Mobil ambulan bertuliskan nama sebuah puskesmas kecamatan tetangga terlihat memasuki pekarangan rumah orang tua Lastri. Tidak ada bunyi sirine atau lampu yang menyala Para tetangga yang melihat kejadian itu serta merta berkumpul tepat di halaman depan rumah itu.
Tak berselang lama Lastri-pun keluar dari mobil ambulan. Tentu saja dengan cara dipapah. Mereka keluar melalui pintu belakang mobil ambulan. Perawat itu terdengar seperti berikan arahan pada Lastri, "Pelan-pelan saja turunnya!"
Tidak keluar suara sedikit pun dari mulut Lastri. Pandangan mata Lastri tampak kosong. Adapun gerakan tubuhnya seperti tidak punya keseimbangan, dan terkesan amat limbung Tak hanya itu, wajah Lastri pun terlihat sangat pucat, seperti mayat hidup.
Enah, Ibunda Lastri terlihat cemas melihat keadaan putri satu-satunya itu. Sudah tiga hari ia mencarinya, tapi tak ada orang tahu atau melihat keberadaan Lastri, putrinya. Enah terlihat cukup histeris, berkali-kali ia keluarkan teriakan campur tangisan. "Ya ampun Lastri, kamu kenapa?"
"Lastri nggak kenapa-napa kok, Bu," ujar Perawat wanita dari puskesmas itu seolah ingin tenangkan Enah.
"Duh Gusti!"
"Lastri nggak apa-napa kok Bu,"
Kembali Enah berputar-putar di sekitar Lastri. Layaknya lebah mengikuti lebah ratu yang dipindah ke kotak lain oleh peternak lebah. Enah terlalu bingung, tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya perawat itu berkata pada Enah, "Baiknya ibu siapkan tempat tidurnya saja dulu!"
Enah langsung bergegas ke dalam rumah, untuk siapkan tempat tidur bagi Lastri. Tak selang beberapa lama ia pun keluar lagi. Lalu menyuruh seorang anak laki-laki yang ada di dekat rumahnya untuk memanggil Madi, paman Lastri.
"Ditaruh di ruang tengah saja nggak apa-apa, kan Bu Dokter," tanya Enah yang sudah masuk kembali ke dalam rumah.
"Tidak apa Bu, malah bagus bisa dilihat setiap saat!" ujar perawat itu sambil memapah Lastri melewati ruang tamu.
Tempat tidur dari bahan kapuk itu ditaruh di atas selembar tikar. Dialas gunakan kain batik, dan diletakkan tepat di depan TV. Tak lupa sebuah bantal diletakkan pada sisi bagian atas kasur.
"Bisa bantu saya Bu!" ujar perawat itu.
"Bisa-bisa Bu dokter." jawab Enah cepat.
"Pelan-pelan ya Bu," Perawat itu berikan instruksi.
"Kenapa dengan Lastri Bu Dokter?" Enah coba tanyakan lagi saat mereka baringkan Lastri.
"Nanti saja ya, Bu," jawabnya.
Ibunda Lastri heran, ada apa orang yang disangkanya dokter itu tak kunjung beri penjelasan. Tentang apa yang terjadi pada Lastri. Terbit ketakutan yang sangat nyata di wajahnya. Enah hanya mampu melirik ke arah putri semata wayangnya itu. Adapun Lastri hanya terbujur diam dengan mata terbelalak.
"Baiklah Bu, ini hasil visum Dek Lastri," ujar perawat itu pada Ibunda Lastri, " ini tanda terimanya."
"Nanti saja Bu Dokter!" jawab ibunda Lastri kali ini, "tunggu pamannya saja, sebentar lagi juga datang!"
Sungguh lucu. Enah tadi menggebu-gebu ingin tahu keadaan Lastri mendadak mundur. Sepertinya ia takut jika harus dituntut mengerti atas suatu dokumen. Terlebih soal tanda terima. Banyak orang kampung menganggap sebagai tanda lunas pembayaran.
Terdengar suara salam dari luar pintu oleh seorang pria. Benar saja Madi, paman Lastri yang datang. Madi adalah orang yang diminta panggilkan oleh Enah lewat anak kecil tadi. Beruntung Madi masih berada di rumah ketika bocah lelaki yang disuruh memanggilnya tiba.
Madi adalah adik almarhum suaminya, sekaligus sebagai paman dan wali dari Lastri. Enah khawatir jika hal yang akan disampaikan tenaga medis itu tidak dapat dimengerti olehnya. Terlebih Enah sangat takut biaya tagihan yang akan dibayar atas layanan kesehatan yang telah diberikan.
Mengetahui Madi telah hadir di rumahnya, Enah langsung meminta agar segera duduk di dekat mereka. Madi pun turuti permintaan bekas kakak iparnya itu.
"Bu Dokter, ini pamannya Lastri," Enah berupaya untuk perkenalkan Madi pada perawat itu, "Bu Dokter bisa ngobrol sama adik saya ini saja!"
"Silahkan Bu Dokter bicara sama saya," Madi coba buka obrolan, "saya Pak Lek-nya Lastri."
"Maaf pak, saya bukan dokter!" jawab perawat itu.
"Oh ya.. ya, maaf Bu, jadi Ibu?"
"Saya perawat dari puskes."
Mendengar keterangan perawat itu Madi kontan melihat ke arah Enah. Seolah ingin salahkan mantan kakak iparnya itu. Meski dalam suasana sedih, tetap saja ada sedikit rasa kesal karena sikap sok tahu Enah.
"Ini Pak, saya mau berikan laporan visum," ujar perawat itu.
"Visum apa ya Bu?" tanya Madi.
"Visum bukti perkosaan!"
"Perkosaan? Maksudnya?"
Mendengar perkataan perawat, Enah yang turut dengarkan dari tadi menangis keras. Ia pun mengelus wajah dan rambut putrinya itu. Air matanya bercucuran, kemudian ia pun meletakkan kepalanya rebah tepat di atas bahu kiri Lastri.
Madi mulai mengerti apa yang terjadi pada keponakannya itu. Kini ia merasa wajar jika ia harus dilibatkan oleh mantan kakak iparnya itu. Terlebih ketika ia telah selesai membaca dan mengerti akan hasil visum yang diberikan oleh perawat itu.
"Emang belum lapor ke polisi ya Bu ya?" tanya Madi.
"Sudah Pak, justru kepolisian duluan baru puskes!"
"Lha terus?" Madi ingin tahu kelanjutannya.
"Pihak kepolisian bilang ada baiknya ditanyakan ke pihak keluarga dulu Pak!" jawab perawat itu.
"Lho kok bisa gitu ya Bu ya," Madi merasa heran terkait tindakan penegak hukum.
Tidak ada salah dengan tindakan pihak berwajib. Mereka telah lakukan sesuai prosedur. Bukti-bukti yang ada kaitan dengan peristiwa hukum telah juga diperiksa dan diamankan.
Satu-satunya saksi mata adalah korban, yaitu Lastri. Sedangkan gadis itu dalam kondisi yang tidak bisa bicara. Lebih-lebih untuk dimintakan keterangan.
Terdengar tangisan Ibunda Lastri semakin keras. Madi pun terpaksa harus menegur mantan kakak iparnya itu. Ia tidak mau keterangan dari perawat puskesmas tidak dapat dimengerti olehnya gara-gara suara tangisan itu.
"Sudah mbak jangan menangis saja," ujar Madi.
"Kalau dari pemeriksaan sudah jalan lima belas minggu, Pak!" Perawat itu beri tahu usia kehamilan Lastri pada Madi dan Enah.
"Bisa nggak Ibu ceritakan kejadiannya?" pinta Madi.
Perawat itu pun bercerita kejadian yang menimpa Lastri. Ia coba terangkan secara runut berdasarkan cerita yang ia ketahui. Kejadian bermula dengan Lastri ditemukan oleh seorang penderes karet di area perkebunan milik rakyat.
Lastri ditemukan dalam keadaan nyaris tak berbusana. Selain jejak perkosaan juga ditemukan bekas-bekas tindak kekerasan. Ada dugaan Lastri telah alami percobaan pembunuhan. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan aparat penegak hukum setempat.
Enah yang turut dengarkan penuturan dari perawat, kembali keluarkan teriakan. Kali ini ia menyebut nama adik iparnya sebagai bentuk penyesalan pada nasib yang harus diterima Lastri. Adapun Madi terlihat hanya diam terpaku sehabis dengarkan cerita perawat itu.
"Bapak sudah mengerti penjelasan saya ini kan?" tanya perawat wanita itu.
"Sudah Bu," jawab Madi lemas.
"Syukurlah," ucap perawat itu, "Mohon maaf Pak ada beberapa pembayaran yang harus diselesaikan!"
"Mbak … Mbak! Sini Mbak!" Panggil Madi pada mantan kakak iparnya itu.
Tak ada maksud dari Madi meminta Enah turut membayar tagihan. Tapi ia lebih takut jika terjadi kekurangan bayar. Kecemasan Madi dijawab oleh Perawat itu, "Kami dari pihak puskesmas mengerti kok Pak, kami cuma minta penggantian biaya visumnya saja!"
"Oh ya Bu," ujar Madi agak lega. Ia sangat khawatir jika diminta bayarkan semuanya. Untuk ambulan saja pastilah sudah mahal.
Perawat itu pun keluarkan selembar kertas berisikan rincian biaya. Tak ketinggalan selembar kwitansi sebagai tanda pembayaran khusus visum. Surat visum itu dikeluarkan oleh rumah sakit terdekat.
Setelah melihat angka yang tertera, Madi lakukan pembayaran. Tak lupa ia ucapkan terima kasih batas keringanan yang diterima oleh keluarganya. Perawat itu pun menerima ucapan terima kasih dari Madi.
Di akhir pembicaraan perawat itu berikan secarik kertas. Berisikan nomor telepon puskesmas mereka dan nomor kantor polisi yang menangani. Ia merasa wajib berikan kedua nomor kalau ada yang perlu ditanyakan lagi oleh keluarga Lastri.
Perawat itu akhirnya mohon diri. Hanya Madi yang antarkan ke depan. Adapun Enah lebih memilih bersama putrinya.
Sepeninggal perawat itu Madi masuk kembali ke dalam rumah. Bergantian ia tatap keponakan dan mantan kakak iparnya itu. Madi dapat rasakan sedih yang mendalam dari keluarga almarhum kakak pertamanya itu. Namun, ia masih dapat bersyukur bahwa keponakannya itu masih hidup.
Beberapa tetangga yang kebanyakan jenis kelamin perempuan menyeruak masuk. Sepertinya mereka tadi tertahan oleh supir ambulan yang melarang mereka masuk. Terbukti setelah mobil ambulan itu keluar dari pekarangan rumah Lastri, serentak mereka berbondong-bondong masuk ke dalam rumah. Para warga dan tetangga itu sepertinya ingin berikan simpati pada keluarga Lastri.
Seminggu sudah setelah kejadian sejak upaya pembunuhan. Lastri hanya dapat berbaring. Tidak ada satu katapun yang terucap dari mulutnya. Bahkan Ibunda Lastri rasakan ada yang berbeda dengan pandangan juga sinar mata anaknya.
Sejak terkena musibah, hampir setiap hari Enah temani Lastri. Terkadang Ibunda Lastri itu tinggalkan pekerjaannya sebagai buruh deres karet. Otomatis tak ada uang yang didapat secara harian.
Beruntung Madi selalu ingat pada ipar dan keponakannya itu. Walau bukan petani kaya Madi selalu berusaha membantu mereka. Ia selalu menyisihkan uang untuk keluarga Lastri sejak kakak kandung tertuanya meninggal dunia lima tahun lalu.
Seperti sore lainnya Lastri tengah disuapi oleh ibunya. Setiap di sela-sela suapan Enah selalu bicara pada putrinya itu. Yang dibicarakan saat itu adalah gunjingan dari tetangga. Terlihat benar bahwa Sang Ibu sudah tak tahan menjadi bahan gunjingan.
"Nanti kalau kamu sudah sehat, kita panggil Mbah Jum, biar diurut saja!" ujar Enoh membujuk Lastri agar mau gugurkan kandungannya.
"Biarkan dia hidup," terdengar lirih suara Lastri berikan penolakan pada ibunya.
Jawaban itu sangat tidak diharapkan oleh Enah, jelas-jelas bertentangan dengan maunya. Enah rasa ada yang aneh dari tata bahasa Lastri, seolah bukan putrinya. Tapi itu adalah kata-kata yang terlontar dari mulut Lastri, suara putrinya yang telah ia nantikan sejak seminggu lalu.
Senang hati Enah pada akhirnya dapat dengarkan suara Lastri kembali. Namun, saat menatap mata Lastri terlihat mata itu tetap kosong. Hanya menatap nanar. Lalu terdengar lagi tangisan Ibunda Lastri yang kembali pecah.
...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...
Tepat pada hari kelima belas, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan dan beberapa guru sengaja berkunjung ke rumah Lastri. Alasan mereka lakukan kunjungan adalah mendapatkan kejelasan sebab Lastri tidak hadir di kegiatan belajar mengajar. Praktis sejak kejadian itu, Lastri memang hanya bisa berbaring di atas kasur.
Ada yang janggal dari kedatangan wakil kepala sekolah dan guru-guru pada siang hari itu. Surat pemberhentian dari sekolah untuk Lastri agaknya telah mereka siapkan sedari awal. Sepertinya pihak sekolah telah dapat kabar tentang kehamilan Lastri sebelumnya. Pastinya para dewan guru telah ada kata sepakat pulangkan Lastri pada orang tuanya.
Yudi datang ke rumah Lastri. Itu kali kedua ia datang ke rumah Lastri sejak apa yang menimpa Lastri terjadi.Yudi adalah alumni di sekolah yang sama dengan Lastri. Mereka sempat dekat, bahkan teman main sedari kecil. Mereka berselisih dua tahun ajaran.
Yudi sempatkan dirinya bercakap-cakap dengan para mantan gurunya di depan rumah Lastri. Agaknya para guru bangga padanya. Karena Yudi telah kenakan seragam dari sebuah perusahaan lapak sawit yang terkenal di daerah mereka.
"Lastri ini saya bawakan jeruk!" ujar Yudi sambil tersenyum dan menaruh sebuah bungkusan plastik di meja tamu yang ada di dekat kepala Lastri.
Enah yang melihat kejadian itu membalas penuh basa-basi pada Yudi. Ia seolah-olah bertindak mewakili Lastri dalam menerima kedatangan mantan pacar anaknya itu. Walau penuh kepura-puraan, pada Enah tetap ucapkan terima kasih atas kunjungan Yudi pada putrinya.
"Bi, Lastri gimana kondisinya sekarang?" tanya Yudi pada Enah sesaat ia telah duduk di sisi kanan kasur Lastri.
"Ya beginiah, Masih seperti tempo hari Nak Yudi!" Terdengar pasrah jawaban dari Enah, "belum ada perubahan!"
"Tapi kata bibi dan orang-orang, Lastri sudah sempat bicara-bicara tempo hari!" tanya Yudi heran. "masak hari ini jad nggak bisa ngomong lagi?"
"Ya begitu nak Yudi!" jawab Enah sesuai dengan pesan Lastri agar tidak katakan kondisi dirinya yang sebenarnya pada siapapun.
Memang Lastri sempat mengaku pada ibunya bahwa jika ia banyak bicara maka timbul rasa sakit di kepalanya. Untuk itu Enah berbohong pada Yudi. Enah khawatir jika Lastri harus menderita sakit yang amat sangat pada bagian kepala seperti minggu lalu.
Sengaja Yudi pura-pura bertanya tentang tujuan guru-guru sekolah datang ke rumah Lastri. Padahal ia telah tahu perihal Lastri diberhentikan dari sekolah. Guru-guru itu sendiri yang telah membeberkan berita itu padanya saat mereka berbincang-bincang tadi. Tepatnya sebelum Yudi masuk kedalam rumah Lastri.
"Bi, guru-guru pada kesini mau ngapain?" Yudi berpura-pura bertanya maksud tujuan para dewan guru berkunjung.
"Ya biasa toh Yud, ngebesuk Lastri," jawab Enah agak kesal karena harus berbohong lagi.
Tentu saja Enah tidak mau beri tahu Yudi tentang kehamilan Lastri. Walau seluruh warga sudah tahu, kabar itu tidak akan pernah keluar dari mulutnya. Enah berpikir jika Lastri setuju gugurkan kandungannya, maka tudingan masyarakat desa akan hilang dengan sendirinya.
Seperti almarhum suaminya Enah selalu berpegang teguh pada nama baik. Jika memang harus bocor, hal itu harus dapat dipastikan bukan dari mereka. Termasuk kabar Lastri diberhentikan dari sekolah karena hamil, akan ia jaga untuk tidak keluar dari mulutnya. Sayang Enah tidak tahu bahwa lelaki muda yang ada di depannya itu adalah penyebab putrinya berbadan dua.
Yudi memang cukup lama ada hubungan dengan Lastri. Malah mereka telah biasa main bersama sejak kecil. Enah tahu akan hal itu. Namun, Enah tahu persis bahwa hubungan mereka telah putus dua atau tiga bulan lalu.
"Gimana Nak Yudi kerjaannya? Lancar?" tanya Enah.
"Baik-baik saja Bi, memang harus banyak belajar dulu!" jawab Yudi.
"Kamu kan baru masuk kerja disana, kok banyakan istirahat disini sih? tanya Enah heran, terlebih status Yudi sebagai karyawan baru. "jarak dari sini ke sana kan jauh?"
"Ya nggak apa-apa Bi, kan memang lagi jam istirahat!" jawab Yudi.
Sesuai pesan Lastri, Enah tidak ingin Yudi berlama-lama di rumah mereka. Enah juga takut kalau-kalau Yudi ditegur oleh atasan. Tetap saja sebagai orang tua ia tidak ingin hal buruk terjadi pada seseorang. Terlebih Yudi masih satu kampung.
"Maaf lho Nak Yudi bukan Bibi mau ngusir kamu, Tapi Bibi mau istirahat," ujar Enah, "lagi pula Lastri mau bebersih dulu!"
"Iya iya Bi …, saya ngerti kok!" jawab Yudi halus walau dengan raut muka masam, "Lastri saya izin pulang dulu ya!"
"Terima kasih ya Nak Yudi!" ujar Enah.
"Saya pamit ya Bi!" Yudi pun meminta izin pada Enah.
Lastri perlu segera dibersihkan adalah kiat sukses Enah mengusir Yudi secara halus. Tak berselang lama Yudi ucapkan salam, raungan suara motor pun terdengar. Lastri sangat kenal dengan suara khas motor dua tak itu. Ya, motor milik salah satu dari pemerkosa dirinya.
"Bu, tolong lihat motor yang diluar itu Bu?" pinta Lastri.
Enah berjalan ke jendela, lalu ia sibak kain warna biru itu. Kain bekas bendera partai yang berfungsi sebagai gorden. . Setelah melihat keluar, Enah pun berkata, "yang motor jambret itu ya Las?"
"Iya Bu, apa warna tangki motor itu di cat kuning?" tanya Lastri.
"Iya Las, warna tangkinya kuning terang," jawab Ibunda Lastri.
"Mas Yudi sudah naik motor itu Bu?" tanya Lastri kali ini ia coba untuk duduk.
"Belum, masih ngobrol sama orang yang di motor, Eh kamu kok mau duduk kok nggak bilang dulu ke Ibu!" Enah coba beri peringatan pada Lastri.
Lastri merasa perlu membahas siapa orang "Nggak apa apa saya sudah mulai kuat kok!" jawab Lastri,
"Apa rambutnya panjang Bu?" tanya Lastri.
"Iya keriting! Megar gitu rambutnya, terus tuh diikat, dia pakai baju kotak-kotak," jawab Enah.
"Dia pakai bandana hitam ya Bu," tanya Lastri lagi.
"Iya benar, kamu kenal dengan dia?" Enah balik bertanya.
"Nggak Bu!" Lastri gelengkan kepalanya dengan pelan.
Lastri memang tidak kenal secara pribadi pada lelaki itu. Tapi ia tahu siapa lelaki itu, Namanya Bambang. Tapi biasa dipanggil Bems oleh More. Dia kawan karib More.
Setelah menjawab pertanyaan terakhir dari Lastri, Enah segera kembali di sisi kiri Lastri lagi. Ia ingin membantu mengatur posisi duduk putrinya itu. Segera Enah letakkan bantal di belakang leher Lastri sebagai sandaran.
"Terima kasih Bu!" Lastri ucapkan terima kasih pada Enah setelah merasa lebih rileks dengan bantal sebagai sandaran, "Ibu sering nggak melihat motor itu?"
"Ya nggak lah Las, ibu kan nggak pernah keluar!" jawab Enah.
"Tapi saya seperti sering mendengar suara motor itu!" ujar Lastri, "sudah hampir satu minggu ini!"
"Eh iya bener kamu Lastri, tempo hari pas Yudi datang juga diantar motor itu?" jawab Enah.
Enah merasa heran pada Lastri, mengapa bisa ada perhatian khusus pada motor itu. Ada satu hal lagi yang membuat Enah heran. Lastri tak pernah menyebut dirinya dengan kata "saya". Lastri biasa menyebut namanya sendiri dengan nama Astri. Sebuah nama yang dianggap lebih cantik dan manja oleh putrinya itu.
"Tuh sudah pergi motornya," ujar Enah ketika suara bising motor itu semakin terdengar menjauh.
"Iya Bu," Lastri mengangguk pelan
"Kamu makan ya," Enah berikan tawaran makan pada Lastri.
"iya Bu!" Lastri menurut.
"Jeruk dari Yudi mau kamu makan nggak Las?" Enah perlihatkan dua buah jeruk yang ia ambil dari bungkus plastik itu.
"Mau Bu!" jawab Lastri.
Sambil kedua tangannya sibuk bukakan dua buah jeruk tadi, Enah pun berkata, "Nanti kalau kamu sudah sehat, kita minta bantuan sama Pak Lek cari sekolah yang baru untuk kamu!"
"Sepertinya nggak perlu lagi deh Bu!" pungkas Lastri.
"Kenapa kamu ngomong gitu, sekolah kan penting!" Enah coba ingatkan pentingnya sekolah.
"Malu Bu, masih sekolah kok sudah punya anak?" jawab Lastri.
"Makanya kita pergi ke Mbah Jum," Enah kembali membujuk Lastri untuk gugurkan kandungannya.
"Saya nggak mau Bu," jawab Lastri sembari miringkan tubuhnya hingga air mata menetes di kedua tepi matanya.
"Ya sudah Ibu mau ambil makan buat kamu," ujar Enah tegas, mencoba untuk kuatkan dirinya.
Enah berjalan ke dapur untuk ambilkan makan anaknya. Adapun Lastri memakan buah jeruk pemberian Yudi. Terasa asam ketika ruas jeruk pertama ia masukan ke dalam mulutnya. Namun, untuk ruas jeruk berikutnya Lastri dapat rasakan lebih manis Seakan-akan berasal dari buah jeruk yang berbeda.
...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...
Hujan turun dengan lebatnya. Sesekali kilatan petir terlihat menyambar disusul bunyi gemuruh dibalik awan gelap. Terlihat Lastri tengah berteduh di sebuah rumah kecil. Bangunan rumah ukuran kecil itu lebih mirip bekas kios atau warung.
Sebagian pakaian dan tas sekolah yang disandangnya telah basah akibat terkena tetesan air dari atap berbahan rumbia. Sesekali Lastri ulurkan tangannya untuk rasakan sejuknya air hujan. Atau lebih tepatnya sekedar cari hiburan di tengah kemalangan yang harus ia alami.
Sebuah truk dengan warna kepala bercat kuning berhenti tepat di depan jalur masuk menuju warung. Lastri melihat seorang ibu lambaikan tangannya seolah memanggil dirinya. Lastri pilih untuk tidak menggubris panggilan itu dengan cara pura-pura tidak melihat.
Tak butuh waktu lama, seorang pria usia setengah baya turun dari mobil truk itu. Ia terlihat berjalan pelan-pelan sepertinya tak biasa memakai payung. Pelan tapi pasti ia datang menghampiri Lastri, "Sudah mau gelap Neng! Bisa bahaya disini sendirian kalau malam!"
"Terima kasih pak!" Lastri beri anggukkan, tanda terima kasih atas perhatian yang pria itu berikan.
"Sudah jangan takut, cuma saya dan istri yang ada di atas mobil," ujar pria itu coba berikan payung yang ada ditangan kirinya pada Lastri.
"Iya pak terima kasih!" Lastri lontarkan lagi ucapan terima kasih sebagai penolakan halus.
"Kalau sudah hujan dan gelap begini, nggak akan ada lagi angkutan umum yang mau jalan Neng!" ucapnya seolah berikan peringatan terakhir pada Lastri.
"Iya Pak terima kasih," kembali Lastri membalas ucapan pria itu dengan sopan.
Sekonyong-konyong Lastri melihat wanita yang dibilang istri dari sopir itu membuka pintu truknya. Seolah-olah meminta Lastri untuk tidak lagi menolak tawaran mereka. Terlihat hujan langsung menerpa ke dalam truk itu. Merasa tidak enak hati Lastri pun segera menyambut payung yang diberikan oleh supir truk itu.
"Maaf ya Bu, gara-gara saya jadi basah semua?" Lastri coba basa-basi setelah menutup pintu truk itu.
Istri supir truk itu pun berikan handuk kecil pada Lastri, sambil berkata, "Pakai ini Nak! Keringkan badan kamu!"
"Terima kasih Bu," Lastri gunakan handuk itu untuk menyeka wajah, tangan dan leher dengan handuk yang ia terima.
Panggilan "Nak" yang ia dengar, seketika membuat luluh hati Lastri. Ada kalanya panggilan itu digunakan oleh ibunya jika Lastri sedang bermanja-manja dan berperilaku manis, sesuai dengan keinginan ibunya. Kini saat-saat seperti itu telah lewat. Lastri pilih tinggalkan rumah demi kelangsungan janin calon bayi dan keselamatan dirinya.
Pada lima menit pertama mereka terlihat lakukan perkenalan bersifat umum. Kedua penolong Lastri itu, benar adanya adalah pasangan suami istri. Biasa dipanggil Pak Wasis dan Bu Wasis. Adapun nama gadis Bu Wasis adalah Murni.
"Bahaya sekali kalau kamu masih di sana, lihat tuh hujan nggak kunjung reda!" ujar Wasis sembari kendarai truk dengan penuh kewaspadaan.
"Sudah toh Pak, nggak usah dibahas lagi," jawab Murni, "handuknya kamu taruh di kepala saja, biar cepat kering rambut kamu!"
"Kamu kok bisa ada di sana tanya Wasis," tanya Wasis penuh selidik.
Ditanya seperti itu Lastri buat pengakuan bahwa telah salah dalam memilih trayek. Tadinya ingin ke kota pergi kabupaten malah ke naik angkutan menuju pasar kecamatan. Lastri pun mengaku akan ikut teman yang telah bekerja di ibukota kabupaten.
Jawaban Lastri mendapatkan respon dari Wasis. Ia berpendapat bahwa anak muda jaman sekarang cenderung lebih teledor dan banyak bengong. Akibatnya salah naik angkutan. Mudah bagi Wasis katakan itu, ia tidak tahu kejadian apa yang tengah mendera Lastri.
"Melencengnya sudah lumayan jauh kamu tadi!" ujar Wasis.
"Iya Pak, Kata kernetnya tadi sudah tiga kiloan saya salah jalan!" jawab Lastri.
"Masih muda kok banyak bengong," Wasis salahkan Lastri.
"Sudah toh Pak!" ujar Murni yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara membela Lastri.
Tak ingin ribut dengan istrinya, Wasis beri tawaran esok hari ia akan antarkan Lastri. Kebetulan ia juga ada perlu di sana Lastri berusaha perlihatkan penolakan. Namun, segera dicegah oleh Murni.
Telah lama jadi teman hidup Wasis, Murni paham sekali jika tawaran suaminya itu ditolak oleh Lastri. Untuk tenangkan situasi Murni pun katakan agar menunggu esok saja, tergantung situasi yang akan terjadi. Pendapat Murni langsung diaminkan oleh Wasis. tinggal tunggu esok berkata, "Sudah Lastri kita lihat saja besok!"
Sepanjang perjalanan Wasis banggakan truknya yang baru itu. Mulai dari tenaga, teknologi, tingkat kenyamanan. Tak heran tipe truk itu memang yang tertinggi. Wasis sengaja membeli truk itu untuk kegiatan panen sawit kebunnya. Juga ingin ajak Murni naik truk tanpa harus kehilangan kenyamanan.
Sesekali Murni komplain atas suhu AC yang terlalu dingin. Terlebih hujan tak berhenti ikuti perjalanan mereka. Dalam hati, Lastri setuju jika suhu udara dalam mobil truk perlu untuk dinaikkan. Tapi Lastri sudah dapatkan kehangatan yang lain. Hubungan hangat sebagai kesatuan keluarga yang pernah ia miliki.
Kurang dari dua jam truk yang mereka tumpangi tiba di rumah mereka. Lastri diminta untuk menginap. Keadaan ini tentu saja sangat menguntungkan Lastri. Ia pun tak kuasa menolak.
Lastri keluar dari kamar tamu dan berjalan ikuti Murni. Rupanya Lastri diajak Istri Wasis itu untuk duduk dan sarapan pagi di beranda rumah. Di atas meja kecil sudah tersedia pisang goreng dan teh manis.
Ada pula gelas berisi kopi yang telah berkurang setengahnya. Kopi hitam identik dengan minuman laki-laki itu milik Wasis. Sedangkan pemiliknya kopi itu kedapatan tengah kagumi truk barunya itu.
"Kamu hamil berapa bulan!" tukas Murni.
"Masuk bulan kelima Bu!" jawab Lastri gagap.
Lastri sempat terkejut dengan pertanyaan yang Murni ajukan. Lastri putuskan untuk jujur pada penolongnya itu. Lalu menjawab atas dasar omongan perawat puskesmas ditambah waktu berjalan ketika mengalami kejadian mengerikan itu..
"Maaf, saya mau tanya kok kamu minggat dalam keadaan hamil!" Murni bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Saya diminta gugurkan bayi ini Bu," jawab Lastri bersedih.
"Siapa yang suruh!" Terdengar ketus nada suara Murni.
"Ibu saya," jawab Lastri sambil tundukkan kepala.
"Lah Bapak kamu gimana?" tanya Murni kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Bapak meninggal empat tahun lalu," jawab Lastri.
Murni lalu tunjukkan rasa simpati sekaligus lega karena banyaknya kehamilan akibat inses akhir-akhir ini, "O.. Maaf, tapi kamu tahu siapa bapak dari calon bayi ini!"
"Tahu Bu," jawab Lastri.
"Terus kenapa nggak tanggung jawab dia!" tegas Murni.
"Dia kerjanya jauh, Dia nggak tahu kalau saya hamil!" jawab Lastri berbohong.
"Maksud kamu TKI?" tukas Murni.
"Iya.. iya Bu!" Buru-buru Lastri pakai pertanyaan Murni sebagai jawaban.
"Kenapa ibu kamu tidak setuju dengan kehamilan kamu!" Mantan bidan desa itu bertanya dengan penekanan yang amat terasa.
"Keluarga Yudi tidak mau menerima saya sebelum dapat jawaban dari anaknya," jawab Lastri tanpa sengaja menyebut ayah dari calon bayinya.
Agaknya Murni mulai paham terhadap alur dari cerita bebas Lastri. Jelas ada sebagian kebohongan di sana. Jika Murni tahu perasaan Lastri, penuh rasa terpaksa wanita muda yang baru ia beri pertolongan itu lakukan sebuah kebohongan.
Tapi pastinya akan lebih berat jika Lastri ceritakan sesuai kenyataan. Rasanya tidak mungkin Lastri ceritakan tentang adanya rencana lanjutan pembunuhan yang diarahkan pada dirinya. Cerita seperti itu tentu akan dapat timbulkan ketakutan tersendiri bagi pasangan suami istri itu.
"Apa kamu mau selamanya pergi dari rumah?" Murni coba tanyakan perasaan Lastri.
"Tidak Bu, saya cuma ingin selamatkan bayi ini," ucap Lastri sambil pegangi perutnya, "saya sudah berjanji!"
"Kamu janji sama siapa?" tanya Murni.
"Ee ... saya sudah janji dengan diri saya sendiri Bu dan anak ini," Seperti ada keraguan Lastri dalam menjawab kepada siapa ia telah mengikat janji.
"Jenis kelamin perempuan yang ada di dalam perut kamu!" Murni coba tutupi keraguan Lastri ketika bicara tentang kandungannya.
"Beneran Bu?" Lastri penasaran
"Iya, tergambar dari bentuk perut kamu!" tegas Murni.
"O.. begitu ya Bu!" jawab Lastri mulai yakin pada omongan Murni.
"Kalau pacar kamu nanti pulang tetap lepas tanggung jawab gimana?" Murni balik ke topik awal pembicaraan.
*Saya tetap akan merawat anak saya ini Bu!" tegas Lastri
"Bagus! Tegas kamu," puji Murni "Terus yang kamu bilang ada kawan yang di kota itu bagaimana?"
"Maaf Bu, saya sudah bohong sama ibu dan bapak?" ujar Lastri penuh rasa tidak nyaman akibat telah lakukan kebohongan.
"Ya sudah! Kalau itu urusan saya sama bapak nanti!" jawab Murni.
"Terima kasih Bu," Lastri merasa lega.
"Kamu masih sekolah?" tanya Murni.
Lastri paham, pastilah mudah bagi orang yang berpengalaman seperti Murni untuk buktikan ia adalah seorang pelajar. Dari jenis tas saja secara gamblang orang tahu bahwa ia adalah seorang pelajar. Tas yang dipakai Lastri pernah tren dipakai para pelajar wanita tahun lalu.
Lastri pun bercerita bagaimana ia harus diberhentikan dari sekolah oleh Dewan Guru. Praktis secara resmi saat ini ia tidak layak lagi menyandang status pelajar. Dengan penuh kesedihan Lastri ceritakan itu pada Murni.
"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal disini!" Murni berikan sebuah tawaran agar Lastri mau tinggal bersama mereka.
"Jangan Bu!" Lastri sepertinya khawatir pada Wasis akibat kebohongannya. Sikap tegas suami Murni itu membuat Lastri jerih.
"Sudah nanti saya yang bilang ke bapak!" tukas Murni percaya bahwa suaminya akan setuju dengan keputusannya nanti.
"Saya ikut saja dengan putusan Ibu," ujar Lastri.
"Sepertinya bagus begitu, minimal sampai cucu perempuan saya lahir!" ujar Murni sambil tersenyum lebar bayangkan ada tangisan bayi di rumahnya.
Hampir tiga bulan Lastri tinggal bersama pasutri yang baik hati itu. Kegembiraan seperti tak pernah lekang di keluarga Wasis. Sikap Lastri yang pandai bawa diri, telah timbulkan rasa sayang pasangan suami istri itu.
Lastri benar-benar telah dianggap anak kandung oleh mereka. Belakangan barulah Lastri tahu bahwa pasangan itu tidak dikaruniai seorang anak. Walau ibu Murni merupakan mantan bidan senior di desa mereka. Sepertinya Lastri telah bawakan dua berkah, sebagai anak yang akan berikan cucu pada pasangan tua itu.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Sudah saatnya Lastri untuk siapkan makan malam untuk orang tua angkatnya. Namun, tidak ada pergerakan Lastri untuk keluar dari kamarnya.
"Aduh … Bu!" Lastri keluarkan erangan.
"Kenapa kamu?" Murni bertanya.
"Perut saya mules dari tadi sore!" jawab Lastri.
"Ayo, pindah ke ruang tengah," Murni minta Lastri segera keluar dari kamarnya.
Ada bercak cairan putih kecoklatan yang jatuh pada lantai. Sebagai bidan senior tentu tahu ciri dan tanda seorang wanita akan melahirkan. Walaupun kelahiran itu prematur sekalipun. Malam itu, di tengah hujan deras terdengar teriakan Murni memanggil-manggil suaminya.
...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!