BAB 04 ~ Menyambut Tamu Agung ~

Wasis telah kembali pulang ke rumah, ia baru saja memanggil Bu Kotjo. Seorang mantan dukun beranak asuhan dari Murni, istrinya. Pada awalnya Murni merupakan musuh Bu Kotjo. Bidan Murni muda selalu dianggap saingan oleh Bu Kotjo. 

Bukan tanpa alasan Murni meminta Wasis menjemput Bu Kotjo. Sepertinya ia sendiri tidak punya cukup keberanian menangani  persalinan Lastri. Maklum telah lama ia tak buka praktek bidan. Tepatnya sejak anak gadis semata wayangnya tewas dalam sebuah kecelakaan tujuh tahun lalu.

"Belum cukup bulan ya Bu?" ujar Bu Kotjo seusai melihat kondisi Lastri. 

"Kalau hitungan minggu masih kurang!"

"Mesti prematur ini!" Bu Kotjo menyimpulkan.

"Kita bisa mulai sekarang Mbak!" ajak Murni.

Mereka akhirnya sepakat untuk melakukan proses persalinan bayi prematur. Adalah tidak mungkin lagi untuk menahan proses kelahiran jika dilihat dari tanda-tanda yang telah muncul. Mereka berdua pun saling bantu seperti masa lalu. Bertindak sebagai pelaksana adalah Bu Kotjo. Adapun Murni bersifat lebih sebagai asisten. 

Bukan karena Murni tidak ahli. Tapi lebih pada faktor kebutuhan kesiapan mental tenaga medis. Faktor ini jadi kunci utama keberhasilan proses persalinan. Dimana nyawa ibu dan bayi jadi taruhannya.

Persalinan adalah kejadian natural dan alami. Sudah kodrat wanita untuk rasakan sakit melahirkan. Karenanya dalam proses persalinan terdapat resiko tinggi. Untuk itu keahlian dan kematangan seorang tenaga medis sangat dibutuhkan. Selain itu tekad kuat dari calon ibu sangat berpengaruh.

"Ini kopinya!" Wasis berikan tiga gelas kopi pada ketiga wanita tangguh itu, "yang kecil untuk Lastri!"

Murni menerima, lalu teruskan kopi spesial minuman itu pada Lastri. "Ini diminum ya!'

"Terima kasih Bu," jawab Lastri lemas.

Tidak ada hal yang istimewa dari kopi itu. Hanya segelas kopi tidak begitu manis. Tapi khusus buat Lastri dicampur dengan sedikit garam. Gunanya untuk mencegah Lastri tidur mendadak. Banyak calon ibu tertidur dalam persalinan akibat kelelahan. Ada yang berpendapat sangat bahaya sekali jika hal seperti itu sempat terjadi.

Selepas berikan kopi pada ketiga wanita itu ke dalam bekas kamar periksa, Wasis kembali keluar. Ia lebih pilih untuk tunggu diluar. Selain tak pantas, ia juga terlampau takut melihat proses persalinan.

Wasis pun berdiri di depan rumahnya. Ia bakar sebatang rokok untuk tenangkan hatinya. Telah lama sekali ia pernah rasakan kecemasan seperti saat itu. Saat Murni lahirkan seorang putri untuknya puluhan tahun yang lalu. Ditengah malam dan hujan Wasis terus permainkan asap tebal dari rokok kreteknya.

Oe … oe … terdengar suara tangisan bayi

Terdengar melengking. Komat kamit mulut Wasis keluarkan doa-doa segera berubah menjadi puji-pujian. Ia haturkan ucapan rasa syukur pada Tuhan semesta alam.

"Pak, air panasnya mana?" Teriakan Murni jelas terdengar di telinga Wasis.

"Di balik pintu Bu, dalam termos," sahut Wasis sambil buang puntung rokoknya dan melangkah ke dalam rumah.

Wasis akhirnya beranikan diri melihat dari jarak yang lebih dekat. Dengan pelan Wasis berjalan masuk ke dalam ruangan bekas praktek istrinya itu. Dilihatnya Lastri telah bersih, dan berganti baju. Tertidur di samping bayi kecil berwarna merah itu.

Wasis baru saja selesai melakukan tugas sebagai satu-satunya laki-laki yang ada di ruangan itu,  Murni berkata, "Pak! Ayo kita keluar sekarang!"

"Tapi Bu!" Wasis belum puas melihat tamu yang baru datang dari alam arwah itu.

Akhirnya Wasis keluar setelah panggilan kedua. Ia mendapati istrinya tengah bicara dengan tetangganya itu. Ia ikut nimbrung di pembicaraan mantan rekan sejawat itu untuk mengetahui keadaan Lastri dan bayinya. 

"Apa nggak ke rumah sakit saja Bu?" Bu Kotjo berikan sebuah anjuran.

"Hujan-hujan begini? Saya khawatir malah kenapa-napa sama bayinya nanti," jawab Murni.

"Iya Bu, jalan rusak, banyak bolongnya, mana malah ditambah banjir lagi!" Wasis kemukakan pendapatnya pada Bu Kotjo.

Mendengar penjelasan pasangan suami istri itu Bu Kotjo dapat mengerti. Alasan itu semua ada benarnya. Akses jalan menuju rumah sakit kota dari kampung mereka relatif susah, ditambah kondisi hujan. Ia pun benarkan keputusan yang diambil oleh pasutri tetangganya itu.

"Kalau nggak ada apa-apa lagi saya tak permisi pulang dulu!" 

"Oh ya Mbak!"

"Besok biar saya kesini lagi!"

"Terima kasih lho Mbak," ucap Murni

 "Pak Wasis, saya pamit pulang dulu!" Bu Kotjo berkata pada Wasis untuk meminta izin pulang.

Bu Kotjo dengan gunakan payung berjalan menembus hujan disertai angin kencang. Bu Kotjo nekat pulang karena memang tidak ada orang di rumahnya. Telah lama ia tinggal sendiri. Bahkan sebelum Armen putra tunggalnya, kerja di kota kabupaten. 

Pasutri itu pandangi Lastri dan bayi yang baru lahir itu. Lastri lelap tertidur dengan posisi menyamping menghadap bayinya. Murni maju kedepan untuk memeriksa keadaan mereka. Lalu kembali ke arah suaminya dengan wajah tegang.

"Ada apa Bu?"

"Bayinya Pak?"

"Kenapa bayi Lastri Bu?" Wasis ikutan cemas.

"Bayinya kuning Pak!" Murni teringat akan tanda-tanda kondisi bayi mengalami kadar bilirubin yang tinggi.

"Ya, ampun!" Wasis nampak semakin panik, "kita ke rumah sakit sekarang Bu?"

"Takutnya malah parah Pak, hujan gini lho?"! Murni berikan sebuah pandangan, "dingin!"

"Bayi yang masuk akuarium itu Bu ya!" Wasis pernah melihat bayi yang dibilang kuning dimasukan dalam kotak kaca dan diberi lampu sebagai pemanas.

"Inkubator Pak!"

"Bikin sendiri bisa?"

"Lampunya mana?"

"Biar Bapak cari dulu!" Wasis merasa mampu membuat kotak inkubator sendiri.

Wasis segera mengambil kunci gudang dan membongkar isi gudang. Rupanya Ia teringat akan wadah memelihara Louhan. Wasis sempat tergila-gila ikan hias jenis kepala benjol itu belasan tahun lalu. 

"Ini Bu, tolong dibersihkan!" Wasis terlihat kotor akibat debu gudang.

"Ya ampun Pak!" 

"Sudah Bu bersihkan saja!" ujar Wasis yang bergerak ke tempat kunci truk biasa tergantung.

"Bapak mau kemana?" Murni telah mulai mengelap akuarium itu dengan kain yang telah dimasukkan suaminya dalam wadah ikan itu.

"Ke Pak Takim," Wasis sembari ngeloyor ke luar rumah, lalu ucapkan salam pada Murni.

Takim adalah kawan mereka sejak lama. Beliau adalah peternak ayam ras. Wasis ingin meminjam atau membeli lampu pijar yang ada disana. Lampu itu biasa dipakai untuk menghangatkan anak ayam dalam kandang.

Tidak sampai setengah jam Wasis telah kembali. Ia membawa tiga buah lampu pijar dengan berbagai ukuran Watt. Takim bilang padanya bahwa Murni akan memilih bohlam yang tepat nantinya.

"Sudah bersih Bu?"

"Sudah Pak!"

"Awas kalau kurang bersih!" Wasis ingatkan Murni, "untuk bayi soalnya!"

"Cerewet amat sih Pak!" Murni sedikit kesal atas ancaman suaminya.

Setelah bertukar baju, Wasis pun duduk ngedeprok di atas lantai. Lalu sibuk buat sebuah rangkaian lampu sederhana. Yang terdiri dari piring, kabel dan jek colok. 

Setelah selesai ia coba dengan pasang lampu pijar yang ia dapat dari Takim. Wasis terlihat bangga karena rangkaian lampu buatannya berhasil. Lalu ia berkata, "Ayo Bu kita coba panasnya!"

Murni mengingat-ingat suhu yang sesuai untuk kondisi bayi. Adapun Wasis coba mengatur panas dengan cara menjauhkan atau dekatkan lampu pijar itu di akuarium bekas itu. Murni dapat rasakan hangat yang sesuai terhadap jarak lampu yang telah diatur secara pas. Wasis memasang palang kayu di atasnya sebagai dudukan lampu pijar itu.

Pasangan suami istri menunggui Lastri dan bayinya hingga jam dua malam. Telah dua kali Lastri dibangunkan untuk berikan air susu ibu bagi putrinya. Sesuai aturan bayi kuning wajib disusui minimal dua jam sekali. Murni mulai rasakan kondisi bayi itu semakin normal. 

...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!