BAB 05 ~ Berpulangnya Pemberi Nama ~

Mobil truk Wasis memasuki pekarangan rumah mereka. Seperti biasa, setiap sore setelah jam empat Lastri menjemur Gya, putrinya. Adapun nama lengkapnya adalah Pratigya Gema.

Entah dari mana Wasis dapatkan nama Pratigya, berikut apa artinya. Tidak ada seorangpun di rumah itu yang tahu. Lain halnya dengan nama belakangnya, Gema. 

Gema merupakan nama pemberian Lastri. Sama dengan Wasis, Lastri pun lontarkan nama itu tanpa mengerti darimana sumber berikut maknanya. Hanya satu yang pasti, Murni sangat suka dengan panggilan Gya bagi cucu angkatnya itu.

"Gya lihat kakek bawa apa ini," ujar Wasis.

Murni yang baru keluar dari pintu depan pun menimpali dengan tirukan suara bayi yang baru belajar bicara, "Keleta belajal jalan tatek!'

"Ya ampun Pak, masih lama Gya baru bisa pakai ini!" sahut Lastri.

"Nggak apa-apa Las, mumpung lagi ada rezeki!" jawab Wasis.

"Ya kan bisa disimpan dulu!" ujar Murni

"Terima kasih Pak! Bu!" Selalu kata-kata itu yang bisa Lastri sampaikan setiap ia dan Gya dapatkan kebaikan dari pasutri yang telah banyak menolongnya itu.

"Las! Itu Gya sudah cukup dijemurnya!" ujar Murni, "kan sudah umur dua bulan lebih!"

"Eh, iya Bu!"

Lastri pun masuk ke dalam. Waktunya  untuk memandikan Gya. Biasanya setelah selesai Gya mandi, Lastri berikan putrinya yang telah wangi itu pada Wasis. Ayah angkatnya itu sangat bangga jika diminta untuk momong bayi kecil yang lahir di rumahnya. Sedangkan Lastri akan berada di dapur untuk siapkan makan malam untuk mereka.

Tak terasa telah setengah tahun Lastri ada di rumah itu. Kini ia telah berumur delapan belas tahun. Tak ada niatan untuk kembali sekolah. Dulu pernah juga tertunda akibat kesulitan ekonomi. Keterlambatan sekolah selama dua tahun membuat Lastri ambil keputusan untuk terima tawaran paket C yang akan diusahakan oleh Murni.

Tak kurang-kurang kebahagiaan hadir bagi Lastri dan keluarga itu. Hingga siang hari sebuah mobil ambulan masuk ke dalam pekarangan rumah mereka. Ya, ambulan itu membawa jenazah Wasis. 

Waktu kematian Wasis diperkirakan pukul sepuluh pagi, saat menunggu pembayaran hasil sawit dari pabrik. Wasis yang pamit keluar dari rumah dalam keadaan bugar untuk bekerja. Penuhi kebutuhan keluarga, kini pulang telah menjadi mayat. Sungguh, umur manusia tidak ada yang bisa tahu.

Berita tentang kematian Wasis tersebar dengan cepat. Karena mobil ambulan itu telah membuat suatu iring-iringan sejak membawa jenazah itu dari pabrik. Banyak rekanan Wasis turut serta antar jenazah itu untuk pulang ke rumah terakhir kalinya.

Para tetangga, kawan-kawan almarhum serta rekan bisnis berdatangan. Mereka ingin sekali melihat wajah Wasis untuk terakhir kalinya. Juga ingin berikan suatu penghiburan pada Murni. 

Telah jadi pasangan hampir empat puluh tahun, tak cukup buat Murni jadi cengeng. Murni terlihat tegar. Ketabahan Murni terlihat di kala menemui tamu-tamu yang datang melayat. Tak henti-hentinya ia berterima kasih pada tiap orang yang ucapkan rasa belasungkawa atas kepergian suaminya

Lastri terlihat kebingungan mengatasi para tetamu yang datang. Adapun Gya ia titip pada Bu Kotjo, tetangganya. Terlampau banyak orang yang tak ia kenal. Apakah itu warga sekitar atau orang yang masih punya hubungan keluarga dengan pasutri itu. 

Beruntung rukun kematian segera datang. Lastri pun sudah tak begitu sibuk dalam menerima rasa simpati yang diberikan para pelayat yang datang. Harus diakui Wasis semasa hidup sangat dikenal dengan keramahan dan kebaikan hatinya. 

Tak selang beberapa lama truk Wasis pun tiba. Dikendarai Gianto, seorang polisi lalu lintas berpangkat Bripka. Agaknya ia telah diminta tolong pihak pabrik dan kantornya untuk antarkan truk almarhum pada keluarga.

"Gianto!" Demikian petugas dari kepolisian perkenalkan namanya pada Lastri.

"Saya Lastri, ada apa ya?"

"Saya ditugasi ngantar truk Pak Wasis!"

"Iya?" Lastri tunggu penjelasan lanjutan dari Gianto.

"Saya mau ketemu Ibu Wasis!"

"Ibu belum bisa nemuin lho, masih repot di dalam

"Sebentar aja!"

"Emangnya ada apa sih?"

"Saya mau kasih kunci!"

"Sama saya saja?"

"Sama uang bayaran buah dari pabrik!'

"Berapa?"

Lastri diberikan nota oleh Gianto. Tertera jumlah kilogram dan harga per kilo dan total dibayarkan. Sungguh jumlah uang besar bagi Lastri.

"Kamu mau tunggu ibu atau mau titip saja!" ujar Lastri setelah melihat nominal yang tertera cukup besar.

Gianto merasa tidak senang sebab kurang dihargai oleh Lastri yang hanya menyebut kamu pada dirinya. Sebutan kamu hanya biasa dipakai pimpinan atau senior pada dirinya. Gianto tidak tahu bahwa ruh dalam raga Lastri adalah seorang polisi wanita dengan pangkat lima level diatasnya.

"Kalau begitu saya tunggu di sini saja!" Gianto tidak percaya serahkan titipan uang itu pada Lastri.

"Jadi pelayan masyarakat jangan nanggung," ujar Lastri sambil tinggalkan polisi golongan Bintara itu, ia ingin segera membantu ibu angkatnya dalam rumah.

Gianto hanya terdiam dengarkan ucapan Lastri. Ia biasa dapatkan perkataan itu dari para mentor dan senior saat pendidikan atau menjalani pelatihan. Dapat sindiran seperti itu, tanpa pikir dua kali Gianto pergi ke depan jalan. Terlihat ia ikut serta dalam mengatur lalu lintas. 

Sebelum gelap tiba prosesi pemakaman Wasis telah selesai semua. Murni memang tidak mau menunda penguburan jenazah Wasis. Ia tak ingin suami tercintanya harus menunggu lama untuk menghadap Sang pencipta langit dan bumi. 

"Bu saya Gianto!" Begitu ada kesempatan mendekat polisi muda itu memperkenalkan dirinya pada Murni.

"Oh ya Nak terima kasih sudah membantu!" Murni telah melihat perbuatan Gianto di depan rumahnya.

"Ini saya ada titipan kunci truk dan uang dari pabrik!"

"Oh ya ya terima kasih," Murni menerima kunci dan amplop berisi uang pembayaran buah sawit terakhir yang dilakukan oleh Wasis.

"Sama-sama Bu, sekalian saya pamit pulang!"

"Terima kasih ya," ucap Lastri sambil ia pegangi lengan kiri ibu angkatnya.

"Sama-sama Dek!" Gianto pun segera tinggalkan kediaman almarhum Wasis setelah tunaikan tugasnya.

Sungguh hari yang amat melelahkan bagi keluarga itu. Terlampau letih bahkan baik dalam pemikiran ataupun fisik. Penuh rasa tidak percaya jika kepala keluarga yang selalu mereka andalkan telah pergi untuk selamanya. 

Murni hanya sempat istirahat sebentar dan coba merenungi nasibnya. Sekarang tiba giliran warga sekitar datang untuk lakukan doa bersama. Lastri haru akan keikhlasan dan kesungguhan para tetangga, teman, sahabat serta keluarga dalam berikan doa bagi almarhum Wasis dan dukungan pada Murni.

Beruntung Armen, putra tunggal Bu Kotjo bersedia untuk mewakili mereka sebagai tuan rumah. Bagaimanapun laki-laki lebih pantas dalam menerima dan menyambut para tetamu yang datang. Selama tiga hari berturut Armen lakukan itu tanpa pamrih.

"Tante, besok Me-men sudah masuk kerja lagi," ujar Armen.

"Iya ya Men, besok sudah Senin lagi!" Murni benar-benar lupa akan hari sejak suaminya meninggal tiga hari lalu, "Tante masuk dulu ya!"

Begitu hening terasa setelah Murni masuk kembali ke dalam kamarnya. Lastri tahu pasti apa yang dilakukan Murni di kamar sana. Murni seolah-olah mengadu pada almarhum suaminya betapa ia kesepian saat ini.

Keheningan pecah ketika Gya keluar dengan digendong oleh Bu Kotjo. Armen seperti senang sekali melihat Gya begitu montok. Lalu ia pun berkata, Hebat si Om ya!"

"Maksud kamu apa Men?" Lastri bertanya pada lelaki berusia 26 tahun itu.

"Nak Lastri, Armen itu jauh di atas kamu umurnya!" Bu Kotjo bermaksud katakan bahwa Lastri tak pantas hanya menyebut nama saja pada Armen.

"Sudah Bu!" Sergah Armen merasa bahwa ada omongannya yang tidak cocok bagi Lastri. Tak sedikit pun ia merasa kurang dihargai karena ibu muda yang jauh di bawah umurnya hanya sebut namanya tanpa embel-embel panggilan kehormatan.

"Ya sudah Ibu mau temani Tantemu dulu!" Bu Kotjo tinggalkan mereka bertiga.

Lastri tidak marah pada Armen. Hanya saja pujian Armen pada almarhum Wasis perlu dijelaskan lebih lanjut. Naluri Lastri timbul ingin memperjelas maksud pujian Armen tadi terhadap almarhum Wasis.

"Iya, akhirnya Om bisa penuhi janji bikin Gya jadi anak super keren," ujar Armen sambil menggoda anak Lastri, "ya kan Gya!"

"Bapak pernah ngomong apa?"

"Pas Gya lahir Om pernah bilang mau penuhi segala kebutuhan Gya! Pokoknya banyak bener janji dia!"

"Kalau itu memang iya!"

"Iya saya bisa lihat dari penampilan Gya," ujar Armen, "udah kayak anak selebriti!"

Lastri tertawa dengar perkataan Armen. Ia anggap itu sebagai pujian pada putrinya. Lastri jadi penasaran, ingin tahu apa saja yang pernah dikatakan almarhum Wasis pada Armen. Lastri sering melihat mereka berdua bicara pada malam-malam hari libur saat Wasis masih hidup.

"Pokoknya janji saja omongan Om itu!" Armen ceritakan isi pembicaraan mereka.

"Oh!"

"Mangkanya anak kamu dikasih nama Pratigya!"

"Memangnya Pratigya itu bahasa apa?"

"Sansekerta!"

"Artinya?"

"Janji!"

Lastri teringat hari ketiga setelah kelahiran Gya. Tepatnya saat nama itu terucap dari mulut ayah angkatnya. Obrolan dengan Armen telah jadi jawaban mengapa Wasis pilih nama itu. Bahkan sangat senang dengan nama itu agar terus mengingatkan janjinya pada Gya.

Kenapa kok setuju-setuju aja pakai nama Pratigya, artinya juga nggak tahu, Lastri membatin seraya pikirannya melayang pada saat kejadian pemberian nama itu.

...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!