Lastri beritahu terkait perjalanan dan hasil jual buah sawitnya kemarin pada seluruh tetangga kebun yang telah memakai jasa pengiriman buah sawit miliknya. Banyak juga diantara mereka telah tahu tentang keberadaan pabrik mini itu sebelumnya. Tapi rata-rata dari mereka tidak setuju jika hasil kebun sawit mereka dijual ke sana.
Alasannya persis sama dengan apa yang disampaikan Mulyanto kemarin. Dirugikan saat produksi buah sawit menurun. Situasi ini sering disebut dengan musim trek, atau musim kemarau yang sebabkan pohon tak berbuah. Sangat sedikit kebun yang bisa hasilkan buah. Hanya yang dipupuk serta dirawat dengan baik. Terlebih tanaman sawit merupakan tanaman yang sangat haus air.
"Jadi itu sebabnya warga nggak mau ya Pak?" ujar Lastri pada Wagiso.
"Iya Mbak!" jawab Wagiso, "almarhum juga nggak mau!"
"Padahal enak gitu lho Pak!"
"Enaknya gimana Mbak?"
Lalu Lastri ceritakan konsep koperasi pada Wagiso. Lastri upayakan penjelasan persis sama. Seperti yang keterangan oleh Tiwi, manajer pabrik mini dan Mulyanto. Wagiso angguk-anggukan kepala tanda mengerti.
"Mirip sistem plasma ya Mbak ya?"
"Apanya?"
"Sistem pembelian buahnya!"
"Walah! Saya malah nggak ngerti plasma Pak?"
"Harga jualnya ditentukan PT!"
"Maksudnya?
"Pihak PT yang kelola kebun plasma itu lho Mbak!"
"Jadi PT itu yang tentukan harga?"
"Lha Iya!"
"Mereka juga ngurusin kebun milik para pemilik kebun!"
"Siapa pemilik kebunnya?"
"Ya nggak tahu Mbak, katanya milik orang kota!" jawab Wagiso, "pokoknya banyak orang dari jauh yang punya!"
Lastri sepertinya harus hentikan obrolan mereka. Meskipun ia masih ingin menggali banyak informasi belum diketahuinya. Tapi ia harus segera berangkat. Semakin siang ia berangkat maka kemungkinan bertemu dengan antrian truk lain akan makin besar.
Muatan sebanyak delapan ton lebih telah tersusun rapi. Lastri pun minta pada Jono, putra sulung Wagiso agar jangan lupakan untuk pasang jaring di atas bak truknya. Lastri tak mau harus berurusan dengan polisi lalu lintas atau dinas perhubungan hanya gara-gara jaring tak terpasang.
Lastri harus segera pulang hari itu. Sesuai jadwal ia harus cepat pulang. Agar ia bisa membantu Murni dalam bayarkan uang para tetangga kebun. Khusus bagi mereka yang panen buah sawitnya dikelola Lastri.
Sudah dua bulan berjalan, praktis tak ada komplain yang berarti. Mereka sepertinya puas dengan harga jual pabrik yang Lastri berikan. Setelah dipotong pajak, jasa dan ongkos angkut tentunya. Hasil pendapatan mereka kini alami peningkatan. Jauh beda jika masih dikelola oleh perusahaan lapak sawit yang berhasil Lastri usir dari lahan kebun mereka.
Belakangan baru Lastri tahu bahwa baju seragam yang mereka pakai sama dengan seragam tempat Yudi bekerja. Lastri tahu dari lambang yang sama. Gambar kereta lori dorong warna merah.
Lastri dapat rasakan betapa besar usaha lapak milik Wahid, Ayah More. Hingga ke daerah mereka. Lastri tahu dengan pasti bahwa otak sekaligus pelaku utama dari pemerkosaan dan penganiayaan terhadap dirinya adalah More. Dia telah kerjasama dengan Yudi yang juga pacar Lastri saat itu.
Berkat tiba lebih pagi Lastri terhindar dari antrian panjang. Hanya tiga truk saja ada di depan. Artinya lewat sedikit dari tengah hari ia akan tiba kembali di rumah.
Untungnya dari hasil panen kemarin Lastri terima dalam bentuk tunai. Lastri dianggap penjual lepas, belum sebagai langganan tetap. Dampak pabrik kelapa sawit mini itu baru pertama kalinya terima kirimkan hasil panen buah sawit dari Lastri.
Sehingga ia tak perlu antarkan Murni pergi ke bank. Hanya untuk menarik dana dari rekening hasil transferan uang dari pabrik. Walau sehari sebelumnya Lastri sempat khawatir karena harus bawa uang kontan pulang ke rumah. Ada rasa cemas karena jalur-jalur perkebunan yang ia lewati amat rawan akan kejahatan.
Jadwal transfer pabrik Senin dan Kamis. Adapun waktu pembayaran untuk hasil kebun tetangga akan mereka berikan satu hari setelah pihak pabrik lakukan proses pembayaran melalui mekanisme transfer. Pada hari Selasa dan Jumat.
Biasanya Lastri dan Murni akan pergi ke bank cabang pembantu terdekat. Setelah lakukan konfirmasi jumlah penarikan satu hari sebelumnya. Maklum kantor cabang pembantu bank itu masih terbatas dalam ketersediaan uang kontan.
Ada kalanya para tetangga kebun datang di hari Jumat saja. Mereka punya alasan kepastian uang dari pihak Lastri. Padahal jelas-jelas Murni selalu bayarkan mereka sesuai dengan jadwal. Tak pernah ada niat Murni untuk menahan hak orang lain.
"Syukurlah kamu cepat pulang Las!"
"Kenapa Bu, apa uangnya kurang?"
"Nggak, kalau ditambah simpanan Ibu!"
"Terus apa masalahnya?"
"Susunan uangnya agak berantakan!"
"Oh itu masalahnya," jawab Lastri, "Emang kemarin nggak ibu hitung dan susun ulang?"
"Nggak! Ibu kan percaya aja sama kamu!"
"Ya sudah Bu mana kalkulator dan catatan Si Jono kemarin?"
Tanpa menunggu perintah dua kali Lastri langsung turun tangan membantu Murni dalam siapkan uang untuk per orangnya dihitung sesuai dengan catatan Jono pada jumlah berat buah sawit yang dibawa. Sesuai dengan yang dicatat, dan setelah dikurang biaya ongkos kirim, biaya panen, dan beberapa potongan wajib lainnya.
Ranjang Murni penuh sesak dengan ikatan uang yang telah dipisah-pisahkan. Tambah lagi dengan keberadaan Gya yang sudah pandai tengkurap. Gya terlihat sesekali lakukan gerakan mengangkat kepalanya.
Terkadang Gya pun seolah berputar dari tengkurap ke terlentang kembali. Kedua wanita tanpa suami itu kerap kali tertawa akibat momen lucu Gya. Mereka lakukan semua aktivitas itu di atas kasur sambil lakukan pengawasan pada bayi berusia sembilan bulan itu.
Sore hari seluruh kegiatan bayaran buah sawit pun selesai. Seperti biasa, selesai bayarkan hak para mitra dagang, biasanya mereka bertiga bersantai di depan teras. Sambil menikmati teh manis dan gorengan hasil bawaan dari salah satu mitra. Dirasa Murni dalam keadaan senang, Lastri pun bermaksud utarakan keinginan untuk memajukan usaha milik mereka.
Murni beri persetujuan pada Lastri yang hendak membeli sebuah komputer. Murni telah rasakan sendiri kesulitan dalam hal membagi uang pembayaran buah sawit. Malahan Murni beri anjuran agar Lastri juga ganti ponsel pintar Agar bisa lakukan perhitungan di waktu senggang. Sehingga ponsel milik almarhum Wasis dapat segera ia simpan sebagai kenangan.
"Jadi kapan kamu mau beli?"
"Tunggu Armen dulu Bu!"
"Kenapa harus tunggu Armen?"
"Dia bisa kasih masukan tipe yang cocok untuk bisnis," ujar Lastri sambil bayangkan laptop milik Tiwi sang manajer pabrik mini.
"Beli yang biasa aja!"
"Nggak bisa Bu, harus yang kuat dan tahan!"
"Gayamu!"
"Beneran Bu harus bisa tahan selama enam tahun ke depan!"
"Kenapa harus enam tahun?"
"Biar lengkap data Lastri di sana Bu!"
Murni tak mengerti arah omongan Lastri. Ia pun segera putuskan untuk masuk dan membawa Gya ke dalam rumah. Ia ingin menonton acara TV kesukaannya.
Namun, rencananya harus ditunda. Armen sudah keburu datang. Terpaksa ia sambut pria muda itu terlebih dahulu.
Murni dapat rasakan ada ketertarikan dari Armen pada putri angkatnya itu. Tak ingin dianggap sebagai pengganggu Murni lanjutkan niat untuk masuk ke dalam. Tak lupa ia bawa cucu angkat kesayangannya itu.
Ada banyak sekali yang ingin Lastri tanya pada Armen. Mulai dari hal yang baru saja ia bahas dengan ibu angkatnya terkait benda elektronik yang ia butuhkan. Juga tawaran bisnis dari pabrik kelapa sawit mini itu.
Bagi Lastri tawaran untuk jadi penyuplai utama cukup menggiurkan. Ada selisih harga beli yang lumayan di sana. Belum lagi ada tawaran bonus jika dapat penuhi target.
Semua ingin Lastri rengkuh dengan cepat. Lastri merasa ada kesempatan untuk maju tanpa harus menunggu lama. Sayangnya Lastri tak punya keahlian dalam mengatur bisnis. Baik dalam meningkatkan ataupun merancang bisnis baru. Sungguh ia perlu seseorang yang dapat memberi dukungan moril juga pengetahuan dalam menguasai bisnis.
Entah mengapa Lastri begitu ngotot dalam lakukan pengembangan usaha di bidang sawit. Sampai-sampai ia berani untuk usir para tengkulak dari grup Lori Merah milik Wahid, juragan kaya raya yang masih satu kecamatan dengan dirinya. Bahkan Lastri sempat kontak fisik langsung dengan para anak buahnya.
Sebenarnya dengan hanya andalkan truk dan kebun sawit hasil peninggalan Wasis, mereka bertiga telah bisa hidup lebih dari kata serba berkecukupan. Namun, dalam jiwa Lastri ada sesuatu yang coba tuntun dirinya untuk kembali ke desa asalnya. Dan pabrik kelapa sawit mini itu memang terletak tepat di perbatasan kabupaten asalnya.
...☘️☘️☘️ ~~ Bersambung ~~ ☘️☘️☘️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments