmi saat ini ia tidak layak lagi menyandang status pelajar. Dengan penuh kesedihan Lastri ceritakan itu pada Murni.
"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal disini!" Murni berikan sebuah tawaran agar Lastri mau tinggal bersama mereka.
"Jangan Bu!" Lastri sepertinya khawatir pada Wasis akibat kebohongannya. Sikap tegas suami Murni itu membuat Lastri jerih.
"Sudah nanti saya yang bilang ke bapak!" tukas Murni percaya bahwa suaminya akan setuju dengan keputusannya nanti.
"Saya ikut saja dengan putusan Ibu," ujar Lastri.
"Sepertinya bagus begitu, minimal sampai cucu perempuan saya lahir!" ujar Murni sambil tersenyum lebar bayangkan ada tangisan bayi di rumahnya.
Hampir tiga bulan Lastri tinggal bersama pasutri yang baik hati itu. Kegembiraan seperti tak pernah lekang di keluarga Wasis. Sikap Lastri yang pandai bawa diri, telah timbulkan rasa sayang pasangan suami istri itu.
Lastri benar-benar telah dianggap anak kandung oleh mereka. Belakangan barulah Lastri tahu bahwa pasangan itu tidak dikaruniai seorang anak. Walau ibu Murni merupakan mantan bidan senior di desa mereka. Sepertinya Lastri telah bawakan dua berkah, sebagai anak yang akan berikan cucu pada pasangan tua itu.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Sudah saatnya Lastri untuk siapkan makan malam untuk orang tua angkatnya. Namun, tidak ada pergerakan Lastri untuk keluar dari kamarnya.
"Aduh … Bu!" Lastri keluarkan erangan.
"Kenapa kamu?" Murni bertanya.
"Perut saya mules dari tadi sore!" jawab Lastri.
"Ayo, pindah ke ruang tengah," Murni minta Lastri segera keluar dari kamarnya.
Ada bercak cairan putih kecoklatan yang jatuh pada lantai. Sebagai bidan senior tentu tahu ciri dan tanda seorang wanita akan melahirkan. Walaupun kelahiran itu prematur sekalipun. Malam itu, di tengah hujan deras terdengar teriakan Murni memanggil-manggil suaminya.
...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
👑Keluarga author
keren 👍
2023-02-20
0